Rokan Hulu; Suluk Dan Perang Paderi

Daulat

January 23, 2025

Jon Afrizal/Pasir Pangaraian, Rokan Hulu

Masjid Agung Al Madani, Pasir Pangaraian Kabupaten Rokan Hulu. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“Makan sirih, berfoya-foya dalam pesta adat, menghisap madat, minum khamar, menyabung ayam, dan berjudi tidak boleh dilakukan. Hukumannya berat.” Faqih Muhammad gelar Tuanku Rao

JEJAK perjalanan darat yang menyatukan antara Kabupaten Rokan Hulu dengan Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Mandailing Natal masih terasa hingga saat ini. Jarak tempuh Ujung Batu di Rokan Hulu ke Panti dan Rao di Pasaman, misalnya, hanya tiga jam saja jika menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.

Meskipun, ruas jalan yang rusak dan masih bertanah merah, di sini, kerap “dianggap” hal biasa. Sebagai bentuk dari kesabaran.

Jembatan Ujung Batu, misalnya, telah empat bulan ini rusak, dan belum juga diperbaiki oleh pihak berwenang. Padahal, jembatan ini adalah akses satu-satunya untuk menuju ke ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru.

Beberapa orang berkata bahwa ini adalah efek buruk dari sengketa Pilkada 2024 lalu. Tapi beberapa lainnya menyatakan bahwa pembangunan sangat terkait dengan kepentingan politik.

Berada di kaki Pegunungan Bukit Barisan, baik Rokan Hulu di Riau, Pasaman di Sumatera Barat dan Mandailing Natal di Sumatera Utara menyimpan kisah yang sama. Tentang: Perang Paderi (1803 – 1838).

GJF Biegman dalam buku “Hikayat Tanah Hindia” menyatakan penamaan “Paderi” berkemungkinan berasal dari kata “padere” dalam bahasa Portugis. Yang artinya “bapa” atau “pendeta”.

Sehingga, sangat mungkin, juga, penamaan Perang Paderi adalah sebagai alasan kuat bagi Belanda untuk menyebutkan bahwa penggagas perang itu adalah alim ulama. Dimana, pada saat itu, Belanda, yang dalam sejarah Nusantara kerap “memancing di air keruh”, berposisi sebagai penyokong Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah.

Kaum Adat ingin tetap melaksanakan botarung, yakni sebutan untuk gelanggang judi sabung ayam. Juga, akan berlanjut dengan minuman keras dan candu.

Jika ditelusuri dengan teliti, kata “paderi” tidak ada dalam kasanah dan bahasa lokal di Pasaman. Bahkan, seharusnya, kata “perang” sering berkonotasi dengan prasa maso bagulak (: masa bergejolak).

Sebab awal dari perang ini adalah niat Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik untuk menyempurnakan ajaran Islam di Minangkabau pada awal tahun 1800. Yang selanjutnya, dalam perang, gerakan ini dipimpin oleh Harimau Nan Salapan.

Selanjutnya, kata “Tuanku”, sangat erat kaitannya dengan sapaan Tuan Guru (mursyid) dalam aliran tarekat. Sebagai sapaan hormat dari para murid terhadap guru atau pemimpin sebuah kelompok tarekat.

Masyarakat lokal pun, biasa menyebutnya “Perang Bonjol”. Karena, memang, pusat kekuatan rakyat berada di wilayah ekuatorial Bonjol.

Dekatnya jarak, telah membawa Tuanku Haji Muhammad Saleh dari Dalu-Dalu Nagari Tambusai di Rokan Hulu pulang ke Bonjol dan Rao untuk memperdalam ilmu agama.

Ilustrasi Perang Paderi. (credits: Universiteit Leidein)

Lanjutannya, Muhammad Saleh terlibat dalam Perang Paderi selama 15 tahun. Hingga menyerang Belanda di Mandailing dan Natal. Dan ia, kemudian, dikenal dengan nama Tuanku Tambusai. Orang Belanda menyebutnya De Padrische Tijger van Rokan.

