Khalifah Umar, Dan Memasak Batu

Daulat

October 4, 2024

Junus Nuh

Ilustrasi Umar Bin Khattab pada peristiwa “Penaklukan Besar” terhadap Jerusalem pada tahun 638 Masehi. (credits: wikicommons)

TAHUN 638 Masehi. Arab sedang dilanda kekeringan, yang mengakibatkan paceklik. Efeknya, terjadi kelaparan di banyak wilayah.

Cadangan makanan di Madinah mulai menipis. Umar bin Khattab, khalifah kedua pemerintahan Islam kala itu, telah mencari pangan dari Suriah dan Irak, yang ia sendiri yang mengawasi distribusinya.

Tindakan inilah yang akhirnya menyelamatkan banyak jiwa di seluruh Arab. 

Namun, saat kelaparan telah berakhir di Arab, justru banyak distrik di Suriah dan Palestina sedang dilanda wabah penyakit. Diperkirakan 25.000 jiwa meninggal dunia akibat wabah penyakit kala itu.

Umar bin Khattab (582 – 644 Masehi) adalah sahabat sekaligus mertua Nabi Muhammad. Umar menjabat sebagai Khalifah Rasyidin kedua, menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq (632 – 634 Masehi). Umar memerintah sejak Agustus 634 Masehi hingga pembunuhannya pada tahun 644 Masehi.

Umar adalah khalifah pertama yang menyandang gelar Amirul Mukminin. Yakni gelar dalam tradisi awal Islam yang memiliki arti “Pemimpin Orang-Orang Beriman”.

Meskipun, secara umum kaum Sunni berpendapat bahwa semua khalifah di segala zaman dapat menyandang gelar Amirul Mukminin. Sementara kalangan Syiah berpandangan bahwa gelar itu adalah eksklusif milik Ali bin Abi Thalib.

Pada suatu malam di masa paceklik dan kelaparan itu, Umar berjalan-jalan keluar masuk lorong-lorong, dan kampung-kampung di wilayah kekuasaannya. Ini adalah kebiasaannya. Dengan tujuan untuk mengetahui secara langsung kehidupan yang dialami rakyatnya.

Malam itu Umar ditemani oleh sahabatnya, Aslam. Umar dan Aslam memasuki kampung kecil di tengah gurun.

Mengutip Dhurorudin Mashad pada Kisah dan Hikmah, terdengar tangisan seorang anak kecil yang berasal dari sebuah rumah tenda. Tangisan pilu, dan menyayat.  

Umar terdiam, dan langkah kakinya terhenti. Ia ingin sekali melihat penghuni rumah itu.

“Mari kita ke sana, Aslam. Mungkin saja penghuni rumah itu butuh bantuan,” katanya.

Pintu tersibak. Dan terlihat seorang ibu sedang sibuk mengaduk-aduk isi panci di atas pembakaran.

Umar memberi salam kepada ibu itu, “Assalamu’alaikum”.

Meskipun si ibu menjawab salamnya, tapi ia tidak beranjak dari tempatnya.

“Siapa yang menangis di dalam rumah?” tanya Umar.

Si Ibu menjawab singkat, “Anakku”.

Umar kembali bertanya, “Apakah dia sakit?”

“Anakku kelaparan.” Demikian jawab si ibu, sambil menggelengkan kepalanya.

Umar dan Aslam pun saling berpandangan. Setelah lama menanti, dan si ibu masih tetap saja mengaduk-aduk isi pancinya.

Umar kembali bertanya, “Apa yang ibu masak? Mengapa lama sekali dan belum juga matang?”

“Lihatlah sendiri, tuan,” demikian si ibu menjawab.

Umar beranjak dari tempatnya, dan melihat isi dari panci yang dimasak si ibu.

Terlihat air yang tengah menggelegak, dan, beberapa bongkah batu.

“Demi Allah. Ibu sedang memasak batu?” Umar bertanya, seperti kebingungan.

“Aku seorang janda. Hari ini aku tak punya makanan yang dapat dimakan untuk ku dan anakku. Maka aku menyuruhnya berpuasa,” kata si ibu.

“Aku berharap menjelang puasa akan mendapat rezeki. Tapi ternyata tidak,” lanjut si ibu.

“Untuk menghibur anakku, terpaksa aku berpura-pura memasak. Ku kumpulkan bongkahan batu, lalu aku rebus dalam panci,” katanya.

“Aku minta ia tidur sambil menunggu makanan matang. Tetapi, karena perutnya lapar, ia selalau terbangun, dan menangis.”

Khalifah kedua itu tercekat.

