Krisis Kepercayaan; Membubarkan DPR?
Daulat
August 25, 2025
Sigit Pamungkas

Anggota DPR RI berjoget sesaat setelah “Sidang Tahunan MPR-DPR RI” pada tanggal 18 Agustus 2025. (screenshot YouTube Sekretariat Presiden)
SERUAN untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ramai diperbincangkan di media sosial, akhir-akhir ini. Terlebih menjelang tanggal 25 atau 28 Agustus 2025, yang, diduga akan terjadi demo besar-besaran.
Aksi demonstrasi besar-besaran ini, mengutip Viva, digagas oleh Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Aksi ini diberi nama HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah).
Gerakan ini akan digelar serentak di 38 provinsi dengan pusat aksi di Gedung DPR RI dan Istana Negara, pada Kamis (28/8).
Sejauh ini, dapat diketahui bahwa kesan buruk publik terhadap DPR memuncak karena beberapa alasan. Beberapa diantaranya; kebijakan kontroversial, seperti revisi UU Pilkada yang dianggap mengakali putusan MK, dan, korupsi dan gaya hidup mewah anggota DPR, juga termasuk aksi berjoget usai sidang tahunan yang dinilai tidak empatik.
Juga, ketidakpuasan terhadap legislasi, seperti pengesahan UU yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, dan, kesenjangan representasi, dimana DPR dinilai tidak lagi mewakili aspirasi publik.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Ahmad Syahroni, mengutip Kompas, mengatakan bahwa masyarakat boleh mengkritik, mengeluh, dan mencaci maki, tidak apa-apa.
“Kami terima, tetapi ada adab, adat istiadat yang mesti disampaikan. Apakah dengan membubarkan DPR meyakinkan masyarakat bisa menjalani proses pemerintahan sekarang ini? Belum tentu,” kata politisi dari Partai Nasdem ini.
Ia mempersilahkan untuk dikritik dan disebut apa pun, dan ia tidak mempersoalkannya. Tetapi, jangan berlebihan.
“DPR selaku wakil rakyat juga punya kerja dan empati yang mewakili masyarakat. Dan, DPR masih berdiri sampai kapan pun, tidak akan berubah,” katanya.

Gedung MPR/DPR. (credits: Wiki Commons)
Sementara itu menurut peraturan perundang-undangan, maka Presiden pun tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.
Namun, pembubaran DPR dapat dilakukan melalui amandemen konstitusi oleh MPR. Persoalannya, anggota MPR adalah juga anggota DPR.
Setidaknya, Indonesia telah dua kali mengalami pembubaran parlemen. Pertama adalah pada masa Presiden Soekarno, dan kedua, adalah pada masa Presiden Gusdur.
Presiden Soekarno, pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 tentang “Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945”, atau yang lebih dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keputusan ini dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dalam menghadapi ketidakmampuan Konstituante Republik Indonesia untuk mencapai mayoritas dua pertiga untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Dekrit Presiden Soekarno ini, kemudian, mengawali periode yang dikenal sebagai “demokrasi terpimpin” (1959 -1966).
Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) menerbitkan Maklumat Presiden Republik Indonesia 23 Juli 2001. Adapun isi dari maklumat ini adalah membekukan MPR dan DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan membekukan Partai Golkar.
Tetapi, mengutip Hukum Online, pembubaran parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata hanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya tidak masuk akal dilakukan secara konstitusional dalam sistem presidensil.
Berbeda dengan yang terjadi dalam sistem parlementer dan sistem semi-parlementer di negara-negara non-monarki, maka presiden sebagai kepala negara (head of state) biasanya memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen dengan beberapa variasi prasyarat kondisi dan mekanisme prosedural.
Namun, tiga model sistem pemerintahan yang utama, yakni; presidensil, parlementer, dan semi-parlementer, dengan segala variannya adalah konstruksi pengalaman sejarah politik yang panjang dari masing-masing negara demokrasi modern yang menganutnya.
Meskipun sebagian besar negara modern tetap mengacu pada model-model utama yang ada di negara penemunya, tetapi hampir dapat dipastikan tiap negara memiliki karakterisitk khas sesuai dengan sejarah dan dinamika sosial-ekonomi-politik dan budayanya masing-masing.
Dan, harus diakui, bahwa masing-masing sistem memiliki latar belakang pemikiran dan orientasi politiknya yang secara prinsipil dapat berbeda. Perbedaan ini akan melahirkan kerangka sistem pemerintahan tertentu, yang diharapkan dapat menjamin seoptimal mungkin orientasi politik yang sudah ditetapkan.
Sehingga, sebuah model sistem pemerintahan tidak serta merta dapat dimodifikasi sesuai kepentingan politik jangka pendek. Sebab sistem pemerintahan dibangun dalam satu kerangka yang utuh dan konsisten.*