Amran Datuk Jorajo dalam buku Orang Rao Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer menyebutkan bahwa tiga serangkai pejuang Perang Paderi, yakni; Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao, dan Tuanku Tambusai adalah urang Rao-Pasaman dari etnis Minangkabau.

Sebab tidaklah mungkin seseorang memimpin orang Minangkabau untuk berperang, jika ke-Minangkabau-an mereka diragukan oleh orang Minangkabau sendiri.

Tuanku Tambusai adalah keturunan dari perantau dan anak dari Saudagar Minang di Dalu-Dalu. Umumnya, Orang Rao merantau ke Dalu-Dalu untuk berdagang emas.

Dan harus diakui, berkat kepimpinan tiga serangkai pemimpin Perang Paderi ini, wilayah-wilayah di Bonjol, Rao dan Rokan terbebas dari monopoli Belanda. Wilayah-wilayah itu berkembang ke arah yang jauh lebih maju.

Penduduk di ketiga wilayah ini menjadi sejahtera, aman, damai, adil, dan makmur.Serta diiringi dengan kehidupan beragama yang bersemangat.

Orang Rao, juga terkenal sebagai penambang emas. Mereka menambang emas di Mandailing pada abad ke 13 hingga 14 Masehi. Daerah Tiku di Rao, pun pernah menjadi pelabuhan perdagangan emas pada tahun 1700-an. Rao juga biasa disebut dengan Negeri Kabung Duo Boleh.

Hingga saat ini, peninggalan Tuanku Tambusai masih ada. Yakni “Benteng Tujuh Lapis” di Dalu-Dalu, Rokan Hulu.

Ketika benteng di Dalu-Dalu dikuasai Belanda pada tanggal 28 Desember 1838, Tuanku Tambusai dilarikan pengikutnya ke Kampong Rasah di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia. Ia wafat disana pada tanggal 12 November 1882.

Rokan Hulu memiliki luas wilayah 7.588,13 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 579.685 jiwa pada pertengahan tahun 2024, menurut data BPS.

Mayoritas penduduk Rokan Hulu adalah etnis Melayu Riau. Tetapi, Di bagian utara dan barat daya Rokan Hulu, terdapat pula kelompok masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan etnis Mandailing. Dan, banyak pula terdapat orang Minangkabau dari Sumatera Barat.

Meskipun kini, dengan terbukanya wilayah Rokan Hulu dengan perkebunan sawit skala besar, maka terdapat pula suku Jawa. Mereka, umumnya, terikut datang dari perkebunan sawit di Sumatera Utara. Dan juga melalui program transmigrasi dari pemerintah.

Masyarakat Rokan Hulu menggunakan Bahasa Melayu Rokan. Bahasa ini mirip dengan Bahasa Minangkabau dialek Rao dan Payakumbuh. Sebagian orang menyebut Bahasa Rokan sebagai Bahasa Melayu Darat, yang dialeknya berbeda dengan Bahasa Melayu Pesisir.

Sita Rohana dalam “Perkawinan Luhak Tambusai Di Kabupaten Rokan Hulu” menyebutkan, sebelum penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi menjadi dua wilayah.

Yakni; wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan Rambah dan Kerajaan Kepenuhan. Dan, wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kobun).

Suasana Jalan Tuanku Tambusai, Pasir Pangaraian, Kabupaten Rokan Hulu. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Kerajaan-kerajaan ini, yang sekarang disebut dengan Lima Luhak.

Islam masuk dua gelombang ke daerah Rokan sejak abad ke 14 Masehi. Pertama, dari Kuntu-Kampar dan Samudra Pasai Aceh pada abad ke 14 Masehi. Dan, yang kedua dari Melaka pada abad ke 15 Masehi.

Sultan Said dan Sultan Suyak adalah penganut agama Islam. Ini terbukti dari gelar “Sultan”. Dalam sejarah bahwa agama Islam masuk ke Sumatera Barat adalah melalui Rokan (Kunto Darussalam).

