Sejarah Aksi Teror
Hak Asasi Manusia
March 25, 2025
Magda Lazarus

Ilustrasi origami satwa babi. (credits: pexels)
TEROR, tercatat telah lama dilakukan di sepanjang peradaban manusia. Baik itu oleh aktor negara dan non-negara.
Sejarawan Yunani kuno, Xenophon (431 – 350 SM), mengutip Britannica, menulis tentang efektifitas perang psikologis terhadap musuh. Kaisar Romawi seperti Tiberius (14 – 37 M) dan Caligula (37 – 41 M), telah mempraktekan pengasingan, perampasan properti, dan eksekusi sebagai cara untuk mencegah perlawanan terhadap kekuasaannya.
Contoh paling umum yang dikutip dari awal sejarah teror, adalah aktifitas kaum Zelot Yahudi, selama periode Second Temple yang disebut dengan Sicarii (516 SM – 70 M). Dalam bahasa Ibrani, Sicarii berarti: belati.
Kelompok Sicarii sering melakukan serangan kekerasan terhadap sesama orang Ibrani yang dicurigai berkolusi dengan penguasa Romawi.
Penggunaan teror secara terbuka dianjurkan oleh Robespierre selama Revolusi Perancis (1789 – 1799), dan inkuisisi Spanyol (1478 M) menggunakan penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi sewenang-wenang untuk menghukum apa yang dianggapnya sebagai bi’dah agama.
Setelah Perang Saudara Amerika (1861– 1865), orang-orang Selatan yang menentang dan membentuk kelompok Ku Klux Klan untuk mengintimidasi para pendukung Rekonstruksi (1865 – 1877), dan para mantan budak yang baru dibebaskan.
Penggunaan aksi terror terus berlanjut dalam sejarah. Pada paruh kedua abad ke-19, teror telah diadopsi di banyak wilayah dunia.
Dan, istilah “teror” pertama kali diciptakan dan resmi digunakan pada tahun 1790-an. Yakni untuk merujuk pada tindakan teror yang digunakan oleh para revolusioner terhadap lawan-lawan mereka, selama Revolusi Prancis.
Bahkan, sebaliknya, Partai Jacobin dari Maximilien Robespierre telah melaksanakan Pemerintahan Teror yang melibatkan eksekusi massal dengan alat guillotine.
Penggunaan kekerasan yang disengaja, atau teror, bagaimanapun, telah digunakan untuk menciptakan iklim ketakutan secara umum di dalam suatu populasi. Sehingga mencapai tujuan politik tertentu.
Terorisme telah dipraktikkan oleh organisasi politik dengan tujuan sayap kanan dan sayap kiri, oleh kelompok nasionalis dan religius, oleh kaum revolusioner, dan bahkan oleh lembaga negara.

Alat Guillotine. (credits: Wiki Commons)
Teror, mengutip merriam-webster, adalah; keadaan ketakutan yang sangat atau sangat besar, kekerasan atau ancaman kekerasan yang digunakan sebagai senjata intimidasi atau paksaan, aspek yang sangat menakutkan atau mengerikan.
Terorisme, mengutip Educate Against Hate, adalah tindakan atau ancaman yang dirancang untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi masyarakat. Tujuannya adalah untuk memajukan tujuan politik, agama, atau ideologi.
Di Inggris, terorisme didefinisikan sebagai tindakan kekerasan yang; membahayakan nyawa orang lain, selain nyawa orang yang melakukan tindakan tersebut, melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, menyebabkan kerusakan serius pada properti, menciptakan resiko serius terhadap kesehatan dan keselamatan publik, dan, mengganggu atau secara serius mengganggu sistem elektronik.
Sedangkan, kata yang hampir mirip, ekstremisme adalah promosi atau kemajuan ideologi yang didasarkan pada kekerasan, kebencian atau intoleransi. Yang bertujuan untuk; (1) meniadakan atau menghancurkan hak-hak dasar dan kebebasan orang lain; atau, (2) melemahkan, menggulingkan atau mengganti sistem demokrasi dan hak-hak demokrasi; atau, (3) secara sengaja menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang lain mencapai hasil pada (1) atau (2).
Meskipun masih diperdebatkan, tetapi terorisme, secara tipologi populer dapat diidentifikasi menjadi tiga. Yakni; revolusioner, subrevolusioner, dan, establishment.
Para pelaku terorisme revolusioner berupaya menghapuskan sistem politik secara menyeluruh dan menggantinya dengan struktur baru. Sementara terorisme subrevolusioner digunakan bukan untuk menggulingkan rezim yang ada, tetapi untuk mengubah struktur sosial politik yang ada. Karena perubahan ini sering kali dilakukan melalui ancaman menggulingkan rezim yang ada, kelompok subrevolusioner agak lebih sulit diidentifikasi.
Sedangkan terorisme establishment, yang sering juga disebut terorisme negara atau yang disponsori negara, digunakan oleh pemerintah, atau lebih sering oleh faksi-faksi dalam pemerintah, terhadap warga negara, terhadap faksi-faksi dalam pemerintah, atau terhadap pemerintah atau kelompok asing.
Jenis terorisme ini sangat umum, tetapi sulit diidentifikasi. Terutama karena didukung oleh faktor “kerahasiaan”.
Mengutip FBI, banyak faktor yang berkontribusi terhadap berkembangnya ancaman terorisme di ranah internasional dan domestik. Seperti, pelaku tunggal, yakni ancaman teroris yang telah berevolusi dari konspirasi kelompok besar menjadi serangan pelaku tunggal.

Ilustrasi graffiti satwa tikus. (credits: pexels)
Orang-orang ini sering kali meradikalisasi diri secara daring dan bergerak cepat untuk melakukan kekerasan. Tanpa afiliasi kelompok atau arahan yang jelas, pelaku tunggal sulit diidentifikasi, diselidiki, dan diganggu.
Selain itu, juga internet dan media sosial. Para pelaku kekerasan internasional dan domestik telah mengembangkan kehadiran yang luas di internet melalui platform pengiriman pesan dan gambar, video, serta publikasi daring.
Ini memudahkan kemampuan kelompok untuk meradikalisasi dan merekrut individu yang reseptif terhadap pesan para pelaku.
Sehingga, sangat penting bagi setiap orang untuk melindungi diri mereka sendiri, baik secara daring maupun secara langsung, dan melaporkan aktifitas mencurigakan yang ditemui.
Cara paling mudah untuk melakukannya, adalah; tetap waspada terhadap lingkungan sekitar, menghindari berbagi informasi pribadi secara berlebihan, dan, katakan jika anda melihat sesuatu yang mencurigakan, kepada pihak yang anda percayai.*

