Saksi : Tidak Pernah Melihat Bahusni Di Areal PT FPIL

Hak Asasi Manusia

August 18, 2023

Astro Dirjo/Sengeti

Masyarakat Desa Sumber Jaya yang sedang melakukan protes terhadap kehadiran PT Purnama Tausar Putra di desa mereka, pada tahun 1998. (credits : collection)

SIDANG dengan delik perkara pidana terhadap Bahusni kembali digelar di PN Sengeti. Sidang kali ini menghadirkan tiga orang saksi. Saksi ini adalah saksi ke-enam dari total 32 saksi yang akan dihadirkan dalam perkara terkait pelanggaran Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan ini.

Bahusni didakwa melanggar pasal 107 huruf a Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni melakukan, menyuruh melakukan atau turun serta melakukan, secara tidak sah, mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan.

Objek dari persoalan itu sendiri adalah areal perkebunan sawit PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi. Areal ini sebelumnya diusahakan oleh PT Purnama Tausar Putera (PTP). Sepanjang 20 tahun sejak hadirnya dua perusahaan itu di desa ini, warga desa telah melakukan protes terkait lahan desa mereka yang secara sim salabim abrakadabra berubah menjadi areal perusahaan.

Sepanjang dua sidang terakhir, telah dihadirkan enam orang saksi, baik itu yang berasal dari pihak perusahaan maupun masyarakat desa. Majelis hakim, sebagai penilai, bertanya seputar tata cara menjual lahan dari orang per orang hingga dibeli oleh pihak perusahaan. Juga tentang peran Bahusni, sesuai dakwaan.

Dari keterangan para saksi, yang menjadi fakta persidangan, diketahui bahwa keenam saksi yang dihadirkan tidak pernah melihat Bahusni berada di areal perkebunan sawit PT FPIL.

Sebelumnya, pada pembacaan eksepsi Bahusni, kuasa hukum dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Riki Hermawan mengatakan Bahusni tidak memenuhi unsur pidana dakwaan pasal 107 huruf a undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP itu.

Sebab, menurut Riki, telah dilakukan musyawarah oleh masyarakat desa beserta Pemerintah Desa Sumber Jaya pada tanggal 4 Oktober 2021. Sehingga, katanya, persoalan ini pun telah diketahui dan telah pula ditandatangani oleh perangkat desa, yang notabene adalah lembaga pemerintah di tingkat desa.

KPA, sebuah lembaga non pemerintah yang peduli terhadap hak kelola masyarakat di Indonesia memberikan catatan khusus tentang konflik agraria yang terjadi di seluruh Indonesia. Yakni terdapat banyak dugaan kriminalisasi terhadap petani sejak tahun 2015 hingga tahun 2022 lalu.

Beberapa tuduhan yang dituduhkan kepada petani adalah pencemaran nama baik, pelanggaran informasi dan transaksi elektronik (ITE), pelanggaran di sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan.

Soerjono Soekanto, guru akbar sosiologi hukum Univeristas Indonesia mengatakan kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat diangap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.

Kriminalisasi dapat juga diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.

Kriminalisasi menjadi istilah yang populer sejak tahun 2000-an. Hingga kini, belum ada definisi yang tepat terkait kata “kriminalisasi”. Meskipun, secara fakta, banyak terjadi, terutama di areal konflik lahan, yakni terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak kelola atas tanah.

Tidak hanya kriminalisasi saja, masyarakat Desa Sumber Jaya pun sempat mengalami terror yang dilakukan oleh 12 orang preman, yang menyerang mereka dengan menggunakan kendaraan truck milik PT FPIL pada Rabu malam (1/2) tahun 2023. Peristiwa ini telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

Melihat persoalan ini, konflik tenurial seharusnya diselesaikan dengan acara perdata. Yang mana, menurut guru besar hukum agraria Universitas Brawijaya Malang, Achmad Sodiki dikutip dari mkri.id menyatakan dalam Ordonansi 7 Oktober 1937 pada masa pemerintah Hindia Belanda, tidak ada ancaman pidana dalam kasus penggunaan tanah erfpacht karena dianggap sebagai urusan perdata.

Sehingga, cukup “takjub” melihat Bahusni, yang dipercayai masyarakat Desa Sumber Jaya sebagai penyelesai konflik, justru harus duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa.*  

avatar

Redaksi