Konten Media Sosial, Kepentingan Siapa?

Lifestyle

March 18, 2025

Regata Deblanca

Ilustrasi para pengguna smartphone. (credits: pexels)

“Hukum Darwinisme digital telah berlaku, dimana orang-orang yang paling keras dan paling banyak berpendapat adalah yang bertahan hidup. Di bawah aturan-aturan ini, satu-satunya cara untuk menang secara intelektual adalah dengan melakukan filibustering tak terbatas.” Andrew Keen 

MEDIA sosial sebagai sumber berita didefinisikan sebagai penggunaan platform media sosial daring seperti Instagram, TikTok, dan Facebook, dan bukan penggunaan platform media tradisional, seperti surat kabar atau siaran TV langsung untuk memperoleh berita.

Konten kreator adalah penentu. Menurut Pew Research Center, hampir setengah dari warga Amerika menggunakan media sosial sebagai sumber berita.

Ini adalah platform partisipatif yang memungkinkan konten yang dihasilkan pengguna dan berbagi konten dalam jaringan virtual milik sendiri. Penggunaan media sosial sebagai sumber berita memungkinkan pengguna untuk terlibat dengan berita dalam berbagai cara.

Termasuk; mengkonsumsi dan menemukan berita, berbagi atau memposting ulang berita, memposting foto, video, atau laporan berita milik sendiri, misalnya, terlibat dalam jurnalisme warga negara atau partisipatif, dan, mengomentari postingan berita.

Penggunaan media sosial sebagai sumber berita telah menjadi cara yang semakin populer bagi orang-orang dari semua kelompok umur untuk memperoleh informasi terkini dan penting. Sama seperti banyak bentuk teknologi baru lainnya, akan ada pro dan kontra.

Ada beberapa cara media sosial mempengaruhi dunia berita dan jurnalisme secara positif. Tetapi penting untuk mengakui bahwa ada juga cara media sosial yang mempengaruhi berita secara negatif.

Dengan aksesibilitas ini, orang kini memiliki lebih banyak cara untuk mengkonsumsi berita palsu, berita bias, dan bahkan konten yang mengganggu.

Pada tahun 2019, Pew Research Center membuat jajak pendapat yang melaporkan bahwa warga Amerika khawatir tentang cara situs media sosial membagikan berita dan konten tertentu.  Kekhawatiran terhadap akurasi ini tumbuh seiring dengan kesadaran bahwa situs media sosial dapat dimanfaatkan oleh aktor jahat yang mengarang narasi palsu dan berita palsu.

B.K. Lewis dalam karyanya yang berjudul “Social Media and Strategic Communication Attitudes and Perceptions among College Students” yang terbit pada tahun 2010 menyatakan, bahwa media sosial merupakan suatu label yang merujuk pada teknologi digital yang berpotensi membuat semua orang untuk saling terhubung dan melakukan interaksi, produksi dan berbagi pesan.

Pada tahun 2010, Chris Brogan dalam bukunya yang berjudul “Social Media 101: Tactics and Tips to Develop Your Business”, menyebutkan bahwa media sosial adalah suatu perangkat alat komunikasi yang memuat berbagai kemungkinan untuk terciptanya bentuk interaksi gaya baru.

Ilustrasi media sosial. (credits: pexels)

Media sosial seluler mengacu pada penggunaan media sosial pada perangkat seluler seperti telepon pintar dan tablet. Media sosial ini dikenal karena keberadaannya di mana-mana, karena pengguna tidak perlu lagi berada di meja untuk dapat menggunakan komputer.

Layanan seluler juga dapat memanfaatkan lokasi langsung pengguna untuk menawarkan informasi, koneksi, atau layanan yang relevan dengan lokasi tersebut.

Menurut Andreas Kaplan, aktivitas media sosial seluler terbagi menjadi empat jenis. Yakni; sensitifitas ruang dan waktu, penentu lokasi, penggunaan yang cepat tanggap, dan penggunaan yang lambat.

Sehingga, teori presentasi diri yang telah mengusulkan agar orang secara sadar mengelola citra diri atau informasi terkait identitas mereka dalam konteks sosial, dalam hal ini telah diterapkan pada konten media sosial. 

Namun, platform media sosial acap kali menampilkan stereotip dengan memperkuat bias berdasarkan usia melalui algoritme tertentu serta konten yang dibuat pengguna. Sayangnya, stereotip ini berkontribusi terhadap kesenjangan sosial dan berdampak negatif pada cara pengguna berinteraksi secara daring. 

Jangkauan dan dampak media sosial yang sangat besar tentu saja menimbulkan banyak kritik, perdebatan, kekhawatiran, dan kontroversi. Kekhawairan itu meliputi berbagai kemungkinan.

Seperti; kemampuan platform, moderasi dan keandalan konten, dampak pada konsentrasi, kesehatan mental, kepemilikan konten, dan makna interaksi, serta interoperabilitas lintas platform yang buruk, penurunan interaksi tatap muka, perundungan siber, pemangsaan seksual, terutama terhadap anak-anak, dan pornografi anak. 

Beberapa ide populer tentang cara memerangi paparan selektif tidak memiliki dampak atau dampak sebaliknya. Banyak ahli komunikasi menganjurkan literasi media sebagai solusi. 

Tetapi, yang lain berpendapat bahwa lebih sedikit media sosial, atau lebih banyak jurnalisme lokal, dapat membantu mengatasi polarisasi politik.

Sehingga, bijaklah dalam bermedia sosial.*

avatar

Redaksi