Dari “Mbako” Ke Jalan Lain Ke Pendapatan Negara
Inovasi
August 6, 2024
Jon Afrizal
Hasil panen tembakau milik perorangan di landscape Bukit Tigapuluh. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
“Sayangnya, dalam perang ini, sebagaimana dalam perang manapun, harus ada yang menjadi korban. Diantaranya adalah; ilmu yang jujur, kebenaran, kemerdekaan individu dan jutaan anak-anak dan orang-orang dewasa yang nyata-nyata hidup di negara-negara berkembang, yang menderita penyakit-penyakit yang nyata, dan bukan penyakit rekayasa.” Wanda Hamilton – Nicotine War
GUBERNUR Jenderal Johannes graaf van den Bosch yang memerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 hingga 1834 mengeluarkan kebijakan kulturstelsel, dan menempatkan tanaman tembakau sebagai satu komoditas yang harus ditanam. Ini, karena tingginya harga tembakau di Eropa pada saat itu.
Mengutip ptpn10, onderneming (: perkebunan budidaya yang diusahakan secara besar-besaran dengan piranti teknologi modern) tembakau pada waktu itu, berada di Kedu, Kediri, dan daerah perkapuran antara Semarang dan Surabaya.
Namun, onderneming di Klaten, daerah sekitarVorstenlanden, besoekisch profstation (Besuki), Situbondo, Bondowoso, dan Jember malahan menunjukkan hasil paling memuaskan. Sehingga, selanjutnya, VOC pun membuka perkebunan tembakau di daerah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta.
Pada era tanam paksa VOC, ribuan warga Madura harus menjadi buruh di perkebunan tembakau di sana. Dengan trik “kontrak seumur hidup”, maka para buruh harus menetap di perkebunan secara turun-temurun.
Inilah pula yang menjadi cikal bakal etnis Pedalungan. Yakni etnis campuran antara Madura dan Jawa yang banyak dijumpai di daerah-daerarh perkebunan tembakau di Pulau Jawa.
Dengan penelitian dari besoekisch profstation, Jawa Timur, didapat hasil menyilangkan jenis tembakau yang cocok ditanam di Nusantara. Seperti jenis tembakau cerutu yang sekarang banyak ditanam di Besuki, adalah hasil persilangan antara jenis Kedu dengan jenis Deli.
Seorang Belanda bernama J. Nienhujs datang ke Deli atas ajakan Said Abdullah pada 1863. Nienhujs berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Deli, yang terletak di tepian Sungai Deli.
Lahan seluas 4.000 bau (1 bau: 0,7 hektar) dibuat menjadi onderneming tembakau, dengan konsesi selama 20 tahun. Dengan perjanjian; 5 tahun pertama bebas pajak, dan tahun-tahun berikutnya harus membayar pajak sebesar ANG 200 per tahun.
Tembakau Deli atau Deli Tabak, adalah tembakau cerutu yang berasal dari wilayah itu, yang kemudian dijual ke Eropa. Selanjutnya, ekspansi pun meluas hingga ke Langkat dan Serdang.
Namun, overproduction di pasar dunia, juga boikot atas praktik poenale sanctie terhadap buruh-buruh perkebunan, dan penerapan bea McKinley telah membuat harga tembakau menurun. Meskipun, harus diakui, kualitas tembakau Indonesia dikenal sebagai salah satu tembakau terbaik di dunia.
Tembakau (Nicotiana tabacum) adalah sejenis tumbuhan herbal dengan ketinggian kira-kira 1,8 meter, dengan besar daunnya melebar dan meruncing yang dapat mencapai sekurang-kurangnya 30 centimeter.
Tobaco (Spanish) berasal dari benua Amerika. Pada awalnya, tembakau digunakan oleh native Amerika untuk kegunaan medis.
Legenda dan mitos native banyak dikaitkan dengan tembakau. Juga ajaran kepercayaan mereka terpaut dengan tumbuhan tembakau. Dimana asap tembakau dipercaya dapat melindungi mereka dari makhluk-makhluk halus yang jahat, dan sebaliknya memudahkan mereka mendekati makhluk-makhluk halus yang baik.
Selanjutnya orang asli Amerika yang bermukim di New World, yang kemudian secara salah kaprah disebut Indian, telah menghadiahkan daun tembakau kepada Christopher Columbus saat melintasi Lautan Atlantik untuk pertama kalinya pada tahun 1492.
Seabad setelah itu, merokok telah menjadi trend global. Seterusnya, telah pula memberikan keuntungan ekonomi bagi para pengusaha di Amerika Serikat.
