Menjaga Sungai Subayang, Demi Keseimbangan Alam
Budaya & Seni, Hak Asasi Manusia, Lingkungan & Krisis Iklim
March 22, 2023
Zulfa Amira Zaed, Pekanbaru
Jernihnya air bak permata hijau yang membelah dua provinsi di Sumatera tampak tenang dihuni jutaan organisme dan menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat. Air yang mengalir dari hulu ke hilir mengantarkan banyak orang ke lokasi yang dituju. Air itu melewati bebatuan warna-warni. Meski tak terlalu dalam, air di sungai itu adalah pengharapan bagi jutaan orang di sekitarnya. Namun di balik tenangnya, sungai itu menghadapi tantangan untuk tetap bisa mengalir.
Adalah Daerah Aliran Sungai Kampar sepanjang lebih kurang 413,5 km yang terbentang dari Provinsi Riau hingga Sumatera Barat. Hulu sungai berada di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat ini bermuara ke Kuala Kampar dan Pelalawan, Riau. Das Kampar melewati Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Kampar Kanan letaknya berdekatan dengan Ibu Kota Kabupaten, yaitu Bangkinang dan sekitarnya. Sedangkan Kampar Kiri berbatasan langsung dengan Kota Pekanbaru dan Kabupaten Rokan Hulu dan Sumatera Barat.
Sungai Subayang yang lebarnya antara 100 meter hingga 143 meter ini berada Kecamatan Kampar Kiri Hulu (biasa disebut dengan Kampar Kiri) digunakan sebagai sarana transportasi yang bermula dari pelabuhan rakyat di Desa Tanjung Belit. Tampak banyak orang hilir mudik dari dan menuju ke hulu sungai pada 13 Desember 2022. Selain itu sungai ini juga digunakan sebagai sumber penghidupan seperti mandi, mencuci, dan minum itu tak ada yang bisa menjamin sampai kapan bisa digunakan. Butuh berbagai upaya untuk tetap membuatnya lestari.
Sungai Subayang, saat ini menjadi permata karena letaknya yang berada di kawasan suaka marga satwa Rimbang Baling, jauh dari kesan bising, ramai, dan kotor seperti suasana perkotaan. Kawasan tanpa signal dan aliran listrik dari PLN tersebut masih sangat asri dan bersih. Sungai Subayang, yang diapit bebukitan itu dihuni oleh masyarakat desa yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Tidak hanya itu, ketika melintasi Sungai Subayang, kita akan bertemu banyak satwa endemik seperti siamang, babi hutan, burung jalak, dan satwa lainnya di pinggir sungai. Kawasan ini juga dihuni oleh harimau Sumatera (panthera tigris), endemik asli Sumatera yang saat ini terancam punah.
Komunitas Peduli Sungai, River Ambassador
Upaya pelestarian Subayang tidak hanya dilakukan oleh warga sekitar, tetapi juga oleh sekelompok generasi muda yang menamakan diri sebagai River Ambassador. River Ambassardor banyak melakukan gerakan di sekitar Sungai Subayang sejak tahun 2016.
Komunitas ini aktif melakukan edukasi tentang pentingnya menjaga sungai. Menyasar anak-anak tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan memberikan edukasi tentang pentingnya mengelola sampah agar tidak mencemari sungai. Komunitas ini tidak hanya koar-koar berteriak akan pentingnya menjaga sungai, tetapi melakukan aksi nyata secara langsung yang melibatkan anak-anak.
Beberapa kader River Ambassador memainkan boneka dengan suara yang demikian apik di hadapan adik-adik yang duduk beralaskan rumput di pinggir Sungai Subayang pada 25 Agustus 2019 di Desa Koto Lamo. Butuh waktu hampir dua jam untuk menjangkau tempat tersebut, namun adik-adik peserta susur sungai tetap antusias mengikuti kegiatan. Berbagai macam karakter diperankan dalam dongeng. Ada kalanya mereka harus menirukan berbagai suara hewan yang hidup di sekitar sungai.
