St Pauli : Sepakbola Adalah Loyalitas
Lifestyle
February 5, 2024
Zachary Jonah
Suporter St Pauli. (: getty images)
AGAINST modern football. Tidak ada yang menyanggah bahwa sepakbola saat saat ini adalah : bisnis.
Tetapi, St. Pauli dari kota Hamburg berhasil membantah, bahwa sepakbola lebih dari uang. Terbukti, hingga saat ini, klub sepakbola ini masih tetap ada, dan didanai oleh suporternya.
Mengutip situs resmi St Pauli, bahwa tidak ada tempat untuk: homofobia, fasisme, seksisme, dan rasisme. Keempatnya adalah aturan resmi dalam klub yang berdiri pada 15 Mei 1910 ini.
Dan, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa 100 persen saham klub ini dimiliki oleh suporternya. Ini, tentunya, tradisi bersepakbola yang ideologis. Tidak hanya di Eropa saja, tetapi juga di seluruh dunia.
Sepakbola di Jerman, sepertinya disusupi oleh elemen-elemen neo-Nazi di bagian tribun penonton. Terlebih pada saat sentimen fasis kembali melanda Eropa dipenggalan tahun 1980-an.
Harmburg, adalah juga kota dimana The Beatles manggung sebelum keempatnya menjadi ternama di seantero dunia. Dan, kota ini sangat tidak akrab dengan sentiment rasial.
Adalah kelompok Doc Mabuse yang kemudian membendung elemen-elemen yang biasa disebut dengan kick politic out of football ini. Dengan membawa bendera hitam berlambang tengkorang dan dua tulang bersilang ke Millerntor-Stadion, markas St Pauli. Bendera ini dekat dengan tradisi Klaus Stortebeker, sekitar enam ratus tahun yang lalu.
Artinya, siapapun dapat hadir di stadion; tanpa perbedaan dan tanpa prasangka. Dan, yang terpenting, adalah, loyal terhadap klub.
Maka, jadilah klub ini akrab dengan sematan budaya komunitas.
Setelah terdegradasi dari Bundesliga 2 ke Regionaliga Nord (Divisi III) pada tahun 2003, kondisi St. Pauli hampir bangkrut. Saat itu, manajemen tidak memiliki uang, sponsor sepi, dan uang dari menjual tiket pertandingan tidak lagi banyak, bahkan tidak cukup untuk menghidupi klub untuk satu musim pertandingan.
Retteraktion pun dilakukan. Ini adalah upaya penyelamatan klub dengan cara penggalangan dana. Lalu, klub pun menjual t-shirt berlogo tengkorak dan dua tulang bersilang ke publik.
Para supporter, dengan loyalitasnya, merogoh kocek untuk membeli sebanyak 140.000 t-shirt dalam waktu 6 pekan. Mereka adalah Retter (: penyelamat) klub. Sama seperti tulisan di tulang pada t-shirt itu.
Suporter Sankt Pauli, juga terhubung dengan mereka yang terlanjur untuk “mencintai sepakbola dengan hati yang paling dalam”. Begitu kira-kira phrasa yang tepat. Sebut saja ultras, dan berbagai elemen sosial yang kerap dianggap “terpinggirkan”. Meskipun, dengan kultur komunitas, kata “terpinggirkan” itu harus dikoreksi.
Budaya Do It Yourself (DIY) ala punk, misalnya. Sebut saja grup band Asian Dub Foundation, Gaslight Anthem atau bahkan Anti Flag yang menyatakan diri sebagai suporter klub ini. Juga para feminist.
Banyak yang menyatakan St Pauli adalah klub sepabola punk. Tapi, yang terpenting, bagaimana loyalitas tetap menjaga klub untuk ada. Akhirnya, budaya loyalitas ini pun menyebar hingga ke Manchester dan bahkan Amerika.
Bahwa mungkin saja suatu saat, simbol tengkorak dan dua tulang bersilang itu akan hadir di bursa saham, misalnya, tentu bukanlah hal yang tidak mungkin. Sebab simbol, itu kini, adalah juga “identitas perusahaan” bagi St Pauli dan suporternya.
Meskipun, simbol tengkorak dan dua tulang bersilang bukanlah logo resmi yang tersemat di jersey setiap pemain St Pauli. Logo resminya adalah seperti sebuah bangunan gereja dengan arsitektur batu dan angka “1910”.
Anthem yang biasa dinyanyikan bersama pada saat pembukaan laga di Millerntor-Stadion oleh para suporter adalah petikan lagu “Hell Bells” dari AC/DC dan “Song 2” dari Blur. Tentunya, cara ini lebih mirip sebuah gigs festival musik, dimana setiap orang dapat bersuka ria.
Sebagai wujud hubungan timbal-balik terhadap suporter, klub pun memberikan banyak fasilitas kepada pendukungnya. Mulai dari “ruangan khusus” yang dapat digunakan oleh supporter, dan khusus untuk supporter : Fanladen.
“St Pauli adalah nilai-nilai dari komunitas. Kami mempunyai satu tujuan yang sama, untuk menjadi sesukses mungkin di lapangan dan mewujudkan nilai-nilai ini,” kata Martin Drust, dikutip globalsportmatters.
Sebab, sepakbola bukan hanya olahraga saja. Tetap, juga, sebagai cara untuk memperjuangkan ide dan nilai; untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik lagi.*