Padi Kami Jangan Gagal Panen Lagi

Hak Asasi Manusia

August 23, 2023

Jon Afrizal/Kumpe Ulu

Padi mulai subur di areal persawahan di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu, Agustus 2023. (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“TAHUN lalu banjir mengepung areal persawahan kami. Air menggenang membusukkan batang padi,” demikian Pak Te mengenang kegagalan panen padi tahun 2022 lalu.

Bertanam padi bukan persoalan gampang bagi warga Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi. Meskipun, sebenarnya penduduk tukang (: terbiasa) dalam hal ini.

“Areal persawahan sudah tidak cocok lagi untuk bertanam padi,” katanya, Minggu (20/8).

Kehadiran perkebunan-perkebunan sawit di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu dan sekitarnya sejak tahun ’90-an lalu, tidak hanya menyisakan konflik tenurial hingga saat ini saja. Tapi juga telah mengubah tatanan penghidupan masyarakat di sana.

Perkebunan-perkebunan sawit, baik itu milik perseorangan atau perusahaan, telah membuat kanal dan tanggul agar kebun milik mereka tetap terjaga kuantitas airnya. Dengan menggunakan pintu air, kuantitas air dapat diatur sesuai kebutuhan tanaman kebun.

Jika kuantitas air berlebih, maka air dialirkan ke luar areal perkebunan sawit. Secara teori, pola ini baik bagi perkebunan satu jenis.

Tetapi, prakteknya, air justru menggenangi areal persawahan milik warga.

Sebelum tahun ’90-an, kata Jang Cik, warga desa yang lain, hamparan sawah di desa mereka mencapai puluhan hingga ratusan hektare. Warga menggantungkan persediaan beras pada sawah milik mereka.

Selain juga bertanam sayur-sayuran dan buah-buahan musiman, seperti durian dan duku.

Tetapi, hari ini, Amira hanya melihat hamparan sawah yang tidak mencapai angka 5 hektare. Itu pun ditanam dengan pola “harap harap cemas”.

Persawahan di sana adalah padi ladang atau tadah hujan. Warga pun menanam padi yang bibitnya mereka usahakan sendiri.

Terlepas dari jenis padi unggul atau tidak, lahan yang ada tidak lagi berdaya untuk ditanami padi. Tanah yang retak-retak yang dipaksa untuk ditanami, karena kuantitas air yang tidak lagi dapat mereka kuasai.

Waktu empat bulan bertanam padi akan menjadi kesia-siaan. Ketika air dari kanal-kanal perkebunan sawit membanjiri areal persawahan milik mereka. Terutama saat hujan turun.

Dan ketika musim kemarau datang, kontur tanah pun menjadi retak-retak. Karena debit air tidak ada lagi, melainkan telah berpindah ke kanal-kanal.

“Kemana kami harus mengadu? Kenyataannya yang memberi izin perkebunan sawit hadir di sini adalah pemerintah,” kata Jang Cik.

Kebijakan — terkadang, harus diakui — tidak cukup bijak.

Ketika hajat hidup masyarakat lokal, justru harus mengalah dan minggir atas nama investasi perkebunan sawit yang menghasilkan ekspor Crude Palm Oil (CPO).*

avatar

Redaksi