“Jurgen Habermas” Di Malam Panik Di Tamansari
Resonansi
September 10, 2025
Faustina Rosalia*

Kerusuhan di Jalan Tamansari, Bandung. (credits: Info Bandung)
“Kerusuhan terjadi setelah jam operasional kampus selesai dan bukan disebabkan oleh aktivitas mahasiswa Unisba. Massa tidak dikenal muncul dari berbagai titik dan bergerak ke arah kampus. Diluar dugaan massa bergerombol di titik lain ke titik lainnya, massa tidak dikenal yang memicu aparat bergerak.” Rektor Unisba Prof. A. Harits Nu’man
SENIN, 1 September 2025, jam dinding baru saja melewati pukul 23.30 WIB. Di sekitar Jalan Tamansari, Bandung, ratusan mahasiswa yang seharian menggelar aksi damai di DPRD Jawa Barat tengah beristirahat. Sebagian kembali ke kos, sebagian memilih berlindung di kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas).
Tak ada yang menduga malam itu akan berubah menjadi chaos. Dentuman terdengar, diikuti asap putih pekat yang menyengat mata dan paru-paru. Gas air mata ditembakkan bertubi-tubi ke arah kampus. Mahasiswa berlarian, sebagian jatuh pingsan, sebagian lagi muntah-muntah.
“Akibatnya, ada sekitar 12 orang yang terpapar asap hingga pingsan di kampus tersebut,” kata Rosyid, Kepala Unit Keamanan Kampus Unpas, ketika diwawancarai pada Selasa, 2 September 2025 (Merdeka). Dalam keterangan lain, ia menegaskan, “Ada 12 yang pingsan” akibat serangan gas air mata (CNN Indonesia).
Setidaknya 12 mahasiswa tumbang, puluhan lainnya mengalami sesak napas, kaca gedung pecah, bahkan satu sepeda motor terbakar. Relawan medis mendirikan posko darurat, mengevakuasi korban ke aula kampus. Di halaman, mahasiswa menemukan 48 selongsong gas air mata. Bukti fisik yang tak terbantahkan.
“Kami hanya menghalau massa di luar, tidak pernah masuk,” kata pejabat dari Polda Jabar dalam konferensi pers.
Tetapi, “Kalau memang tidak masuk, bagaimana mungkin selongsong gas bisa berserakan di dalam?” tanya Presiden BEM Unisba, Rosyid.
Double violence, dimana kekerasan fisik di lapangan, disusul kekerasan simbolik dalam bentuk penyangkalan.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, menyebut tindakan aparat sebagai serangan terhadap ruang aman pendidikan.
“Penembakan gas air mata ke arah kampus adalah serangan terhadap ruang aman pendidikan. Kampus harus menjadi tempat dialog damai, bukan kekerasan,” ujarnya, Selasa, 2 September 2025 (Tirto).

Jalan Tamansari, Bandung. (credits: Detik)
Brian berjanji kementerian akan memastikan pendampingan medis dan psikologis bagi mahasiswa yang menjadi korban, sekaligus menjaga agar ruang akademik tetap steril dari intervensi aparat.
Sementara itu, Amnesty International Indonesia (AII) lewat Direktur Eksekutifnya, Usman Hamid, mengutuk keras penggunaan gas air mata di kampus.
“Penggunaan gas air mata yang berlebihan adalah tindakan berbahaya, bahkan bisa fatal. Kita pernah belajar dari Tragedi Kanjuruhan. Pendekatan represif ini hanya merusak demokrasi,” kata Usman, 2 September 2025 (Tirto)
AII juga mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi independen, serta mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap aktivis dan mahasiswa adalah bentuk penyempitan ruang demokrasi.
Ruang Publik Yang Rasional
Dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere (1962/1989), Jurgen Habermas menjelaskan bahwa ruang publik adalah arena dimana warga negara bisa mendiskusikan isu bersama secara rasional, mengawasi kekuasaan, dan membentuk opini publik. Kampus, bersama media, salon literer, dan ruang diskusi, adalah contoh konkret dari arena ini.
Habermas juga memperingatkan bahwa ruang publik bisa terdistorsi ketika negara memanipulasinya. Media berubah menjadi corong propaganda, opini publik direduksi jadi aklamasi, dan dialog digantikan kekerasan. Dalam istilah Habermas, ruang publik menjadi “unpolitical” ketika ia hanya berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan.
Serangan gas air mata ke kampus di Tamansari adalah potret jelas dari degradasi itu. Bukannya memelihara ruang publik akademik, negara justru menghancurkannya dengan represi. Bukannya mengakui kesalahan, aparat malah menyangkal. Dengan begitu, negara menutup pintu komunikasi rasional, menggantinya dengan narasi tunggal “demi keamanan”.
