Pram; Jangan Menangis Lagi

Hak Asasi Manusia

February 7, 2025

Jon Afrizal

Hendra Gunawan, “War and Peace”,1950. (credits: thetricontinental)

“Pelitanya menyala gelisah – pelita sebagai pelita-pelita yang lain pelita yang melambangkan kemiskinan keluarga manusia. Nyalanya merah-kuning. Dan semua bayangan di dalam rumah itu menggetarkan bila api itu dipuputi angin.”

1995. Aku meminjam sebuah buku dari seorang kerabat dari luar kota. Covernya mulai lusuh, kertas-kertas di bagian dalam telah berubah warna menjadi kuning.

Maka, pada malam hari, setelah seluruh aktifitas hampir terhenti, aku pun mendatangi sebuah warung potokopian yang akan tutup, di sebuah persimpangan, cukup jauh dari rumah kosku.

“Rangkap satu,” kataku, awas.

Ini adalah tahun-tahun dimana kebebasan untuk berpikir pun teramat sulit didapat. Bahkan untuk membaca buku pun harus berhadapan dengan sensor.

Dan buku itu adalah karya Pramoedya Ananta Toer. Seorang eks Tahanan Politik (Tapol) Pulau Buru. Buku yang saat itu “Tidak Boleh Beredar”.

Jelas saja, jika diketahui aparat, maka aku berkemungkinan akan mendapat tuduhan subversif. Padahal, sewaktu itu aku masih mahasiswa, aku hanya ingin mengisi otak-ku dengan ilmu dan pengalaman orang lain.

Sungguh, kondisi demokrasi yang menyedihkan.

Dan, pada tahun itu, sepertinya, arus globalisasi telah mulai mendatangi seluruh sudut dunia. Dengan sebuah kata baru: internet.

Sekitar 15 menitan, potokopian buku itu pun jadi.

S. Pudjanadi, “Tanah untuk Penggarap”, 1964. (credits: thetricontinental)

Hari hampir pukul 10 malam. Jalanan kota mulai sepi. Dengan kehati-hatian dan tetap awas, ku tinggalkan warung potokopian, dan menuju rumah kosku. Membaca.

Buku itu, berjudul, “Keluarga Gerilya” yang diterbitkan oleh PT Pembangunan Jakarta, pada tahun 1955. Judul aslinya, “Keluarga Gerilya : kisah keluarga manusia dalam tiga hari tiga malam”.

Kita lupakan kesulitan membaca teks dalam ejaan lama, Ejaan Soewandi (1947). Ejaan, yang tidak seramah kita yang terbiasa membaca Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) saat ini.

Dengan background Jakarta pada masa Agresi Belanda tahun 1949, novel ini bercerita keluarga Amilah. Amilah yang harus kehilangan suaminya, yang dibunuh oleh anak-anaknya sendiri hanya karena perbedaan ideologi.

Amilah pun harus menghadapi kenyataan bahwa anak tertuanya, Aman, ditangkap oleh pihak berwenang Belanda kala itu.

Sedangkan dua anaknya yang lain, Maman dan Mimin, ikut dalam perang gerilya dan tidak kunjung pulang ke rumah. 

Deskriptif, dan, menguras emosi ketika membacanya. “Keluarga Gerilya” memaparkan kondisi banyak rakyat Indonesia kala itu. Yang terpuruk dalam kemiskinan akut, kelaparan, dan pendidikan yang tidak keruan.

Juga pertempuran antar ideologi, serta, perang kemerdekaan yang belum juga usai.

Tentang penegakan rasa nasionalisme. Tentang: darah, air mata, pengorbanan, kematian dan kehilangan.

Pramoedya Ananta Toer. (credits: ANRI)

Pramoedya adalah, jika mengutip bukuku sendiri, Jon Afrizal dalam “Tehnik Menulis; Sebuah Buku Saku”, Pram adalah penulis yang memiliki dua keunggulan sekaligus.

