Memahami Etika Profesional Kedokteran
Hak Asasi Manusia
April 21, 2025
Natasha Indreswari

Ilustrasi stetoskop, alat periksa kesehatan. (credits: pexels)
BARU-BARU ini, terdapat dua kejadian yang terkait dengan etika pofesi kedokteran. Kejadian ini telah menyita keingintahuan publik.
Peristiwa pertama, adalah, dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, Priguna Anugrah Pratama di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. Polisi menangkap pelaku pada 23 Maret 2025.
Tersangka Priguna, mengutip BBC, diduga telah memperkosa tiga korban dalam waktu yang berdekatan dengan menggunakan obat bius jenis midazolam.
Midazolam adalah jenis obat penenang yang biasa diberikan oleh para medis melalui supervisi dokter, kepada pasiennya. Yakni sebelum dokter dan para medis melakukan tindakan operasi medis terhadap pasiennya.
Obat ini digunakan dengan cara disuntikan melalui cairan infus, sehingga pasien menajdi pingsan atau tidak sadar diri.
Dan, tentu saja, midazolam tidak dapat dimiliki atau digunakan oleh orang yang tidak terkait dengan profesi atau kegiatan tindakan operasi medis.
Atas perbuatannya, Priguna dikenakan Pasal 64 KUHP dan terancam pidana penjara maksimal 17 tahun penjara.
Dan, lanjutannya, Kementerian Kesehatan akan mewajibkan peserta PPDS untuk menjalani tes kesehatan mental untuk mengantisipasi masalah kejiwaan. Sebab, menurut polisi, tersangka terindikasi punya kelainan perilaku seksual.
Peritiwa kedua, adalah, seorang dokter kandungan bergender laki-laki di Garut, Jawa Barat, yang diduga melakukan pelecehan terhadap pasiennya, yang adalah perempuan. Video dugaan pelecehan berdurasi 53 detik itu tersebar luas di media sosial (medsos).
Awalnya, video itu adalah rekaman closed-circuit television (CCTV) yang dibagikan warganet. Video ini memperlihatkan aksi si dokter yang tengah melakukan Ultrasonografi (USG) kepada seorang wanita.
Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Garut, Leli Yuliani, pun telah mengkonfirmasi kebenaran dugaan pelecehan tersebut. Leli mengatakan kasusnya berlangsung pada 2024.
“Saya harus periksa lagi kapan pastinya kejadian ini. Tetapi kalau tidak salah, ini di tahun 2024. Dan, kejadiannya bukan di RS milik pemerintah,” katanya, mengutip Detik, Selasa, (15/4).
Ia mengatakan kejadian ini diduga kuat terjadi di sebuah klinik swasta. Namun, dokter kandungan, yang diketahui berinisial SF itu, pernah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut dan berdinas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Malangbong.
Pada Desember 2024, Kualum (59 tahun), pasien ortopedi di RSUD Raden Mattaher, Kota Jambi, terpaksa harus mengeluarkan biaya lebih dari IDR 80 juta untuk perawatan ortopedi. Padahal, Kualum adalah pasien BPJS Kelas 3.
Dr Deden Sucahyana, Ketua Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Provinsi Jambi, sekaligus Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Jambi mengatakan, terdapat maladministrasi yang telah dilakukan oleh seorang dokter ortopedi yang bertugas di RSUD Raden Mattaher.
“Kami hanya dapat melakukan pemeriksaan, namun tidak dapat mengeksekusi,” katanya, mengutip Jambi Independent, Senin (23/12) tahun 2024.
Pihaknya pun telah memberikan rekomendasi, sebagai bentuk tanggungjawab terhadap apa yang terjadi.

Ilustrasi kondisi di ruang tindakan operasi medis. (credits: pexels)
Pertama, agar pihak RSUD tidak lepas tanggung jawab terhadap kasus itu, hanya karena maladministrasi dilakukan oleh oknum dokter. Kedua, RSUD Raden Mattaher diminta untuk melakukan audit medis atau audit klinis.
Mungkin saja, ini dapat dikatakan sebagai “kasus per kasus”. Tetapi, perseorangan adalah profesi yang harusnya profesional.
Profesi kedokteran memiliki Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Yakni kumpulan norma untuk menuntun dokter di Indonesia selaku kelompok profesi yang berpraktik di masyarakat.
Kodeki terkoneksi dengan beberapa undang-undang.
Yakni; Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang “Praktik Kedokteran”, Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang “Kesehatan”, Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang “Rumah Sakit”, Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang “Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)”, dan Undang-Undang nomor 24 tahun 2011 tentang “BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)”, serta berbagai perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang profesi kedokteran.
Sehingga, secara berkala, Kodeki selalu direvisi. Ini berguna akan selaras dengan jamnannya.
Mengutip Kodeki 2012, yang diterbitkan oleh IDI, terdapat sebayak 21 pasal yang mengatur tetang etika professional kedokteran.
Kode etik kedokteran, mengutip eclinic, juga didefinisikan sebagai seperangkat prinsip dan standar moral yang harus dipatuhi oleh profesional medis dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Kode etik kedokteran di Indonesia telah diatur oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap dokter bekerja secara profesional, demi kepentingan dan kesejahteraan pasien.
Pemahaman terhadap kode etik dokter ini bertujuan agar para dokter dapat membangun kepercayaan dan hubungan yang lebih baik dengan pasien. Juga, agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan medis.
Secara ringkas, terdapat empat kewajiban dan nilai-nilai tanggungjawab profesional profesi kedokteran di Indonesia. Yakni; kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan, kewajiban terhadap diri sendiri.
Memahami dan mematuhi kode etik kedokteran di Indonesia adalah kunci untuk memastikan bahwa layanan kesehatan yang diberikan oleh dokter telah dilakukan dengan standar tertinggi.
Kode etik ini tidak hanya melindungi hak-hak pasien saja. Melainkan juga memandu dokter dalam mengambil keputusan yang etis serta profesional.
Sehingga, kejadian-kejadian “aneh” seperti di awal tulisan ini, tidak terjadi lagi, di masa-masa selanjutnya.*

