Investasi Dan Serikat Pekerja
Ekonomi & Bisnis
November 10, 2024
Patrick Quinn*
Ilustrasi berserikat. (credits: Shutterstock)
DALAM lingkungan ekonomi internasional yang semakin lama semakin sulit, isu-isu tenaga kerja dan hubungan perburuhan semakin banyak mendapat sorotan. Secara teratur dapat dijumpai berita-berita di surat kabar yang memberikan kesan sepertinya perusahaan-perusahaan sedang hengkang dari Indonesia, atau mengancam akan meninggalkan Indonesia, karena Indonesia sudah tidak lagi merupakan tempat yang baik untuk berusaha.
Berita-berita tersebut menyebutkan bahwa para investor, terutama perusahaan-perusahaan tekstil Taiwan dan Korea, telah meninggalkan Indonesia dan merelokasikan fasilitas produksi mereka ke Vietnam, Kamboja, China dan Thailand.
Laporan-laporan media massa menyebutkan bahwa meningkatnya biaya tenaga kerja, masalah-masalah dengan perselisihan industrial dan ketidakpastian dalam lingkungan hubungan industrial membuat investor kuatir melakukan usaha di Indonesia.
Dengan semakin meningkatnya kekuatiran akan iklim investasi, maka pada bulan Agustus 2002, Menteri Perdagangan dan Industri mengatakan bahwa ia akan membentuk “pusat krisis” untuk membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dunia usaha. Oleh surat-surat kabar hal ini diberitakan sebagai “suatu upaya untuk membantu mencegah investor lari meninggalkan.”
Pusat krisis tersebut akan diketuai oleh Menteri Perdagangan dan Industri dan anggota-anggotanya akan dipilih dari kalangan dunia usaha, pejabat-pejabat dari lembaga-lembaga pemerintah yang relevan dan polisi. Serikat pekerja juga diikutsertakan.
Menteri mengatakan bahwa pusat krisis tersebut akan difokuskan pada upaya memecahkan masalah-masalah yang berlarut-larut, termasuk konflik-konflik perburuhan. Dilaporkan bahwa Menteri Perdagangan terutama menguatirkan dampak Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor 150 tahun 2000 tentang pembayaran uang pesangon.
Meskipun isu-isu perburuhan sering kali dikutip oleh kalangan pers sebagai “masalah”, ternyata tidak banyak bukti yang dapat dikemukakan untuk membenarkan pendapat bahwa secara umum isu-isu perburuhan merupakan kesulitan yang terutama. Tentunya tanpa menyangkal bahwa perusahaan atau sektor-sektor tertentu dapat saja mengalami masalah.
Misalnya, secara individual mungkin ada perusahaan-perusahaan yang mempunyai masalah atau kesulitan untuk mematuhi kenaikan upah minimum yang signifikan. Tetapi, tentunya tidaklah bijaksana apabila laporan media massa tentang isu-isu perburuhan dijadikan dasar atau titik tolak untuk mencoba mengembangkan kebijakan.
Bank Dunia baru-baru ini mencatat bahwa meskipun mengalami kenaikan, upah minimum di Indonesia masih tetap berada di bawah upah minimum di Filipina dan Thailand, dan hanya sedikit lebih tinggi daripada upah minimum di Vietnam. Bank Dunia juga mengatakan bahwa “dibandingkan PDB per kapita (indikator kasar produktivitas), upah minimum di Indonesia tampak tidak jauh berbeda daripada upah minimum di negara-negara saingannya dan hanya Thailand yang tampil menonjol sebagai negara yang lebih kompetitif.”
Kesulitan-kesulitan dalam lingkungan global perekonomian telah mempengaruhi keseluruhan tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat investasi di sejumlah negara di kawasan ini. Tak diragukan lagi terdapat beberapa isu khusus di Indonesia sehubungan dengan berkurangnya jumlah investasi baru, baik yang asing langsung maupun domestik.
Ada sejumlah faktor yang sering kali disebut sebagai masalah bagi perusahaan.
Tanpa diurutkan berdasarkan tingkat prioritasnya, faktor-faktor tersebut antara lain meliputi; lingkungan politik yang tidak pasti dan tegang selama tahun-tahun terakhir ini, masalah-masalah keamanan, masalah-masalah yang menyangkut dampak otonomi daerah terhadap dunia usaha, dan korupsi (baru-baru ini dilaporkan bahwa besarnya pungutan liar mencapai 10 persen dari pendapatan usaha, menengah kecil).