Pertama, Pram adalah jurnalis. Setiap jurnalis, tentu saja, harus jujur melihat setiap persoalan, dan jujur pula me-report-nya.

Kedua, Pram adalah “Penguasa Bahasa”. Ia mampu mengolah bahasa dengan sangat baik.

Dua keunggulan ini, yang kemudian tertuang dalam buku-bukunya.  

Meskipun, sedikit berbeda dengan karya-karya George Orwell, yang juga adalah jurnalis. Novel karya George Orwell, semisal “Animal Farm” dan “1984” bermuatan kiasan-kiasan, yang kadang berputar 180 derajat dari apa yang terbaca.

Pram, dalam setiap karyanya, selalu menjelaskan fakta-fakta, sebuah realita di dunia kenyataan. Meskipun, disajikan dalam bentuk karya sastra: novel.

Pram bercerita tentang kemanusian, sebuah sisi terdalam yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Seperti yang tertuang pada “Keluarga Gerilya”,

“…dan dirangkulnya leher adiknya. “Adikku, adikku, moga-moga engkau diampuni oleh Tuhan. Sebutlah, adikku, sebutlah: Alla-hu-akbar-Tuhan mahabesar…”

Dan, atas pencapaian itu, setiap novel Pram, layak disebut “Karya Sastra”. Sebagai sesuatu yang dapat bertahan lama, mengarungi masa demi masa.

Juga, memberikan pemaknaan baru terhadap teks itu sendiri. Tetapi, tentu saja, bergantung pada latar belakang pembacanya.

Jika diamati, maka,

“Rumah kajang yang didiami keluarga Amilah itu tak nyata bentuknya oleh liputan kegelapan malam. hanya sinar pelita minyak-tanah yang menerobosi lubang-lubang kajang jualah yang menunjukkan pada orang lalu lintas bahawa di situ ada rumah – ada keluarga manusia”.

Satu sisi Pulau Buru. (credits: Angin Pantai Sanleko)

Realitanya, pada masa itu, listrik adalah barang mewah. Karena perang dan politik sangat menguras daya dan upaya.

Lahir dengan nama Pramoedya Ananta Mastoer di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. Ia wafat di Jakarta pada tanggal 30 April 2006.

Pram adalah anak sulung dari sembilan bersaudara. Mastoer adalah nama ayahnya.

Kata “Mas”, kemudian dihilangkan. Karena bagi Pram, ehm, terlalu feodal.

Sehingga hanya ada “Toer” saja. Dan kemudian “Toer” berubah menjadi nama keluarga, yang disematkan di belakang setiap nama adik-adiknya, atas perentah Pram.

Keterlibatan Pram pada Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra), yang kerap dinyatakan sebagai underbow Partai Komunis Indonesia (PKI), adalah bagian terjemahan Cold War antar negara Kapitalis dan Sosialis kala itu.

Dan, harus diakui, bahwa Pram dan rekan-rekannya tidak membakar buku.

Hingga Manifesto Kebudayaan (Manikebu) bergulir. Dimana, secara implisit, pihak lain menyatakan bahwa Sastra dan Budaya harus terbebas dari apapun.

Pada saat kekuasaan Soekarno berganti Soeharto, maka Pulau Buru adalah rumah baginya. Pulau ini adalah Pulau Pengasingan bagi para tapol pada zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto.

Pulau Buru, di Kepulauan Maluku, dengan luas 9.505 kilometer persegi, dan panjang garis pantai 427,2 kilometer. Geografis pulau ini perbukitan dan pegunungan, dengan puncak tertinggi mencapai 2.736 meter.

“Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” dalam dua buku, adalah kumpulan catatan Pram tentang kondisi di sana, pada masa itu.

Lalu, terbitlah tertralogi Pulau Buru. Yakni; “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah” dan “Rumah Kaca”. 

Setelah melewati 34 tahun dalam penahanan, perampasan kebebasan, dan pemberangusan atas karya-karyanya, Pram pun menerima kembali hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia pada 1999.*

avatar

Redaksi