“Lah Dalah, Nyantri Kok Nukang”

Hak Asasi Manusia

October 8, 2025

Malika Dwi Ana*

Penanganan bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo yang ambruk. (credits: Arsip Kantor SAR Surabaya)

BAYANGKAN ini: ratusan santri, umur belasan tahun, berbaris seperti pasukan formasi militer, angkat ember semen berat, naik turun bambu reyot ke lantai tiga gedung setengah jadi. Kostumnya? Peci melorot dan sarung yang basah kuyup oleh cor beton. Tanpa helm, tanpa harness, tanpa safety net – apalagi scaffolding yang layak atau ahli K3 yang ngawasin.

Ini bukan adegan dari film aksi Hollywood yang gagal, tapi realita viral dari Ponpes Lirboyo, Kediri: tradisi “Ro’an” yang katanya gotong royong, tapi sebenarnya sirkus kematian yang disamarkan sebagai amal jariyah.

Dan pas roboh? “Takdir Allah,” katanya. Ironis, padahal yang bikin roboh adalah tangan manusia yang pelit bayar safety.

Video-video itu – yang lagi nge-hits di medsos per 1 Oktober 2025 – nunjukin santri Lirboyo lagi ngecor gedung bertingkat, gotong royong angkat ratusan sak semen manual, tanpa Job Safety Analysis (JSA) atau briefing sekadarnya. Pengasuhnya, KH Oing Abdul Muid alias Gus Muid, bilang ini tradisi positif buat kemandirian pesantren: dana mandiri, tukang pro cuma bantu sesekali, santri yang urus sisanya.

Bagus dong, katanya, ladang pahala mengalir terus. Tapi coba tanya: pahala apa yang didapat kalau nyawa santri jadi korban?

Di Al Khoziny, Sidoarjo, minggu lalu, lima santri tewas tertimbun reruntuhan musala yang sama-sama dibangun via Ro’an – tanpa IMB, tanpa curing time beton, tanpa apa-apa selain doa dan dalih spiritual.

Ro’an: Dari Gotong Royong ke Eksploitasi yang Dibungkus Pahala

Ro’an – istilah Jawa buat kerja bakti yang udah jadi DNA pesantren tradisional seperti Lirboyo – seharusnya jadi simbol kebersamaan. Di situs resmi Lirboyo, mereka banggakan ini sebagai “sarana mendidik nilai sosial dan spiritual”, dilakukan tiap hari oleh mahasantri semester 3 hingga 6, atau Jumat pagi buat siswa madrasah. Tujuannya mulia: bersih-bersih lingkungan, tanam pohon, bangun karakter.

Tapi lihatlah prakteknya: santri kecil, yang ortunya bayar SPP supaya belajar Al-Qur’an, malah disuruh naik ketinggian dan ngecor tanpa APD (Alat Pelindung Diri). Peci ganti helm? Sarung ganti sepatu safety? Briefing K3? Lupain aja. Ini bukan pendidikan, tapi eksploitasi murah yang mengakar di otoritas mutlak kyai: taat = pahala, kritik = dosa.

Kenapa langgeng? Karena pesantren seperti Lirboyo – yang punya 40 ribu santri, pesantren terbesar di Indonesia – andalkan dana mandiri. Biaya pondok Lirboyo 2025 aja terjangkau: pendaftaran IDR 100 ribu hingga IDR 200 ribu, SPP bulanan minim.

Korban ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo dibawa dengan menggunakan ambulans. (credits: Antara)

Tapi buat bangun gedung? Daripada keluar duit buat kontraktor bersertifikat, lebih enak suruh santri Ro’an. Hemat biaya, tambah narasi “amal jariyah” ala Gus Muid: santri bantu tukang, bukan utama, katanya. Tapi video viral nunjukin santri yang dominan: berbaris panjang, aduk molen, tuang cor ke atap – tanpa safety net yang cuma IDR 500 ribu per meter.

Padahal Permenaker No. 5/2018 bilang wajib: APD, scaffolding, ahli K3, JSA prosedur. Di Ro’an? Nol.

Hasilnya? Fondasi lemah, beban overload, dan bangunan jebol seperti di Al Khoziny – 5 tewas, 100 luka, semuanya santri polos yang mimpi jadi ulama.

Takdir atau Kelalaian? Sindiran buat yang Tutup Mata

Parahnya, pas tragedi datang, narasinya langsung bergeser: “Ini takdir, ujian iman.” Di Lirboyo, Gus Muid harap masyarakat lihat dari sisi positif – gotong royong tradisi lama.

Oke, tradisi boleh, tapi kenapa cuekin QS Ar-Rum: 41? Bahwa “Kerusakan muncul di darat dan laut karena perbuatan tangan manusia.” Atau QS Al-Maidah: 32, lindungi nyawa satu orang seperti seluruh umat.

Ini bukan takdir, tapi kelalaian yang diselimuti jargon agama. Dan yang paling bikin mual: kritik soal standar K3 langsung diserang “anti-Islam, tukang adu domba, fitnah kyai”.

Kenapa, wahai para kyai dan santri senior? Kultur defensif ini bikin pesantren mandek dan gak maju-maju– kritik bukan musuh, tapi obat—panasea—pahit memang, tapi harus ditelan. Bayangin kalau Nabi Muhammad SAW tolak saran sahabat soal perang?

Sekarang, DPR via Komisi VIII desak sanksi tegas Pasal 359 KUHP buat kelalaian seperti ini, Menteri Agama Nasaruddin Umar janji regulasi baru akhir 2025: larangan Ro’an berisiko tanpa safety.

Ini absurd: santri pake sarung ngecor di ketinggian, kayak sirkus tanpa jaring pengaman. “Sing aneh-aneh wae,” kata orang Jawa. Kalau jatuh, bukan kyai yang pegang ember semen, tapi santri kecil yang mimpi belajar memahami kitab-kitab agama.

Ro’an yang bener? Buat bersih-bersih halaman, bersihin WC, kamar dan lingkungan pesantren, bukan bangun gedung tanpa ahli. Kalau pengelola pesantren terus pelit – IDR 1 juta hingga IDR 2 juta doang buat APD seluruh santri, bisa dari donasi umat – maka pahala jariyah kalian cuma ilusi.

Apa yang didapat? Dosanya nyawa anak muda yang hilang sia-sia.

Mbokya alangkah baiknya dengar kritik sebagai sunnah Nabi, bukan ancaman. Wajibkan APD, libatkan insinyur K3, urus IMB – itu amanah syariat, bukan beban duniawi. Santri bukan budak gratisan, tapi harapan bangsa.

Jika Ro’an terus jadi alasan eksploitasi, yang rugi siapa? Bukan kalian yang duduk manis, tapi ortu yang nangis di pemakaman.

Saatnya tradisi berevolusi: dari sirkus kematian ke gotong royong yang selamat.

Kalau nggak, regulasi pemerintah bakal datang dengan paksaan – dan itu bukan takdir, tapi konsekuensi.*

*opini ini adalah murni hasil pikiran penulis, dikutip dari FulisatNews

avatar

Redaksi