Sikap pemerintah dan aparat dalam kasus ini adalah contoh klasik dari tone deaf government negara yang tuli terhadap suara publik. Ketidakpekaan ini bisa dibaca dalam tiga lapisan.
Mahasiswa turun ke jalan membawa kritik, bukan senjata. Mereka menagih akuntabilitas kebijakan, menuntut demokrasi yang lebih jujur. Namun pemerintah justru merespons dengan logika keamanan, seolah kritik adalah ancaman.
Habermas mengingatkan bahwa opini publik adalah “tribunal” yang lebih kuat dari semua pengadilan. Alih-alih hadir di ruang pengadilan itu, pemerintah memilih menutup telinga.
Kampus bukan sekadar gedung. Ia simbol kebebasan akademik, ruang aman bagi mahasiswa untuk berpikir kritis. Menembakkan gas air mata ke kampus sama saja menginjak simbol itu. Lebih buruk lagi, penyangkalan Polda Jabar memperlakukan kesaksian mahasiswa seolah tidak sah. Ini adalah penghinaan ganda terhadap tubuh mahasiswa diserang, lalu suara mereka dihapus.
Demokrasi hidup karena adanya ruang publik. Ketika kampus diserbu dan aparat menyangkal, publik melihat demokrasi hanya sebagai formalitas. Habermas menulis, ketika ruang publik digantikan manajemen opini, demokrasi menjadi sekadar “public relations”.
Gas air mata menguap dalam hitungan menit, tapi dampaknya bertahan bertahun-tahun. Terdapat tiga konsekuensi serius;
Pertama, Trauma Kolektif. Mahasiswa yang mengalami pingsan, sesak napas, atau melihat temannya jatuh, akan menyimpan trauma psikologis. Kampus yang semestinya ruang aman kini jadi memori kekerasan. Generasi berikutnya akan tumbuh dengan rasa takut bahwa kritik bisa dibalas dengan represi.
Kedua, Erosi Ruang Publik Akademik. Kampus adalah benteng ruang publik. Jika ia terus diperlakukan sebagai objek represi, maka dosen dan mahasiswa akan enggan bersuara. Universitas berisiko berubah menjadi sekadar birokrasi pendidikan tanpa fungsi kritis. Habermas menulis, ketika publik hanya dilibatkan sebatas aklamasi, demokrasi kehilangan substansinya.
Ketiga, Krisis Legitimasi Negara. Legitimasi tidak lahir dari senjata, tetapi dari kesediaan mendengar. Ketika aparat menyerang dan menyangkal, negara kehilangan pijakan moralnya. Demokrasi berubah menjadi panggung prosedural belaka. Seperti ditulis Habermas, tanpa ruang publik yang rasional, pertanyaan besar yang tersisa hanyalah: apakah demokrasi masih mungkin?
Kasus Tamansari adalah cermin rapuhnya demokrasi Indonesia. Negara menyerang ruang publik, lalu menyangkal. Pemerintah menutup telinga terhadap suara mahasiswa, padahal telinga itulah yang menopang legitimasi.
Habermas juga mengingatkan bahwa demokrasi sejati hanya mungkin bila ruang publik dijaga, bukan dikebiri. Opini publik tidak boleh direduksi menjadi propaganda, melainkan harus diperlakukan sebagai kritik yang rasional.
Jika pemerintah terus bersikap tone deaf, demokrasi akan menjadi teater bisu: rakyat berteriak, negara menyangkal, dan gas air mata menjawab. Itu bukan demokrasi, melainkan represi dengan topeng legalitas.
Pelajaran dari Tamansari jelas, bahwa demokrasi tidak butuh gas air mata, dan tidak butuh penyangkalan. Demokrasi butuh telinga yang mau mendengar, dan keberanian untuk mengakui kesalahan.
Tanpa itu, ruang publik akan mati perlahan dan bersama dengannya, juga masa depan demokrasi Indonesia.*
Referensi:
Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society (T. Burger, Trans.). MIT Press. (Original work published 1962).
Tirto. (2025, September 2). “Tindakan represif polisi ke kampus Unisba & Unpas langgar hukum”.
Tirto. (2025, September 2). “Mendiktisaintek sesalkan aksi penembakan gas air mata ke Unisba”.
Tirto. (2025, September 2). “Amnesty kecam aksi polisi tembakkan gas air mata ke Unisba”.
CNN Indonesia. (2025, September 2). “Kesaksian kampus Unpas diberondong gas air mata, 12 orang pingsan”.
Merdeka. (2025, September 2). “Unisba dan Unpas dihujani gas air mata, ini penjelasan pihak kampus”.
*Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Isi tulisan adalah murni pemikiran penulis, dan diluar tanggungjawab Amira

