Ketika Chairil Anwar Menerawang Kematiannya

Hak Asasi Manusia

March 23, 2024

Jon Afrizal

(credits : youtube)

CHAIRIL Anwar, mati muda, dalam usia 27 tahun. Pada tanggal 28 April 1949, ia pergi selamanya, setelah berjuang melawan bakteri Orientia tsutsugamushi selama enam hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Ia – berkemungkinan – menderita tifus. Meskipun, banyak yang mengetahui ia telah sejak lama menderita penyakit TBC dan infeksi. Komplikasi.

Tifus scrub, demikian dunia kedokteran menyebut penyakit yang dideritanya. Jenis tifus yang biasa disebut dengan tifus tropis dan tifus semak ini telah menjadi masalah kesehatan yang serius di negara-negara Asia Pasifik; yakni Korea, Cina, Indonesia, dan Thailand.

Tifus scrub adalah jenis tifus yang paling berbahaya dan dapat menyebabkan gagal organ jika tidak segera ditangani. Tifus jenis ini menular melalui gigitan kutu, tungau, serta beberapa jenis hewan invertebrata lainnya. 

Demam menggigil, sakit kepala parah, nyeri otot, seluruh badan terasa sakit, luka berwarna gelap dan mengeras berkeropeng di area bekas gigitan serangga, perubahan kondisi mental yang dimulai dari kondisi kebingungan hingga koma, pembengkakan kelenjar getah bening, dan ruam kulit adalah kondisi yang terjadi pada banyak penderita Tifus scrub.

Kondisi kehidupan Chairil Anwar, yang telah ia ungkapkan pada larik ke-enam di puisi “Aku” yang terkenal itu.

 … Dari kumpulannya terbuang

Anak Medan kelahiran 26 Juli 1922 ini dikenal dengan gaya hidup yang individualis; semau gue, dan acuh terhadap orang lain. Sikap individidualis ini, kerap terungkap pada puisi-puisinya,

Mungkin, ini yang menjadi alasan karya-karyanya ditolak terbit di majalah Pandji Pustaka. Dikarenakan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Gaya hidup itu juga, yang akhirnya membuat ia mengalami kesusahan perekonomian; jatuh miskin dan pailit. Meskipun, sejujurnya, ia berkerabat dengan Perdana Menteri pertama Indonesia, Soetan Sjahrir.

Dalam beberapa catatan, ia didapati sering datang ke kediaman Soetan Syahrir, untuk meminta bantuan. Dan tetap, dengan gaya yang jauh dari kata resmi.

Kondisi ekonomi, yang kemudian menjadi alasan, mengapa Hapsah Wiraredja yang dinikahinya pada 6 Agustus 1946, akhirnya diceraikannya pada tahun 1948. Meskipun, senyatanya, ia dikarunia seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa.

Tetapi, sama seperti insting dari setiap penyair; dapat saja diterjemahkan bebas menjadi penerawangan. Ia memahami, bahwa gaya hidupnya ini akan membawanya pada sebuah titik: kematian, sangat cepat, mungkin, dari yang diduganya.

 … di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin

Kutipan dari puisi Yang Terampas dan yang Putus  telah menjelaskan bahwa ia mengetahui saat itu akan datang. Sebab, puisi ini ditulis di tahun yang sama dengan tahun kematiannya, 1949.

Tetapi, sejujurnya, ia tak berdaya untuk mengubahnya. Sebab, menurutnya,

… hidup hanya menunda kekalahan,

Demikian, seperti yang disebutkannya dengan lantang pada Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Terputus. Juga di tahun 1949.

Ternyata, ia dapat lagi berbenah diri.

… aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

Dan, kontras, dengan tangan yang lemas terkulai, akibat serangan tifus scrub, ketika malaikat Israil datang.

… tapi hanya tangan yang bergerak lantang.

Meskipun, selalu ada cinta yang tak berbalas yang berada di pikirannya.

menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin

Sementara itu,

tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Siapapun yang mengagumi Chairil Anwar, akan mengetahui sebuah nama yang abadi dalam puisinya. Yang berjudul Senja di Pelabuhan Kecil buat Sri Ayati yang ditulis pada tahun 1946. Dengan akhir catastrophe buat dirinya.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Mungkin saja, hidup tidak pernah memiliki “titik”, seperti keinginannya. Atau, juga sebagai penguat terhadap dirinya sendiri. Sebab, ia telah mengetahui tentang tubuhnya yang luluh lantak berderai. Sehingga,

Aku ingin hidup seribu tahun lagi.

Namun, jalan selalu akan kembali.

… di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin

Ketika demam tinggi, dan akhirnya koma, mengalahkannya. Sehari kemudian, ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta.

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu di atas debu

Dan duka maha tuan tak bertahta.

Puisi ini adalah sekelumit rasa rindunya untuk neneknya pada tahun 1942. Yang menunjukkan perjuangan akan berhenti – suatu saat – dan meninggalkan kesedihan bagi yang ditinggalkan.

Chairil Anwar mewariskan  94 karya, termasuk 70 puisi bagi sastra Indonesia. Banyak dari karyanya dipublikasikan setelah kematiannya.

Tanggal kematiannya, 28 April, telah ditetapkan menjadi Hari Puisi.*

avatar

Redaksi