Kretek, adalah rokok khas Nusantara. Dengan tambahan “saus” yang berasal dari rerempahan, seperti; cengkeh, dan jinten, maka dapat dipastikan budaya rokok-tembakau telah hadir sejak lama di Nusantara.
Masyarakat lereng Sumbing-Sidoro-Prau, mengingat sosok Ki Ageng Makukuhan sebagai sosok pertama yang membawa bibit tembakau ke wilayah itu, yang ia dapat dari Sunan Kudus. Hingga akhirnya menjadi “Tembakau Srinthil” yang terkenal saat ini.
Mengutip indonesia.go.id, masyarakat di wilayah ini memiliki empat ritual yang terkait dengan tembakau. Satu diantaranya adalah ritual among tebal, yakni upacara adat menjelang penanaman bibit hari pertama.
Kata “mbako” dalam bahasa Jawa berasal dari ucapan Ki Makukuhan;“Iki tambaku!” ketika sedang mengobati orang sakit.
Babad Tanah Jawa mencatat merokok mulai digemari orang Jawa saat Panembahan Senapati wafat. Sejarawan De Graaf mengatakan, Raja Sultan Agung di Mataram Islam adalah perokok berat. Sementara potret bahwa publik telah menyukai rokok terlihat dalam folklore dan lakon ketoprak Rara Mendut-Pranacitra.
Rara Mendut dan Pranacitra yang merupakan narasi lokal perihal kisah cinta ala Romeo dan Juliet ini mengambil konteks waktu di masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, anak dari Sultan Agung. Dalam folklore dan lakon ketoprak itu diceritakan, bahwa rokok telah jadi barang dagangan sehari-hari.
Selain itu, pada Serat Centhini yang diperkirakan ada pada tahun 1814, juga ditemukan kata “ngaudut”, “eses” atau “ses” sebagai prasa umum bahasa Jawa. Bagi para pegiat sejarah dan budaya, Serat Centhini biasa disebut sebagai Ensiklopedi Jawa.
Jika bicara kontribusi rokok-tembakau terhadap penerimaan negara, maka dapat dicatat bahwa pada tahun 2011 sebesar IDR 73,25 trilyun, dan pda tahun 2018 sebesar IDR 148,23 trilyun.
Catatan cnbcindonesia, bahwa penerimaan cukai pada 2022 adalah IDR 226,88 triliun atau naik 109 persen dibandingkan 10 tahun sebelumnya. Sedangkan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk 25 provinsi pada tahun 2022 mencapai IDR 3,87 triliun.
Yang digunakan untuk bidang kesehatan (40 persen), kesejahteraan masyarakat (50 persen), peningkatan kualitas bahan baku, peningkatan keterampilan kerja dan pembinaan industri (30 persen), pemberian bantuan (20 persen), dan penegakan hukum (10 persen).
Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno (almarhum) memperkirakan jumlah petani tembakau di Indonesia pada tahun 2022 adalah berkisar antara 700.000 hingga 800.000 orang.
Sementara Kementerian Perindustrian menyebutkan total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok adalah sebanyak 5,98 juta orang pada tahun 2019. Dimana; 4,28 juta orang adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, dan 1,7 juta orang di sektor perkebunan.
Wanda Hamilto, dalam buku Nicotine War menyebutkan bahwa seperempat abad silam, merokok dianggap sebagai kebiasaan yang hanya merugikan orang yang memilih untuk terikat sepenuhnya. Kemudian, dengan terbitnya laporan Surgeon General Amerika pada tahun 1988, maka tembakau secara resmi dinyatakan sebagai penyakit, yakni suatu bentuk “ketagihan” yang memerlukan “penanganan”.
Perang terhadap nikotin dimulai pada pertengahan 1990-an. Selanjutnya, merokok dan perokok didakwa sebagai “wabah” secara global, dan “penyebab kematian dini nomor satu”.
Telah terjadi transformasi “kesehatan” yang sangat mencengangkan. Merokok, dari kebiasaan pribadi yang relatif tidak membahayakan dan berisiko secara perorangan, kemudian disulap menjadi wabah penyakit global yang mengerikan hanya dalam tempo kurang dari 20 tahun saja. Tentunya, dengan “keterlibatan banyak pihak”.
Maka, adalah wajar, jika banyak yang menganggap perokok dan merokok adalah tabu, pada saat ini. Tapi, tentu saja, ehm, tidak tabu terhadap pendapatan dan nilai ekonominya.*