Anak-anak Pun Memiliki Otonomi

Hak Asasi Manusia

March 16, 2024

Brynn Emond*

“Anak ingin tumbuh dari dalam. Dan semua yang mendambakan ekspresi akan diizinkan untuk tampil menjelang terang hari.” – Emma Goldman

SETIAP orang dewasa memahami, pada tingkat naluri dan berdasarkan pengalaman kita sebagai manusia, bahwa anak-anak itu penting. Dan masa kecil itu penting.

Anak-anak adalah mahluk kecil yang bebas dan luar biasa. Mereka penuh dengan keingintahuan intrinsik dan keinginan untuk belajar. Sebab segala sesuatu adalah baru bagi mereka, dan begitu pula segalanya sama menarik dan layak untuk dijelajahi.

Mainannya yang tergeletak di lantai, lukisannya di atas dinding, dedaunan yang beterbangan di hari yang cerah; segala sesuatu untuk dilihat, atau disentuh, atau dicicipi, dan – pada akhirnya – dipahami melalui kerangka budaya yang lebih luas di mana kita dilahirkan.

Inilah bagaimana masiing-masing kita belajar. Seorang anak tumbuh dan berkembang dengan menjelajahi dunia sekitar mereka, dengan memiliki kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain, hewan lain, dan berbagai tempat dan warna serta benda-benda yang membentuk dunia kita.

Di tahun-tahun yang fundamental dan rapuh : di antara masa lahir dan dewasa, kita tidak hanya mempelajari nama dan bentuk benda; kita juga diajari untuk takut terhadap sesuatu, apa yang harus dicintai, dan sesuatu apa yang mungkin kita mampu melakukannya suatu hari nanti.

Kehidupan anak-anak bukanlah sesuatu yang dapat dikendalikan sepenuhnya oleh pengasuhnya, meskipun banyak yang ingin, melakukan dan mencobanya. Dan memang seharusnya demikian, karena anak-anak bukanlah papan tulis yang kosong.

Mereka adalah individu, sebagaimana semua orang, dengan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang kompleks: jauh lebih dari sekedar gabungan dari bagian-bagiannya, dan jauh lebih dari apa yang mungkin terjadi, namun kita – orang dewasa, ingin mengendalikannya.

Setiap orangtua mengerti bahwa anak akan menolaknya otoritas yang nyata dari pengasuh mereka dalam mencari otonomi sejak dini – segera saat mereka mengenali diri mereka sendiri, dan bahkan sebelum mereka mempelajari kata “Tidak”, yang menjadi satu kata terpenting yang diketahui seorang anak.

Penolakan ini sangat wajar, namun sering kali tidak disadari seperti itu. Orangtua dan pendidik yang bermaksud baik dan penuh kasih sering kali menanggapi pernyataan anak-anak tentang hal ini dengan rasa frustrasi dan kemarahan.

“Apa maksudmu tidak – kamu harus makan apa yang ada di piringmu!” Atau, “Apa maksudmu tidak, kita harus jalan-jalan di luar sekarang – kamu tidak punya pilihan.”

Pengasuh merasa bahwa merekalah yang paling tahu; karena mereka sudah dewasa, dan anak berusia dua tahun mungkin belum dewasa untuk memahami dampak dari memakai pempers yang kotor secara terus menerus, misalnya, hingga mereka sendiri mempelajarinya.

Dalam perkembangan masa kanak-kanak, hal ini disebut “konsekuensi alami” – yaitu, jika ia terus melakukannya, maka ia akan segera mengetahuinya, karena itu membuatnya menjadi sangat tidak nyaman.

Orang dewasa dan pengasuh mungkin lebih tahu, tapi salah jika berasumsi bahwa mereka selalu tahu yang terbaik untuk anak.

Mereka hanya mengetahui apa yang telah diajarkan kepada diri mereka sendiri, dan mungkin membawa serta apapun, seperti sejumlah trauma dari kehidupan mereka sendiri, misalnya.

Pada kenyataannya, kebanyakan dari kita – orang dewasa melakukannya. Kita hidup secara kolektif di sebuah planet, dan kita telah menyaksikan terjadinya pelecehan selama beberapa generasi: dalam bentuk perang, genosida, penindasan dan kolonialisme.

Kita sekarang sedang terburu-buru menuju kehancuran lingkungan. Begitu pula seluruh populasi menderita akibat bencana badai, banjir, gelombang panas, dan kekeringan.

Banyak dari kita berasal dari tempat-tempat yang sudah gelap, dengan orangtua atau kakek-nenek yang melarikan diri dari zona perang, atau meninggal saat melarikan diri dari zona perang – atau hidup di bawah trauma penindasan sistemik – atau semua hal ini sekaligus.

Trauma antar generasi diwariskan kepada anak-anak kita dengan cara ini : karena trauma itu tidak pernah hilang sejak pertama kali berada di tempatnya. Kita – orang dewas, mengulangi kekerasan yang dilakukan terhadap diri kita, bukanlah karena kita menanggung akibat untuk menimbulkan niat buruk apa pun, tetapi karena itulah satu-satunya cara yang kita ketahui untuk bagaimana menghadapinya : dalam keadaan penuh kekerasan, selamanya.

Namun anak-anak tidak mengetahui hal ini ketika mereka masih kecil. Apa yang mereka ketahui, secara naluriah dan dengan gairah yang secara harfiah atau kiasan dipaksa tunduk pada saat mereka memasukinya sistem sekolah, adalah bahwa mereka memiliki otonomi. Mereka tahu apa arti kata “Tidak”, dan memang demikian adanya.

Mereka menentang kendali dan perintah pengasuh mereka, yang juga mereka cintai dengan sepenuh hati, karena mereka memahami – seperti halnya semua orang – bahwa hubungan itu adalah sebuah komunikasi. Hubungan adalah negosiasi, kompromi, dan timbal balik. Sehingga ketika komunikasi terdistorsi, dan kita bertanya, maka anak-anak menjawab dengan kata “Tidak”.*

*Artikel ini pertama kali dipublikasikan di laman mutualrage. Selanjutnya diterjemahkan, diedit tanpa mengurangi makna tulisan, dan dipublikasikan kembali untuk pembaca Amira.

avatar

Redaksi