Setelah melakukan susur sungai untuk melihat secara langsung keadaan sungai yang masih terjaga kelestariannya, mereka juga diajarkan cara mendaur ulang barang bekas menjadi benda yang bermanfaat seperti membuat tas dari pakaian bekas pakai. Hal ini bertujuan agar barang yang sudah tidak terpakai tidak dibuang langsung, mengingat sampah yang dibuang bisa mencemari sungai.
“Kami mengajak adik-adik untuk memahami bahaya sungai bila tercemar melalui dongeng. Dengan demikian adik-adik dapat dengan mudah memahami dampak pencemaran sungai secara langsung,” kata Icha Ayin Anjeli (20), koordinator River Ambassador saat ditemui di Kota Pekanbaru pada 14 Desember 2021.
Hal ini tentu memberikan dampak secara langsung kepada anak-anak yang mengikuti kegiatan tersebut. Mereka juga akan memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitar untuk turut menjaga sungai.
“Anak-anak itu akan becerita kepada keluarganya bahwa sampah yang dibuang langsung ke sungai akan berdampak buruk seperti rusaknya ekosistem air. Minimal mereka tahu kalau itu membuang sampah ke sungai bisa membuat ikan yang hidup di sungai menjadi mati karena sungai telah tercemar,” tutup Icha.
Berbeda dengan Icha, Tiara Sucia (22) yang merupakan kader River Ambassador mengaku kegiatan yang ia lakukan bersama komunitasnya itu memberikan dampak bukan hanya bagi masyarakat di sekitar sungai melainkan lebih luas. Ia dan rekan-rekannya menjadi lebih disiplin dalam mengelola sampah. Meski kini Tiara tinggal di Kota Dumai, Provinsi Riau, namun kebiasaan baik untuk mengelola sampah sebaik-baiknya tetap ia teruskan.
“Meski saat ini saya tinggal di Kota Dumai untuk bekerja, namun saya tetap memperlakukan sampah sebaik mungkin agar tidak mencemari lingkungan. Hal ini melekat di benak saya semenjak saya menjadi kader River Ambassador,” kata Tiara.
Pada 25 September 2019 lalu, Tiara dan rekan-rekannya memperingati World Rivers Day dengan mengadakan edukasi penyelamatan ekosistem DAS Kampar bersama MTS/MA Rahmatul Hidayah yang diadakan secara langsung di rumah belajar air, Desa tanjung, Koto Kampar Hulu.
“Dalam acara tersebut, kami mengenalkan tentang penyumbang terbesar pencemaran lingkungan, yaitu sampah yang salah satunya adalah sampah plastik. Kami juga mengajarkan bagaimana mengenal jenis-jenis sampah dan bagaimana cara mengurainya,” pungkas Tiara pada 12 januari 2022.
Rumah belajar air merupakan rumah belajar yang menyediakan berbagai fasilitas belajar untuk diskusi dan belajar mengenai air. Rumah belajar ini juga dilengkapi dengan mikroskop yang bisa digunakan untuk meneliti atau melihat lebih jauh tentang segala hal yang tidak bisa dilihat menggunakan mata karena ukurannya sangat kecil. Rumah belajar ini adalah inisisasi salah satu Non Governmental Organization (NGO) dunia yang berfokus pada masalah konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan.
Perjalanan River Ambassador tidak hanya berhenti di sekitar Sungai Subayang, mereka mengedukasi ke sekolah-sekolah yang lokasinya berdekatan dengan sungai, salah satunya adalah di SD N 127 Pekanbaru pada 26 April 2019. Dengan tema sungai bersih, bebas sampah, River Ambassador memberikan edukasi melalui dialog interaktif, pementasan seni dari Teater Tanduk dan praktek langsung membuat benda bermanfaat dari pakaian bekas.
