Ultimum Remedium; Solusi Penyelesaian Konflik Agraria

Daulat

October 30, 2023

Junus Nuh/Kota Jambi

Warga melakukan aksi damai menuntut penyelesaian konflik agraria. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

KONFLIK agraria di sektor non kehutanan di Provinsi Jambi yang potensial terjadi adalah di sektor perkebunan sawit. Ini disebabkan karena kesenjangan ekonomi, dimana masyarakat di sekitar areal korporasi perkebunan sawit belum merasakan keadilan dan kesejahteraan.

Provinsi Jambi dengan penduduk sebanyak 3,7 juta jiwa memiliki luasan total 5,1 juta hektare. Yang terdiri dari kawasan hutan seluas 2,1 juta hektare, perkebunan seluas 2,02 juta hektare, pertanian dan penggunaan lainnya seluas 0,98 juta hektare.

“Investasi justru menghilangkan pengusahaan sumber-sumber agraria, yang akhirnya meningkatkan angka kemiskinan,” kata Ketua Umum Serumpun Hijau Nusantara (SHN), Ahmad Azhari pada seminar “Penyelesaian Konflik Agraria dalan Perspektif Ultimum Remedium” di aula kantor Kesbangpol Provinsi Jambi, Jum’at (27/10).

Akibatnya, katanya, 30 orang petani Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muara Jambi mendekam sebagai pesakitan di sel tahanan.

Persoalan terkait konflik agraria akan terus terjadi mengingat, berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Jambi dari total 315 perusahaan perkebunan, hanya 167 perusahaan yang memiliki HGU.

“Sebanyak 148 perusahaan perkebunan lainnya berpotensi konflik agraria,” katanya.

Harusnya, katanya, kepala daerah mengutamakan menempuh jalur yang tidak mengedepankan “Penegakan Pidana” atau “ultimum remedium” untuk menyelesaikan konflik agraria.

Lahirnya Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan, kata Kaban Kesbangpol Provinsi Jambi, Apani Saharudin, mewajibkan perusahaan perkebunan untuk membangun kemitraan dengan masyarakat, sebanyak 20 persen dari total luasan HGU. Tetapi masyarakat perlu menempuh jalur yang tidak berdampak pada pidana.

Sementara wakil ketua Pansus Konflik Agraria DPRD Provinsi Jambi, Abun Yani mengatakan pemerintah harus mengambil sikap terhadap maraknya kriminalisi dalam penanganan konflik agaria. Seharusnya, katanya, pendekatan pidana dapat dihentikan.

“Selesaikan masalah konflk lahan dengan jalur musyawarah. Cara ini sesuai dengan tradisi masyarakat Jambi,” katanya.

Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi dalam menyelesaikan konflik agraria telah memberikan jalan yang luas bagi penyelesaian konflik agraria. Seperti; Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa, Peraturan Polri nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan PERMA nomor 1 tahun 1956, yakni Pasal 1 yang berbunyi “apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat ditangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu”.

Sehingga penting bagi pihak-pihak pemerintahan di Provinsi Jambi untuk menyiapkan perumusan kebijakan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan dan penanganan konflik agraria. Ini harus dilakukan untuk menghindari krisis sosial ekonomi yang menimpa masyarakat yang berada di pusaran konflik perkebunan.*

avatar

Redaksi