Mengapa Anak Menjadi Sadis

Hak Asasi Manusia

April 1, 2024

Junus Nuh

Satu adegan Oliver Twist  karya Charles Dickens. (credits : firsthand)

PENGANIAYAAN hingga menyebabkan kematian Ainul Akbar (13), santri di Pesantren Ponpes Raudhatul Mujawwidin, Rimbo Bujang Kabupaten Tebo, oleh dua orang seniornya, adalah fenomena anak berhadapan dengan hukum. Pada sisi lain, persoalan ini memberikan pertanyaan, “mengapa”.

Mengapa anak-anak menjadi tega, dan bersikap bengis dan sadis terhadap orang lain, dan bahkan hingga menyebabkan kematian seseorang. Ini sepatutnya, menjadi persoalan besar dalam dunia pendidikan, dan harus dicari solusinya.

Menimbang anak adalah generasi masa depan, yang akan mewariskan apa yang telah dilakukan generasi sebelumnya.

Nurcahyo Fernandes, dalam Deviance : Jurnal Kriminologi  telah melakukanpenelitian terkait tiga kasus pembunuhan  yang dilakukan oleh anak. Ia mengatakan anak memerlukan kontrol sosial sebagai penyeimbang agar perilakunya dapat terkontrol.

Selain itu, pemilihan teman serta pergaulan yang salah dapat membuat anak jatuh dalam kenakalan bahkan terlibat masalah hukum. Terjadinya anak melakukan kejahatan pembunuhan dikarenakan kurangnya kontrol diri serta adanya pembelajaran sosial dari lingkungan sekitar.

Kontrol diri, menurut klikpsikolog,  adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri yang meliputi emosi dan perilakunya, terlebih saat berada dalam situasi sulit. Anak yang memiliki kontrol diri mampu menyalurkan dan mengatasi emosi yang dirasakan secara tepat.

Kontrol diri melibatkan kemampuan berpikir, dimana seseorang harus membuat keputusan dan penilaian mengenai penyaluran impuls dari dalam dirinya. Penanaman kontrol diri bisa dimulai sejak anak lahir hingga ia tumbuh dewasa.

Kontrol diri adalah satu kemampuan yang krusial diperlukan anak untuk mencapai kesejahteraan dan keberhasilan dalam hidup. Dengan kontrol diri, anak mampu bekerja sama dengan orang lain, mampu mengatasi frustrasi yang dirasakan, dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Penguasaan kontrol diri, tentunya, sangat memerlukan pendampingan dan arahan dari orang tua atau pengasuh anak.

Kontrol diri yang rendah, mengutip universitaspsikologi,  dapat menyebabkan perilaku yang tidak diinginkan. Kecanduan, kinerja akademis yang buruk, perilaku seksual yang menyimpang, obesitas, dan aktivitas kriminal adalah beberapa bidang yang terdokumentasi dengan baik di mana kontrol diri yang rendah terbukti.

Kontrol diri yang rendah dapat menyebabkan kegiatan yang memberikan resiko bagi orang lain dan dirinya sendiri.

Diyakini bahwa tingkat kontrol diri yang rendah adalah karena pola asuh yang tidak efektif. Ketika orangtua tidak dapat mengendalikan dan memperbaiki perilaku menyimpang, maka tingkat kontrol diri yang rendah dapat memprediksi perilaku anak yang akan menjadi masalah di masa dewasa.

Sebab, orangtua yang kurang memiliki kontrol diri cenderung untuk mengidentifikasi dan memperbaiki perilaku yang tidak diinginkan pada anak-anak mereka.

Adalah Travis Hirschi, seorang pemikir sosiologis asal Amerika yang mengembangkan Social Bond Theory dalam menanggapi banyak terjadinya kenakalan dan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak usia muda di Amerika. Teori ini menggambarkan kekuatan sosial yang membuat seseorang tidak terlibat dalam perilaku menyimpang.

Teori ini juga menjelaskan secara rinci bagaimana anak di bawah umur dapat terlibat dalam suatu pelanggaran. Sehingga, melalui teori ini, dapat diketahui kapan seseorang kurang memiliki kontrol diri.

Dengan prisma kenakalan remaja, diketahui terdapat lima aspek terkait control diri. Yakni kemampuan untuk mengkontrol perilaku, dan kemampuan untuk mengkontrol stimulus.

Juga, kemampuan untuk mengatasi suatu peristiwa atau kejadian, kemampuan untuk menafsirkan peristiwa atau kejadian, dan kemampuan untuk mengambil keputusan.

Mengutip practical-psychology, elemen lain dari pengendalian diri adalah kemampuan untuk melihat perspektif alternatif secara efektif.

Kecerdasan sosial adalah kekuatan karakter yang dapat diperkuat untuk meningkatkan kontrol diri. Alih-alih bereaksi secara impulsif terhadap perilaku orang lain, adalah lebih mudah bagi orang dengan kecerdasan sosial yang tinggi untuk merespons simpati dan simpati.

Wabah dengan kekerasan yang lebih sedikit akan terjadi ketika seseorang dapat memperlambat respons mereka untuk menanggapi dengan benar dugaan ancaman terhadap dirinya.*

avatar

Redaksi