“Saat itu, selain pementasan drama, kami juga mengajarkan kepada adik-adik tentang cara membuat tas dari pakain bekas. Hal ini bertujuan untuk mengenalkan tentang bahaya sampah yang dapat mencemari sungai sejak dini,” kata Ade Surya Dwi Putra (27) salah satu perwakilan River Ambassador yang mengisi materi pada kegiatan tersebut.
Subayang, Jalur Transportasi Satu-satunya Untuk Sepuluh Desa
Belasan orang sedang menunggu “Robin” di dermaga untuk mengantarkan mereka kembali ke rumah masing-masing setelah berbelanja atau sekedar berjalan-jalan. Robin adalah sebutan untuk kapal kecil bermotor atau piyau yang digunakan masyarakat sekitar untuk hilir mudik di sungai.
Sungai ini, merupakan jalur transportasi satu-satunya untuk sepuluh desa di dalamnya. Pelabuhan itu ramai sejak pagi hari hingga sore sebelum matahari terbenam. Para pengemudi robin tak menghiraukan teriknya matahari siang itu. Ia mempersilakan beberapa orang untuk menaiki perahunya. Salah seorang ibu paruh baya menaiki perahu dengan sebelah tangan mengangkat barang bawaan, lalu sebelah tangan lainnya menjinjing pakaian yang ia pakai agar tidak basah terkena air sungai.
Setelah perahu diisi oleh sekitar lima hingga sepuluh orang duduk di perahu, ia menarik tali yang melilit mesin robin agar mesin berputar dengan sempurna dan mampu mendorong perahu untuk menyusuri Sungai Subayang.
Mesin berbahan bakar solar dengan daya 6,5 pk itu mendorong perahu kayu membelah sungai.
“Setiap orang akan membayar ongkos antara lima ribu hingga lima belas ribu rupiah, tergantung dari jarak yang akan ditempuh. Lumayan, uang itu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,” tutur Robi (23), pengendara perahu.
Dengan lincah, Robi mengendalikan perahu menyusuri sungai. Ia sudah biasa melakukan perjalanan dari desa terdekat hingga desa terjauh yang harus menempuh waktu hingga lebih dari enam jam. Tentu membutuhkan teknik untuk membuat perahunya tetap seimbang.
Ia harus mengurangi kecepatan setiap kali bertemu perahu dari arah lawan, juga ketika akan berbelok, karena arus akan semakin deras. Bukan hanya menaklukkan derasnya arus ketika pasang, ia juga harus jeli memilih sisi yang tidak terlalu dangkal agar mesin di perahunya tidak kandas lalu macet.
“Sungai ini akan terus kami susuri, jika mendangkal, pupus harapan kami,” tutup Robi pada 18 Desember 2020.
Lubuk Larangan di Tanjung Belit
Amrin (55), atau yang biasa disapa Mak Birin adalah satu dari sekian tetua desa yang menjaga adat istiadat di Sungai Subayang seperti adat lubuk larangan dan hutan larangan.
Melalui musyawarah desa, masyarakat Desa Tanjung Belit memberlakukan aturan adat untuk menjaga kelestarian Sungai Subayang. Mereka sadar betul bahwa sungai yang menjadi penopang hidup tersebut harus dijaga sebaik mungkin.
Dalam tanah seluas 300 hektare yang berstatus tanah ulayat, Mak Birin dan tokoh masyarakat Tanjung Belit menyepakati aturan hutan larangan. Di lokasi tersebut, siapapun dilarang untuk berkegiatan seperti bertani dan menebang pohon.
Masyarakat di sana percaya dengan menjaga hutan, maka kelestarian sungai juga akan terjaga, meminimalisir risiko pendangkalan sungai.
“Barang siapa memetik hasil, menebang pohon atau lainnya, akan dikenakan sanksi adat berupa denda dan sanksi sosial. Hingga hari ini belum ada yang berani melanggar,” kata Mak Birin.
