Propaganda ala Jarum Suntik

Inovasi

April 19, 2025

Jon Afrizal

Ilustrasi propaganda. (credits: Istock)

TAHUN 1938, dari lagu gubahan HG Wells berjudul “The War of the Worlds” sangat terkenal, dan disiarkan di radio-radio di Amerika Serikat. Lagu ini, yang mendramatisasi serangan “alien”, telah menyebabkan kepanikan yang meluas di antara para pendengarnya, yang mempercayainya sebagai sebuah realita.

Kepanikan ini sering dinyatakan sebagai bukti keakuratan dari teori jarum suntik (hypodermic needle theory). Dimana orang-orang yang telah “disuntik” oleh informasi rasa takut, dan tanpa bertanya-tanya akan bertindak berdasarkan rasa takut itu.

Teori ini juga digunakan untuk menjelaskan propaganda yang tersebar luas selama masa perang, terutama dalam Perang Dunia II. Dimana media dianggap memiliki pengaruh langsung dalam membentuk sikap, ketakutan, dan opini publik.

Pemerintah, pengiklan, dan pemimpin politik semuanya tampaknya percaya bahwa jika mereka mengendalikan “pesan” di media, maka mereka dapat membentuk perilaku masyarakat.

Kuno? Old Fashioned? Atau, sudah tidak relavan lagi untuk saat ini? Mari kita lihat.

Teori jarum suntik (hypodermic needle theory) adalah gagasan yang pertama kali diusulkan oleh Harold Lasswell pada tahun 1927. Yang garis bersar gagasan ini dikutip dari bukunya berjudul “Propaganda Technique in the World War”.

Menurutnya, seperti halnya jarum suntik yang menyuntikkan gagasan dan kepercayaan dalam benak audiens, maka media memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi serta membentuk opini dan perilaku masyarakat.

Sebagai contoh, sebuah tayangan berita yang memberitakan laporan mengenai suatu isu politik. Lalu, berdasarkan teori ini, menyatakan, bahwa audiens akan sepenuhnya terpengaruh dan menerima informasi ini.

Pandangan bahwa media dapat mempengaruhi audiens ini telah mengakar sejak awal abad ke-20. Yakni ketika teknologi komunikasi massa seperti radio dan koran mulai banyak digunakan.

Penggorganisasiran perempuan Australia pada perang dunia ke-2. (credits: Department of National Service)

Pada saat itu, media banyak digunakan oleh orang yang berkuasa untuk “mencuci otak” atau memanipulasi opini publik selama propaganda perang dunia pertama.

Bahkan, pada saat itu juga, Inggris pun mendirikan Kementerian Informasi yang bertujuan untuk memproduksi propaganda. Hal yang sama juga dilakukan oleh Rusia, Jerman, Italia, dan Spanyol.

Ada banyak sekali contoh kasus teori jarum hipodermik yang ditemukan dalam keseharian, bahkan hingga hari ini. Mengutip Briefer, penggunaan televisi untuk menayangkan program yang menonjolkan tokoh politik tertentu agar banyak masyarakat ter-influence dan memilihnya di pemilu, adalah satu contoh saja.

Lalu, penggunaan influencer yang punya banyak followers di media sosial untuk mempromosikan produk atau brand tertentu. Dan, menciptakan film tentang suatu isu sosial dengan menyiratkan pesan propaganda tertentu agar penonton terpengaruh oleh gagasan yang disematkan.

Media, berdasarkan teori ini, memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi pemikiran audiens. Audiens “hanya” dianggap sebagai sekumpulan orang yang homogen dan mudah terpengaruh. Sehingga sama sekali tidak mempunyai kekuatan dalam menolak informasi dari media.

Setelah informasi dilepaskan ke publik, maka, audiens akan memiliki opini yang sama terhadap suatu isu. Ini disebabkan oleh samanya perolehan pesan yang mereka terima dari suatu media.

Simpulannya, adalah, bahwa teori jarum hipodermik adalah bentuk teori komunikasi linier dan memiliki model satu arah (one step flow).

Meskipun, teori ini seolah terlalu menyederhanakan proses komunikasi. Dan, tidak memperhatikan peran audiens dalam mengiterpretasikan dan merespons suatu pesan dari media.

Padahal, tiap audiens memiliki interpretasinya sendiri terhadap suatu informasi. Yang dilandaskan oleh kepercayaan dan nilai masing-masing individu.

“Kekuatan melalui Kegembiraan”. Nazi mengorganisir massa melalui pariwisata massal. (credits: Wiki Commons)

Sehingga, peran audiens tidaklah pasif. Melainkan aktif, yang dapat secara kritis memilah dan memilih suatu informasi.

Akibatnya, pada tahun 1950-an hingga 1960-an, Teori Jarum Hipodermik tidak lagi populer.

Pakar media dan sosiolog, seperti Paul Lazarsfeld dan Elihu Katz, berpendapat bahwa khalayak bukanlah penerima pasif pesan media. Sebaliknya, mereka percaya bahwa publik terlibat secara aktif dengan media dan menyaring kontennya berdasarkan keyakinan, nilai, dan konteks sosial mereka sendiri.

Hal ini mengarah pada pengembangan teori yang lebih canggih, seperti Teori Aliran Dua Langkah. Teori ini menyatakan bahwa pengaruh media dimediasi oleh para pemimpin opini, yang menyaring dan menafsirkan pesan sebelum menyampaikannya kepada khalayak yang lebih luas.

Tetapi, mengutip Journalism University, jika pertanyaannya adalah “apakah Teori Jarum Hipodermik masih relevan saat ini?”, tentu sangat bergantung pada konteks penerapan dari teori ini.

Dalam situasi tertentu, seperti selama peristiwa besar atau krisis, dan, seperti penyebaran misinformasi selama pemilihan umum atau pandemic, misalnya. Ketika pesan media mungkin masih memiliki dampak langsung dan kuat pada individu.

Namun, bahkan dalam kasus ini, audiens tidak sepenuhnya pasif. Mereka mungkin mempertanyakan, berbagi, atau memperdebatkan informasi yang mereka terima.

Munculnya inisiatif  “melek media” telah meningkatkan kesadaran publik tentang “bahaya” manipulasi media.

“Melek media” telah menjadi upaya untuk memberdayakan publik, dan bukan memperdayakan mereka. Dimana publik terlibat secara kritis dengan konten yang mereka konsumsi.

Publik tidak lagi dapat dengan mudah dimanipulasi oleh pesan-pesan media sebagaimana yang mungkin disarankan oleh teori ini. Sebaliknya, mereka lebih cenderung terlibat dengan media dengan cara yang lebih selektif dan kritis, dibantu oleh kemampuan mereka untuk mengakses berbagai sumber informasi dan berpartisipasi dalam diskusi publik.

Tetapi, ketika, informasi begitu banyaknya menyerbu “beranda” setiap orang. Dengan teknologi internet saat ini, dimana setiap orang tidak memiliki waktu yang cukup untuk menganalisa kebenaran sebuah informasi dari begitu banyak ragam media, termasuk berbagai informasi-informasi media sosial.

Maka, atas kebingungan-kebingungan publik ini, ada kekhawatiran, bahwa, “siapapun” dapat kembali menerapkan teori propaganda ini untuk kepentingannya.*

avatar

Redaksi