Islam kemudian berkembang pesat di Rokan Hulu. Terutama, seiring dengan perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah.

Kata tarekat berasal dari kata thariqah dalam bahasa Arab, yang bersumber dari kata thariq. Kata ini memiliki beberapa arti.

Yakni; jalan atau petunjuk jalan atau cara, metode atau sistem, mazhab, aliran, atau haluan.

Banyak rumah-rumah suluk tersebar di Rokan Hulu. Sama halnya seperti yang juga ada di Rao-Pasaman.

Kata “suluk” berasal dari terminologi Al-Qur’an, yakni fasluki.

Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik. Kata suluk dan salik biasanya terhubung dengan tasawuf, tarekat dan sufisme.

Tidak heran, Rokan Hulu kemudian diberi julukan: Negeri Seribu Suluk.

Adapun sistem kekerabatan di Rokan Hulu dikenal dengan Sibah.

Dalam antropologi, Sibah termasuk sebagai moietas atau paroh masyarakat. Yakni kelompok keturunan yang hidup berdampingan dengan hanya satu kelompok keturunan lain dalam suatu masyarakat.

Di wilayah ini, terdapat dua Sibah, yakni Sibah Dalam dan Sibah Luar.

 

Kelompok Sibah Dalam adalah golongan bangsawan dan anak keturunan raja-raja. Mereka mengikuti garis ayah (patrilineal).

Sedangkan kelompok Sibah Luar adalah orang pesukuan. Mereka mengikuti garis ibu (matrilineal).

Di lima luhak, juga terdapat orang Batak (Mandailing). Mereka tinggal bersama orang Melayu. Sehingga kemudian, mereka terintegrasi ke dalam masyarakat. Dalam perkawinan keturunan dari orang Mandailing, yang di Rokan disebut sebagai Muniliang, pun mengikuti adat Melayu.

Istilah Melayu menurut pemahaman orang di Rokan, adalah bermakna ganda. Yakni; Melayu sebagai bangsa, artinya keseluruhan orang yang beradat mengakui dan diakui sebagai Melayu.

Dan, Melayu sebagai nama suku di antara sembilan suku yang ada di Rokan. Yaitu; Melayu, Muniliang, Ampu, Bonuo, Pungkuik, Kandang Kopuh, Kuti, Suku Soborang, dan Maih.

Beberapa suku yang ada di Rokan hulu, yang bukan hanya kebetulan, adalah sama dengan nama sub suku orang Rao, yakni; Ampu Kotopang, Pungkuik, Mondiling, dan Kandang Kopuak. Sebab, orang Rao merantau di sepanjang aliran Sungai Rokan, dari hulu di Pegunungan Bukit Barisan hingga ke Bagan Siapi-Api yang menuju Selat Melaka, dengan panjang sekitar 350 kilometer.

Menurut sejarah lisan, Rokan adalah sungai yang terbentuk dari sebuah gonuang (danau) yang pecah akibat tumbangnya sebuah kayu besar bernama sialang tonikek. Yakni, sialang kayu kapuo yang dililit rotan sogo.

Pecahnya danau tersebut membuat air mengalir mengikuti kayu itu. Sehingga terjadilah Sungai Rokan yang tigo sokabong, yakni; Sungai Rokan Kiri, Sungai Rokan Kanan dan Batang Sosah.

Pembagian ini sesuai dengan kesepakatan antara Sultan Jangguik dan Sultan Harimau dengan Sultan Ponyalinan.

Sungai Rokan Kanan atau juga dikenal sebagai Batang Lubuh adalah milik Sultan Ponyalinan, yang datang dari hilir menuju ke hulu.

Kemudian masuklah Sultan Harimau, Sultan Jangguik dan pengikut mereka dari Melaka sampai ke Kuala Sako.

Mereka berunding karena menemukan Sungai Rokan yang bercabang dua. Yakni Rokan Kanan dan Rokan Kiri.

Lalu Sultan Jangguik memudiki Rokan Kanan dan Sultan Harimau memudiki Sungai Rokan Kiri.*

avatar

Redaksi