Murid Imam Syaffi’i Yang Batal Ber-Haji
Lifestyle
June 6, 2025
Farokh Idris

Berdoa di Padang Arafah. (credits: the thinking muslim)
TERSEBUTLAH Rabi’ bin Sulaiman al-Mutadi. Ia adalah murid langsung Imam Asy-Syaf’i.
Rabi’ lah yang membantu Imam Asy-Syafi menulis kitabnya Al-Umm dan kitab Ushul Figih yang pertama di dunia, yakni: kitab Risalah al-Jadidah.
Suatu ketika di musim haji, Rabi’ dan saudara laki-lakinya akan berangkat beribadah Haji, dan sedang berada dalam kafilah haji.
Ketika tiba di Kufah, ia pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan untuk di perjalanan.
Di suatu lorong yang sepi, ia melihat seorang perempuan paruh baya sedang memotong-motong bangkai daging keledai. Dan perempuan itu terlihat tergesa-gesa memasukkan bangkai daging itu ke dalam sebuah kantong bungkusan.
Rabi’ yang curiga, pun mengikuti langkah kemana perginya perempuan itu, secara sembunyi-sembunyi.
Perempuan itu berjalan terus menuju ke sebuah rumah besar dan berpintu besar. Ia lalu mengetuk pintu rumah itu.
Setelah menyebutkan siapa dirinya, muncullah empat orang gadis di depan pintu. Perempuan itu pun masuk ke dalam rumah dan memberikan kantong bungkusan itu kepada gadis-gadis itu.
“Masaklah daging ini untuk dimakan,” katanya.

Suasana Ka’bah di mjusim Haji. (credist: dorebmeredith)
Rabi’ masih berada di sana. Ia mengintip ke dalam rumah, dan melihat keempat gadis itu sedang sibuk memotong-motong daging dan memanggangnya di atas api. Setelah masak, mereka pun mulai memakannya.
Melihat kondisi itu, Rabi’ pun berteriak, “Demi Allah, jangan kalian makan bangkai daging itu!”
Perempuan dan keempat gadis keci itu pun terkejut, mendengar suara seorang laki-laki didekat mereka.
Setelah Rabi’ memperkenalkan diri, suasana pun mulai mencair.
Perempuan paruh baya itu adalah ibu dari keempat gadis itu. Ia pun menjelaskan kondisi yang kini tengah mereka hadapi. Mereka telah menderita kemiskinan akut selama tiga tahun terakhir.
Perempuan itu mengatakan bahwa mereka masih keturunan Muhammad Rasulullah. Suaminya, yakni ayah dari gadis-gadis ini adalah seorang sayid yang dimuliakan, yang berencana untuk menikahkan mereka dengan laki-laki yang sederajat.
Namun sebelum niatnya terlaksana, ayah mereka meninggal dunia. Sejak itu harta yang ditinggalkannya berangsur habis, tak tersisa.
“Kami tahu, bahwa agama kita tidak membolehkan memakan bangkai. Tetapi dalam keadaan terpaksa hal itu dibolehkan,” kata si ibu.
Ia melanjutkan, “Kami sudah empat hari tidak memakan apapun. Dan, yang kami dapat hanyalah bangkai daging ini!”
Mendengar perkataan itu, Rabi’ pun menangis, dan bergegas pergi, tanpa mengucapkan apapun kepada kelima orang perempuan itu.
Ia lalu menemui saudara seperjalannya di kafilah haji, dan, menyatakan bahwa ia membatalkan niatnya untuk menunaikan haji.
Rabi’ pun, lalu, mengambil pakaian ihramnya, dan juga seluruh perbekalannya, serta uang sejumlah enam ratus dirham yang ia miliki.
Ia lalu pergi ke pasar. Dengan uang yang ia miliki, ia membeli tepung sebanyak dua ratus dirham, pakaian seharga seratus dirham, dan beberapa barang lainnya.
