“Kasih Tak Sampai Dalam” Dalam Perang Jambi – Johor
Ekonomi & Bisnis
May 16, 2024
Junus Nuh
Perang Jambi – Johor. (credits: history-maps)
PERSETERUAN antara Kesultanan Johor dan Kesultanan Jambi telah terjadi sejak tahun 1664. Pada saat itu, Sultan Johor, Sultan Abdul Jalil Shah, enggan merestui pernikahan Yam Tuan Muda Raja Bajau, Sultan Johor berikutnya, dengan seorang Puteri dari Kesultanan Jambi.
Akibat kasih tak sampai itu, mengutip pekhabar, telah terjadi pertempuran-pertempuran kecil antar kedua kesultanan serumpun Melayu ini, pada tahun 1670. Meskipun, tidak sampai merugikan kedua belah pihak.
Perang ini, juga dikenal dengan sebutan Perang Segi Tiga. Perang antar serumpun Melayu: Kesultanan Jambi versus Kesultanan Johor dan Kesultanan Indragiri.
Beberapa bandar di Johor diserang oleh pasukan dari Kesultanan Jambi. Hancurnya bandar-bandar itu membuat Sultan Johor pindah ke Pahang.
Namun, pembunuhan terhadap seorang pembesar Kesultanan Jambi pada tahun 1671 telah menyulut kemarahan Kesultanan Jambi. Pembesar Kesultanan Jambi itu adalah juga keluarga diraja Kesultanan Johor.
Sultan Johor enggan untuk datang meminta maaf kepada Sultan Jambi. Meskipun, senyatanya, Sultan Jambi, Pangeran Pati Anum, bersedia memberi maaf.
Pada tanggal 30 Juli 1673, Gubernur Jenderal Belanda yang berkedudukan di Melaka, Balthasar Bort telah menerima surat dari Sri Bija Diraja, seorang pembesar Johor. Mereka meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan Jambi. Permintaan bantuan itu atas perintah Sultan Abdul Jalil Syah Johor.
Tetapi, Balthasar Bort enggan memberi bantuan. Sikap Belanda kala itu, terkesan serba salah. Sebab, kedua kesultanan ini adalah sekutu bagi Belanda.
Sehingga, ketimbang memilih berpihak, dengan resiko yang tinggi, maka Belanda terkesan acuh dengan kondisi ini.
Maka, perang satu tahun lamanya pun dimulai. Tertanggal 15 Mei 1673, hingga satu tahun ke depannya.
Dalam perang ini, Johor dibantu oleh Raja Indragiri. Tetapi, kemudian, Belanda yang berkedudukan di Batavia, ternyata, membantu Jambi dalam perang ini.
Tujuan bantuan Belnda itu jelas artinya. Sebab, Jambi adalah kawasan tumbuhnya lada hitam (paper nigrum).
Rempah yang dibutuhkan oleh Belanda dan masyarkat Eropa lainnya. Dan, secara ekonomi, nilainya sangat tinggi.
Sebanyak 15 unit kapal perang Kesultanan Jambi melakukan serangan ke Batu Sawar, ibukota Johor pada waktu itu.
Kesultanan Johor mengalami kekalahan. Sebanyak 2.500 warga Johor, termasuk bendahara Kesultanan Johor ditawan oleh pasukan Kesultanan Jambi. Meskipun, 1.200 orang tawanan kemudian berhasil melarikan diri.
Prajurit dari Kesultanan Jambi berhasil mendapatkan 100 pucuk meriam dan emas senilai NLG 100.000, sebagai pampasan perang.
Untuk mengurangi dampak serangan pasukan Jambi yang semakin meluas ke berbagai wilayah Johor, maka Sultan Johor meminta kepada Belanda agar daerah Muar, untuk sementara berada dibawah pengawasan Belanda.
Laksamana Tun Abdul Jamil, selaku petinggi Kesultanan Johor melakukan pengawasan terhadap pulau-pulau terdekat. Pada akhirnya, pada tahun 1679 Laksamana Tun Abdul Jamil atas titah Sultan Ibrahim Shah Johor berhasil mengalahkan Jambi.
Menurut jejaktapak, terdapat juga intrik yang lain dari hanya sekedar cerita percintaan antar putera dan puteri dua kesultanan yang menyebabkan terjadinya Perang Segi Tiga itu. Yakni perang dagang.
Selama abad ke-16, Kesultanan Jambi terkenal karena lada hitam. Lada yang menjadi bumbu penyedap bagi makanan Eropa itu telah membuat pasukan Inggris dan Belanda berlabuh ke Jambi, secara bergantian. Dimulai sejak tahun 1615.
Sewaktu itu, Kesultanan Jambi dan Kesultanan Johor bersekutu dalam perdagangan lada. Terdapat perselisihan antar dua kesultanan, terutama terkait siapa yang harus berkuasa terhadap bandar di Kuala Tungkal.
Kuala Tungkal, pada masa itu, adalah perbatasan antara Kesultanan Jambi dengan Kesultanan Indragiri. Dari Kuala Tungkal, terbuka jalan menuju ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam. Yakni di Muara Kumpe, dan juga di Muara Tebo.
Muara Tebo, adalah kawasan penting kedua dalam perdagangan lada kala itu. Kawasan perdagangan lada, yang terpisah dari persekutuan dagang Kesultanan Jambi dan Kesultanan Johor.
Market, dimana Kesultanan Jambi mencari sesuatu yang lebih dari sekedar persekutuan dagang saja. Keuntungan ekonomi. Sebab, beberapa catatan Belanda menyebutkan, dalam perdagangan lada hitam, sikap para sultan Jambi adalah lihai; cerdik dan pandai.
Perseteruan dagang antar kedua kesultanan berubah menjadi konflik terbuka: perang. Keris pun keluar dari sarungnya. Keris yang hamper sama bentuknya, Keris Melayu.
Menurut berita, armada pasukan Kesultanan Johor pun telah berlayar masuk ke Sungai Batanghari, dan menjadi ancaman nyata bagi ibukota Jambi, yakni di Tanah Pilih, atau Kota Jambi saat ini.
Akibat kekalahan yang dialami Jambi, maka pada 1681, kedua kesultanan pun berdamai, melalui perjanjian. Isi perjanjian itu, Jambi mengaku tunduk dibawah kekuasaan Kesultanan Johor yang berpusat di Riau.
Rupanya, terdapat intrik lain. Kesultanan Jambi dan Kesultanan Johor, senyatanya, sedang melakukan persekutuan. Tujuannya adalah untuk mengalahkan Kesultanan Palembang, dalam persaingan perdagangan lada hitam.
Sebuah perang yang membingungkan bagi serumpun Melayu. Dan, Belanda tetap berada di posisi yang aman dalam perdagangan lada hitam kala itu.*