Termasuk juga, ketidakpastian hukum bagi kalangan dunia usaha (termasuk kasus-kasus terkenal di mana pengadilan, mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan kepentingan investor asing), isu-isu perpajakan, penyelundupan, isu-isu perburuhan, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan peraturan.
Kombinasi dari seluruh faktor-faktor ini meningkatkan elemen “risiko” di Indonesia. Meskipun di beberapa perusahaan isu-isu ketenagakerjaan dapat merupakan suatu faktor, isu-isu itu perlu dilihat dalam konteks gambar yang lebih besar dari banyak hal yang dapat mempengaruhi keputusan untuk melakukan investasi.
Tetapi upaya meningkatkan kerangka hukum hubungan industrial dan memperkuat institusi-institusi dan proses dialog dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap upaya Indonesia untuk memperbaiki iklim investasi. Dengan meningkatkan dialog, pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja dapat mulai mempertimbangkan secara terukur tanggapan-tanggapan kebijakatan yang diperlukan untuk menangani isu-isu penting yang mereka hadapi.
Indonesia saat ini menghadapi tantangan-tantangan akibat keikutsertaan dalam Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area atau AFTA) yang memaparkan suatu program pengurangan tarif regional yang komprehensif. Dampak segera dari ketentuan perdagangan bebas memberikan implikasi bagi banyak produsen di Indonesia dan untuk kebijakan pasar kerja.
Hal itu kemungkinan akan membuat Indonesia sadar akan perlunya mengkaji dengan lebih seksama isu-isu yang berkenaan dengan produktivitas tingkat perusahaan dan daya saing secara keseluruhan.
Buku Tahunan Daya Saing Dunia (World Competitiveness Yearbook) yang terbit setiap tahun menelaah perekonomian 49 negara, 30 diantaranya negara-negara OECD, dan 19 lainnya adalah negara-negara industri dan negara-negara dengan perekonomian yang mulai tampil.
Dalam buku itu, analisa yang dilakukan terhadap efisiensi usaha mengkaji sampai sejauh mana perusahaan mampu menunjukkan kinerja yang inovatif, menguntungkan dari segi keuangan dan bertanggung jawab.
Survei tahun 2002 tersebut menyebutkan bahwa secara keseluruhan efisiensi perusahaan-perusahaan Indonesia termasuk buruk bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tengara. Suatu analisa yang dilakukan International Labor Organization (ILO) terhadap data yang dikemukan dalam survei tersebut menunjukkan fakta-fakta berikut tentang kinerja Indonesia.
Yang meliputi; statistik produktivitas Indonesia tidak menggembirakan, mutu sumber daya manusia (baik tenaga kerja dan manejemen) perlu diperbaiki, upah buruh di Indonesia paling rendah dibandingkan upah buruh di semua negara lain yang disurvei, dan jam kerja per minggu di Indonesia tergolong panjang bila dibandingkan negara-negara lain.
Juga, rendahnya motivasi buruh, investasi dalam pelatihan yang juga rendah (baik perusahaan maupun pemerintah), tertekannya kepercayaan investor asing untuk melakukan penanaman modal langsung, dan tingginya tingkat ketakutan akan dampak globalisasi.
Analisa tersebut memberikan argumentasi bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia perlu mengembangkan suatu pendekatan “jalan tol” terhadap produktivitas, membangun di atas strategi yang jelas, mengembangkan suatu budaya tempat kerja yang baru, dan melakukan perubahan dalam organisasi tempat kerja. Hal ini dapat membuka potensi manusia dan sekaligus menangani isu-isu mendasar yang terdapat dalam tempat kerja Indonesia.
Diberikan pula argumentasi bahwa Pemerintah perlu berperan dalam membentuk suatu “budaya” produktivitas nasional dengan menciptakan lingkungan pendukung yang memberikan kemampuan kepada perusahaan, memperbaiki pendidikan dan pelatihan, memperbaiki kerangka hubungan tenaga kerja dan menyedihkan penelitian dan informasi yang tepat untuk memfasilitasi pembuatan kebijakan.*
*Senior Technical Specialist pada International Labor Organization (ILO)