Siasat Politik ala “Sang Penguasa”
Daulat
February 8, 2024
Achmad Wicaksana
Potret Nicolo Machiavelli. (credits: Darren McAndrew)
“Orang berkata bahwa banyak manusia yang tidak tahu berterima kasih, tidak setia, tidak tulus dan penipu, takut akan bahaya dan gemar mencari keuntungan. Tetapi cinta, adalah kewajiban yang ingin selalu dilanggarnya. Tetapi, rasa takut yang tak pernah usai telah menyanderanya.” (Sang Penguasa – Machiavelli)
NAPOLEON Bonaparte memimpin “Pertempuran Waterloo”, sekitar 15 kilometer arah selatan ibu kota Belgia, Brussels pada tanggal 18 Juni 1815. Ini adalah pertempuran terakhir Napoleon. Sekaligus penutup bagi Kaisar Prancis yang dikenal dengan nama Napoleon I ini.
Napoleon I, adalah orang yang berminat terhadap karta Machiaveli. Ia bahkan menulis interpretasi untuk buku “Sang Penguasa”. Interpretasi ini ditemukan oleh militer Prusia setelah Napoleon Kalah di Waterloo.
Benito Mussolini, diktaktor fasis dari Itali juga adalah penikmat buku “Sang Penguasa”. Ia juga pernah menulis interpretasi tentang buku ini.
Buku ini aslinya berjudul “De Principatibus” (Tentang Kekuasaan) yang ditulis Machiavelli pada tahun 1513. Tetapi, buku risalah politik ini diterbitkan pad atahun 1532, yakni lima tahun setelah Machiavelli meninggal dunia.
Setelah terbit, buku politik yang realistis ini, biasa diberi judul “Il Principe”. Buku The Prince (: english), sebenarnya, adalah tutorial tentang bagaimana memperoleh kekuasaan, memperluasnya, dan menggunakannya dengan hasil maksimal.
Beberapa orang sering menyandingkan buku ini lebih realistis ketimbang karya-karya Plato dengan teori politik yang acap mengambang. Sehingga, wajar jika buku ini lebih diingat ketimbang karya-karya Machiavelli yang lain.
Sehingga muncullah paham Machiavellism, yakni pelaksaaan politik menurut buku “Il Principe”, dan para penganut paham ini disebut Machiavellian.
Mengutip Britannica, terminology Machiavellianism juga digunakan secara lebih umum untuk mencirikan pandangan bahwa politik itu amoral dan tindakan tidak bermoral yang biasanya bersentuhan dengan penipuan, pengkhianatan, dan kekerasan yang diperbolehkan sebagai cara efektif untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik.
Sehingga, Machiavellian menandakan perilaku sangat tidak bermoral yang mengutamakan kepentingan pribadi seseorang atau kelompok daripada kepentingan komunitas atau negara.
Dalam psikologi dan teori kepribadian, Machiavellianism adalah satu dari tiga sisi dark triad. Sementara dua lainnya adalah narsisme dan psikopat. Berbeda dengan narsisme dan psikopat, Machiavellianism bukanlah gangguan mental.
Machiavellianism ditandai dengan sikap emosional yang dingin, bermuka dua, dan agresivitas. Perilaku dan karakteristik Machiavellian yang khas mencakup manipulasi tidak berperasaan terhadap orang lain demi keuntungan pribadi, dan penggunaan taktik tidak bermoral lainnya dalam mengejar kekuasaan dalam suatu organisasi atau komunitas.
Juga ketidakpercayaan yang berlebihan terhadap orang lain, keinginan untuk membalas dendam sebagai respons terhadap perilaku yang dianggap salah oleh orang lain, dan penampilan pesona dan karisma yang tidak tulus dalam interaksi sosial yang singkat.
Machiavellian tidak memiliki empati afektif, atau pengalaman mewakili perasaan atau emosi orang lain, namun mereka mampu memiliki empati kognitif tingkat tinggi, atau kemampuan untuk memahami keadaan mental orang lain. Mereka sering menggunakan pemahaman itu untuk memanipulasi orang lain demi keuntungan mereka sendiri.
Menurut plato.stanford.edu, para filsuf politik di masa lalu mengemukakan hubungan khusus antara kebaikan moral dan otoritas yang sah. Banyak penulis yang menginterpretasikan buku “Sang Penguasa” percaya bahwa penggunaan kekuasaan politik hanya sah jika dilakukan oleh seorang penguasa dengan moralitas adi luhur.
Sehingga, buku ini adalah juga nasihat. Bahwa jika mereka menginginkan pemerintahan yang panjang dan damai serta ingin mewariskan jabatan mereka kepada ahli warisnya, maka mereka pun harus berperilaku sesuai dengan standar etika konvensional, yaitu, kebajikan dan kesalehan.
Dengan arti lain, bahwa penguasa berhak untuk dipatuhi dan dihormati karena kejujuran moral dan agama mereka.
“Il Principe” adalah kritik Machiavelli terhadap moralitas kekuasaan. Bagi Machiavelli, tidak ada dasar secara moral untuk menilai perbedaan antara penggunaan kekuasaan yang sah dan tidak sah.
Sebaliknya, siapa pun yang memiliki kekuasaan berhak memerintah. Tetapi tidak ada jaminan bagi kekuasaan dan penguasa tanpa moralitas untuk berkuasa.
Buku ini bertentangan dengan teori-teori politik yang berasal dari moral. Dimana Machiavelli mengatakan bahwa satu-satunya perhatian nyata dalam politik adalah perolehan dan pemeliharaan kekuasaan.
Meskipun, dalam buku ini, senyatanya, Machiavelli tidak banyak berbicara tentang kekuasaan itu sendiri, melainkan tentang mempertahankan negara.
Machiavelli memberikan kritik tajam terhadap konsep kekuasaan dengan menyatakan bahwa gagasan tentang hak-hak sah dari pemerintahan tidak menambah apa pun pada kepemilikan kekuasaan yang sebenarnya.
“Il Principe” mempertontonkan politik realistis yang sadar diri dari seorang penulis yang sepenuhnya sadar. Ini berdasarkan pengalaman langsung dalam melayani pemerintah Florentine.
Bahwa, menurutnya, kebaikan dan kebenaran tidak cukup untuk memenangkan dan mempertahankan supremasi politik. Sehingga Machiavelli pun berupaya mempelajari dan mengajarkan aturan-aturan kekuasaan politik.
Baginya, setiap penguasa yang sukses perlu mengetahui cara menggunakan kekuasaan secara efektif. Hanya dengan penerapan yang tepat, Machiavelli percaya, individu dapat ditundukkan dan penguasa akan mampu menjaga keselamatan dan keamanan negara.
Menurutnya, orang yang patuh hanya karena mereka takut akan konsekuensi jika tidak melakukan hal itu, baik berupa hilangnya nyawa atau hak istimewa. Dan tentu saja, kekuasaan saja tidak dapat mengikat seseorang, karena kewajiban bersifat sukarela dan mengasumsikan bahwa seseorang dapat melakukan hal sebaliknya.
Argumen Machiavelli dalam The Prince dirancang untuk menunjukkan bahwa politik hanya dapat didefinisikan dengan tepat dalam kaitannya dengan penggunaan kekuatan koersif secara efektif.
Tetapi, senyata, seperti yang terjadi pada Napoleon Bonaparte dan Benito Mussolini. Dimana perintah kekerasan, menurut Yes Winter, telah memaksa mereka sendiri untuk turun dari tahtanya.*