Kemudian, seluruh barang-barang yang ia beli bawa ke rumah perempuan itu. Tak lupa, ia pun menyisipkan uang yang masih tersisa dari belanjaannya ke dalam tepung.
Ketika ia memberikan seluruhnya kepada ibu dan para gadis itu, mereka terkejut menyadari datangnya pertolongan tak terduga, dari seseorang yang baru saja mereka kenal.
Kelimanya bergantian mengucapkan terimakasih, dan mendoakan kebaikan kepada Rabi’.
Setelah melaksanakan niatnya, Rabi’ terpaksa harus tinggal di Kufah. Sementara kafilah haji tetap meneruskan perjalanannya menuju ke Baitullah.
Ketika mereka kembali dari ibadah haji, Rabi’ pun menyambut mereka. Dengan harapan mereka akan mendoakannya dengan keberkahan haji mereka.
Ketika pandangan matanya melihat jamaah pertama yang tiba, terbetik sedikit rasa menyesal karena tidak jadi menunaikan haji.
Tetapi, terjadi sesuatu yang tidak dapat ia pikirkan, dan membuat Rabi’ tercengang.
Anggota kafilah berkata kepadnya, “Engkau bersama kami di Arafah. Engkau pun bersama kami ketika jumrah. Dan engkau juga ikut tawaf bersama-sama kami.”
Tetapi, Rabi’ masih bingung dengan cerita dari anggota kafilah haji.
“Engkau bersama kami di Mekkah dan Madinah. Bahkan ketika berada di Madinah, ketika kita keluar dari Babu Jibril, engkau menitipkan tas ini kepadaku karena orang berdesak-desakan di sekitar kita. Nah, sekarang ambillah tas uangmu ini,” kata anggota kafilah yang lain.
Orang itu lalu menyerahkan sebuah tas hitam dengan tulisan di bagian atasnya; “Siapa yang bermuamalah dengan Kami akan beruntung.”
Rabi’ makin kebingungan. Ia berseru, “Demi Allah, ini bukan tas milikku.”
Tapi, tas itu pun ia terima.
Dalam kebingungannya, pada malam hari, setelah shalat Isya dan menyelesaikan wirid malam, ia merebahkan badannya, dan tertidur. Di alam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan Muhammad Rasulullah.
Rabi’ melihat Nabi Allah itu tersenyum, dengan senyumannya yang cerah. Rabi’ pun memberi salam kepadanya, dan mencium tangannya.
Nabi Allah menjawab salamnya. Dan berkata, “Wahai, Rabi’, berapa orang saksi lagi yang engkau kehendaki, sehingga engkau percaya bahwa engkau telah menunaikan haji? Namun, engkau belum mempercayainya.”
Muhammad melanjutkan, “Dengarkanlah, dengan kebaikan hatimu, engkau telah membatalkan hajimu, dan sebaliknya biaya hajimu telah engkau berikan kepada wanita dari keturunanku. Maka ketika engkau memberikan perbekalanmu kepada mereka, aku berdoa kepada Allah agar menganugerahkan bagimu pahala yang lebih baik dan lebih menguntungkan sebagai gantinya.”
Lalu, Muhammad berkata, “Kemudian Allah telah mengutus seorang malaikat yang menyerupaimu dan memerintahkannya agar berhaji untukmu setiap tahun, bahkan untuk selama-lamanya di dunia ini.”
“Allah pun telah memberikan enam ratus uang mas sebagai ganti enam ratus dirham yang telah engkau belanjakan. Siapa yang bermuamalah dengan Kami, pasti akan beruntung,” kata Nabi menutup sabdanya.
Dan, ketika Rabi’ terbangun dari tidurnya, ia pun membuka tas itu. Di dalam tas itu, terdapat enam ratus uang emas.*
*dinukil dan dikisahkan kembali dari buku “198 Kisah Haji Wali-Wali Allah” karya Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny

