Till Death Do Us Part : Duo Euthanasia Dari Belanda

Hak Asasi Manusia

February 20, 2024

Jon Afrizal

(: pinterest)

DRIES van Agt dan istrinya Eugenie, keduanya berusia 93 tahun, menghembuskan napas terakhir dengan saling bergenggaman tangan, Senin (5/2). Kesehatan van Agt menurun dalam beberapa tahun terakhir, setelah ia menderita pendarahan otak pada tahun 2019, pada saat ia menyampaikan pidato di acara peringatan Palestina.

Dries van Agt adalah “politisi konservatif yang bertujuan liberal”. Ia pernah menjabat sebagai perdana menteri Belanda dari tahun 1977 hingga 1982. Ia kemudian menjadi duta besar Uni Eropa untuk Jepang dan Amerika Serikat.

Dikarenakan persoalan kesehatan ini, van Agt meminta untuk di-euthanisia, bersama istrinya.

Mengutip The Washington Post, kematian mereka dipandang sebagai bagian dari trend duo euthanasia  yang berkembang di Belanda.

Setidaknya 29 pasangan, atau 58 orang meninggal bersama melalui proses duo euthanasia pada tahun 2022. Ini adalah data terbaru dari Komite Peninjau Eutanasia Regional di Belanda. Angka ini, lebih tinggi dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2020, ketika 13 pasangan yang melakukan hal serupa, pada tahun pertama komite ini pertama kali mulai mendata pasangan euthanasia secara spesifik.

Namun, angka itu masih mewakili sebagian kecil dari 8.720 orang yang meninggal secara sah melalui euthanasia (: bunuh diri yang dibantu) di Belanda pada tahun itu.

Van Agt telah menikahi Eugenie selama 70 tahun. “My Girl” adalah panggilan kesayangan yang diberikan van Agt kepada Eugenie.

Van Agt mendirikan Forum Hak Asasi Manusia, yakni kelompok pro-Palestina. Forum inilah  yang kemudian mengumumkan berita kematian pasangan ini pada Jumat (9/2).

Sutradara Gerard Jonkman mengatakan, bahwa keduanya sakit parah. Tetapi, keduanya tidak dapat hidup tanpa satu dan lainnya.

Elke Swart, juru bicara Expertisecentrum Eutanasie, yang mengabulkan permintaan euthanasia bagi sekitar 1.000 orang per tahun di Belanda, mengatakan bahwa permintaan pasangan mana pun untuk mempercepat kematian dengan cara suntik mati harus diuji berdasarkan persyaratan yang ketat secara individu, dan bukan secara bersama-sama.

“Minat terhadap hal ini semakin meningkat, namun masih jarang,” kata Swart.

Menurutnya, duo euthanasia seperti Dries van Agt dan Eugenie adalah kebetulan, bahwa keduanya menderita sakit sangat parah, dan pada saat yang sama tidak memiliki harapan untuk mendapatkan penyembuhan. Dan, mereka berdua menginginkan euthanasia.

Belanda, dengan berpenduduk hampir 18 juta orang, telah mengizinkan bunuh diri berbantuan dan euthanasia sejak tahun 2002. Ini mensyaratkan bahwa individu dengan sukarela meminta penghentian hidup mereka dengan cara yang “dipertimbangkan dengan baik”, dan dengan persetujuan dari dokter, terutama dokter keluarga, bahwa individu itu mengalami “penderitaan yang tak tertahankan dan tidak ada prospek kesembuhan.”

Meskipun pasangan merupakan persentase kecil dari kematian akibat euthanasia, yakni 8.720 kasus atau 5,1 persen dari seluruh kematian di Belanda pada tahun 2022, Fransien van ter Beek, ketua yayasan pro-eutanasia NVVE, mengatakan bahwa banyak orang yang mengutarakan keinginan untuk ini.

“Tetapi hal ini jarang terjadi karena ini bukanlah hal yang mudah.” katanya.

Menurut Healthline,  euthanasia mengacu pada penghentian hidup seseorang dengan sengaja, biasanya untuk meringankan penderitaan. Dokter terkadang melakukan euthanasia jika diminta oleh orang yang menderita penyakit mematikan dan sangat kesakitan.

Ini adalah proses yang kompleks dan melibatkan banyak faktor. Yakni hukum setempat, kesehatan fisik dan mental seseorang, serta keyakinan dan keinginan pribadinya.

Menariknya, sebuah penelitian di Inggris menemukan bahwa mayoritas dokter tidak mendukung euthanasia sukarela dan euthanasia dengan bantuan dokter. Keberatan utama mereka didasarkan pada masalah agama dan moralitas.

Di negara-negara yang melegalkannya, tinjauan tahun 2016 menemukan bahwa euthanasia menyebabkan 0,3 hingga 4,6 persen kematian. Lebih dari 70 persen kematian itu terkait penyakit kanker.

Euthanasia masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Banyak yang meyakini bahwa euthanasia adalah pembunuhan dan menganggapnya tidak dapat diterima karena alasan agama dan moralitas.

Beberapa dokter dan penentang euthanasia dengan bantuan dokter khawatir akan terjadi komplikasi etika yang mungkin dihadapi dokter. Sebab selama lebih dari 2.500 tahun, para dokter telah mengucapkan sumpah Hipokrates. Sumpah ini memberikan semangat kepada dokter untuk merawat dan tidak pernah merugikan orang yang dirawatnya.

Tetapi, sebuah gerakan yang disebut “Kematian yang bermartabat” telah mendorong badan legislatif di negara yang, kemudian, melegalkan euthanasia, untuk memberikan kebebasan kepada warganya untuk memutuskan bagaimana mereka ingin mati. Beberapa orang tidak ingin melalui proses kematian yang berkepanjangan, sering kali karena khawatir akan beban yang ditimpakan pada orang yang mereka cintai.*

avatar

Redaksi