Kalimat terakhir yang dikatakan si ibu, adalah, “Celakalah Amirul Mu’minin Umar bin Khattab yang membiarkan rakyatnya kelaparan.”

Umar yang menaklukan Jerusalem, seperti kehilangan seluruh tulang-tulang di tubuhnya. Luluh lantak.

Bergegas keduanya pulang ke Madinah, ibukota pemerintahan Islam kala itu.

Sesampainya di Madinah, Umar mengambil sekarung gandum. Ia memanggul gandum itu ke rumah si ibu. 

“Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memanggul karung itu,” kata Aslam.

Umar menjawab, “Tidak, Aslam.”

Umar melanjutkan, “Demi Allah dan Rasulullah, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka, karena engkau ingin mengantikanku memikul beban ini. Sejujurnya, engkau tidak akan dapat memikul beban di pundakku sebagai pemimpin pada hari pembalasan kelak.”

Ketika Umar tiba kembali di rumah si ibu dan ankknya, dan Umar memberikan sekarung gandum yang ia bawa sendiri itu.

“Siapa sebenarnya Tuan?” tanya si ibu.

Umar menjawab, “Aku adalah Umar bin Khattab. Aku adalah hamba Allah yang diamanahkan untuk mengurus keperluan rakyat. Maafkan aku, karena aku telah mengabaikan ibu dan anakmu dalam kelaparan.”

Abu Bakar ash-Shiddiq pernah mengatakan, bahwa, “Ketegasan Umar ada karena kelembutanku. Ketika beban kekhalifahan telah berada di atas bahunya, ia tidak akan lagi tegas. Jika aku diminta oleh Tuhan kepada siapa aku telah menunjuk penggantiku, aku akan mengatakan kepadaNya bahwa aku telah menunjuk pria terbaik di antara anda semua.”

Begitulah Umar, yang pada awalnya, Umar adalah penentang dakwah Muhammad, sejak tahun 610 Masehi, ketika petama kali Muhammad mulai mengkhotbahkan pesan Islam.

Awalnya, Umar bertahan dengan agama politeistik tradisional Arab dan percaya dengan kesatuan Quraisy. Umar bahkan menganiaya pemeluk Islam, dimana ia menganggap Islam sebagai keyakinan baru, adalah penyebab perpecahan dan perselisihan kaum Quraisy.

Karena penganiayaan, Muhammad memerintahkan beberapa pengikutnya untuk bermigrasi ke Abyssinia.

Tetapi, ketika migrasi itu terjadi, Umar malah khawatir tentang persatuan Quraisy di masa depan. Umar, sewaktu itu, bahkan merekomendasikan kematian Muhammad.

Umar memeluk Islam pada tahun 616 Masehi. Ia menjadi muslim pertama yang berdoa secara terbuka di Ka’bah.

Muhammad kemudian menikahi Hafshah, putri dari Umar.

Setelah memeluk Islam, Umar membantu Muhammad. Ia berpartisipasi dalam hampir semua pertempuran dan ekspedisi di bawah kepemimpinan Muhammad.

Ia mendapat julukan “Singa Padang Pasir”.

Banyak sejarawan bersepakat bahwa masa kekhalifahan Umar bin Khattab adalah khalifah Muslim terkuat dan paling berpengaruh dalam sejarah Islam.

Kekhalifan Umar adalah pemerintahan kesatuan. Dimana otoritas politik yang berdaulat adalah khalifah.

Kekhalifahan Umar dibagi menjadi provinsi dan beberapa wilayah otonom. Setiap provinsi dikelola oleh Wali (gubernur provinsi), yang dipilih secara pribadi dan cermat oleh Umar.

Pada suatu subuh, Rabu 26 Dzulhijjah 23 Hijriyah (6 November 644 Masehi). Umar bin Khattab dibunuh saat sedang menjadi imam sholat Subuh di Masjid Nabawi, Madinah.

Seorang budak dari Persia, Abu Lu’lu’ah menikamnya dengan belati bermata dua. Umar meninggal karena luka-luka yang dideritanya.

Umar dihormati dalam tradisi Islam Sunni, sebagai penguasa besar yang adil dan teladan kebajikan Islam. Beberapa hadis mengidentifikasikan Umar sebagai sahabat Muhammad terbaik kedua setelah Abu Bakar. 

Kendati, ia bersama Abu Bakar cenderung dipandang negatif dalam tradisi Syiah Dua Belas Imam, sebagai perampas hak kekhalifahan dari Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Muhammad, sekaligus Imam pertama bagi Syiah.*

avatar

Redaksi