Berhentilah Untuk Dimanipulasi
Lifestyle
October 18, 2025
Zulfa Amira Zaed

Ilustrasi kontrol. (credits: Therapy Mantra)
SESEORANG pernah berbagi pengalaman tentang bagaimana dia telah dimanfaatkan oleh orang lain. Secara ilmiah, perlakuan yang didapatnya ini, dapat disebut Dark Psychology.
Sebenarnya, dark psychology bukanlah cabang dari ilmu psikologi. Tetapi, secara praktek, adalah, bagaimana seseorang memanfaatkan konsep dan teknik psikologi, dan menyalahgunakannya untuk tujuan memanipulasi dan mengeksploitasi emosi, pikiran, dan perilaku orang lain melalui cara-cara halus yang seringkali tidak disadari.
Beberapa orang menggunakan prinsip psikologi ini untuk mempersuasi orang lain agar melakukan apa yang mereka inginkan. Namun, ada pula yang memanfaatkannya untuk manipulasi dalam bentuk yang lebih ekstrem.
Tentu saja, mengutip lptui, batasan antara manipulasi dan persuasi memang sangat tipis.
Semisal, ketika seseorang tahu cara merangkai kata-kata dan menampilkan ekspresi tertentu untuk memengaruhi orang lain demi tujuan yang positif dan transparan, hal itu termasuk dalam persuasi yang etis. Namun, ketika teknik yang sama digunakan secara sengaja untuk mengecoh atau merugikan orang lain, maka itulah yang disebut sebagai dark psychology.
Terdapat sekitar lima contoh praktek manipulasi ala Dark Psychology yang harusnya kita sadari. Dengan tujuan, untuk mengantisipasi agar kita tidak dimanfaatkan oleh orang lain untuk keuntungannya.
Pertama, Gaslighting. Yakni manipulasi psikologis yang dilakukan dengan cara menyangkal realitas yang dialami oleh seseorang dan mengacaukan persepsinya terhadap kejadian yang sebenarnya. Tujuannya adalah membuat korban gaslighting meragukan pikiran, ingatan, bahkan kewarasannya sendiri.
Pelaku gaslighting biasanya membangun false sense of guilt (rasa bersalah palsu) yang membuat korban mempertanyakan apakah mereka telah melakukan kesalahan, meski pada kenyataannya tidak demikian. Praktek ini sangat berisiko karena korban jadi tidak mengenali bahwa dirinya sedang dirugikan sehingga enggan atau terlambat untuk mencari pertolongan.
Kedua, Guilt-tripping. Ini adalah upaya memanipulasi seseorang dengan membebankan rasa bersalah melalui narasi palsu yang diciptakan sedemikian rupa sehingga memaksa korban untuk mematuhi tuntutan, untuk meringankan perasaan bersalahnya.

Ilustrasi manipulasi. (credits: Getty Images)
Bahasa-bahasa yang kerap digunakan pelaku guilt-tripping, adalah, seperti; “Kamu tidak peduli,” “Kamu egois,” atau “Hidup kamu gampang.”
Bahasa-bahasa ini akan membuat korban merasa bingung dan cemas. Sehingga terdorong untuk membuktikan bahwa mereka peduli dan rela melakukan apapun demi menyenangkan pelaku guilt-tripping.
Ketiga, Love Bombing. Hubungan romantis antar manusia, pun tidak terlepas dari manipulasi. Diawali dengan pemberian perhatian dan afeksi secara berlebihan dengan tujuan membangun ketergantungan emosional pada korban.
Taktik ini dapat memikat korban. Sehingga mereka percaya bahwa sedang menjalin hubungan terbaik dalam hidupnya.
Padahal, pelaku love bombing sedang memulai mengeksploitasi ketergantungan emosional yang terbantu untuk mengendalikan korban.
Dalam kondisi ini, korban cenderung menuruti apa pun yang diinginkan pelaku. Ketika pelaku sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, maka korban kerap ditinggalkan secara tiba-tiba seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Keempat, Brain Washing. Praktek ini mengacu pada upaya untuk mengatur ulang pikiran seseorang, termasuk prinsip, nilai, dan kepercayaan yang dipegang.
Taktik ini umumnya dilakukan dalam setting yang terisolasi dari dunia luar. Sebab, pelaku brain washing memiliki proses yang harus mereka selesaikan untuk memastikan bahwa mereka telah memegang kendali penuh.
Sehingga, sering kita mendengar narasi bahwa cuci otak terjadi di sebuah kamp penjara atau sekte totaliter.
Brain washing dilakukan dengan menghancurkan identitas korbannya. Ketika korban mulai mengalami krisis identitas, mereka mulai mempertanyakan siapa diri mereka, dan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Korban akan kehilangan kendali atas realitas karena mereka tidak lagi memahami siapa diri mereka dan apa yang terjadi pada mereka.
Setelah kondsii krisis ini, maka pencuci otak turun tangan dan perlahan-lahan mengganti identitas sebelumnya, dengan serangkaian perilaku, sikap, dan keyakinan baru yang sesuai dengan lingkungan baru mereka.
Kelima, Social Scalping. Seseorang yang secara berlebihan menyebutkan tentang bantuannya kepada orang lain, bertujuan untuk menanamkan rasa “utang budi”.
Praktik ini memanfaatkan prinsip timbal balik dalam hubungan social. Sehingga membuat orang lain merasa “tidak enak hati” dan menjadi sulit menolak permintaan pelaku.
Akibatnya, korban social scalping akan percaya bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menuruti keinginan pelaku sebagai bentuk balas budi. Meskipun itu membuat mereka merasa tidak nyaman.
Efeknya, pelaku social scalping mendapatkan balasan melebihi apa yang sebenarnya pantas ia dapatkan.
Dengan memahami konsep-konsep manipulasi ini, maka masih ada harapan kita untuk tidak terjebak dan dimanipulasi oleh orang lain.*