Selain hutan larangan, desa-desa di Sungai Subayang juga memiliki tradisi lubuk larangan, termasuk di Desa Tanjung Belit. Lubuk larangan adalah kawasan sungai dimana ikannya tidak boleh ditangkap selain waktu pembukaan lubuk tersebut, biasanya lubuk itu dibuka sekali dalam setahun. Tidak hanya dilarang menangkap ikan, tetapi juga dilarang untuk membuat keramba di lokasi tersebut.
“Lubuk larangan dibuat untuk melestarikan ekosistem di dalamnya, sehingga keturunan kita juga tetap bisa menemukan jenis ikan-ikan yang ada di sungai itu. Ini juga untuk menjaga sungai agar tidak rusak, di sungai ini ada banyak jenis ikan seperti belida, tapah (bernama latin willago, bentuknya mirip ikan baung namun ukurannya lebih besar), dan singkarek (sejenis ikan air tawar yang bentuknya mirip dengan ikan bilis),” katanya lagi.
Bagi orang yang melanggar aturan di lubuk larangan akan diberikan sanksi denda sebanyak 10 sak semen, dan sanksi sosial tentunya.
Tradisi lubuk larangan sudah dijalankan masyarakat Desa Tanjung Belit sejak tahun 1985. Pada saat pembukaan atau panen lubuk, ikan yang didapat akan dibagikan merata kepada seluruh penduduk desa dan dilelang. Masyarakat memanfaatkan hasil lelang untuk membangun desa seperti membangun masjid, santunan anak yatim, mendukung kegiatan adat, dan banyak lagi.
Mak Birin yang memiliki gelar Datuk Majo ini menjelaskan bahwa batasan wilayah lubuk larangan ditentukan berdasarkan musyawarah desa. Para tokoh adat setempat akan menyepakati bersama lokasi dan batas yang akan dijadikan lubuk larangan.
“Terakhir kita membuka lubuk larangan ini pada tahun 2020 dan mendapatkan hasil lelang sebesar 75 juta rupiah. Yang jadi primadona saat itu adalah seekor ikan tapah yang terjual seharga 4 juta lebih dengan bobot lebih dari 5 kg,” kata Datuk Majo pada 12 Desember 2021.
Panen lubuk larangan bisa diikuti oleh siapa saja yang berminat. Seminggu saja diumumkan akan dibuka lubuk larangan, orang dari berbagai penjuru akan datang, tidak hanya dari desa sekitar, tetapi juga dari Pekanbaru, dan provinsi lain hingga Jakarta. Para pejabat daerah juga tak tertinggal untuk mengikuti momen adat tersebut. Bagi setiap orang yang akan mengikuti panen lubuk larangan, cukup membayar tiket sebesar 25 ribu rupiah per orang. Berbekal jaring, pancing, dan tombak, panenpun siap diramaikan.
“Siapapun itu, wajib menjaga sungai ini demi kehidupan berkelanjutan. Jika ikan masih ada di sungai, artinya kehidupan di sini tetap terjaga,” tegas Mak Birin yang bergelar Datuk Majo.
Aliran Sungai Untuk Pembangkit Listrik
“Selama air mengalir menggerakkan turbin, desa kami akan diterangi aliran listrik,” kata Yuli Hartati (23), warga Desa Batu Sanggan.
Sore itu, Yuli tengah menghidupkan lampu teras ketika ditemui di rumahnya pada 20 Desember 2020. Ia adalah bendahara Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) di Desa Batu Sanggan, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Tanjung Belit.
Desa seluas 20 hektare ini telah menikmati terangnya lampu dari aliran listrik sejak tahun 2015 meski PLN belum menjangkau ke sana. Desa yang berjarak 185 km dari ibu kota Kabupaten Kampar, Kota Bangkinang ini pertama kali dibuka oleh anak Raja Alexander Zulkarnaen yang bernama Dengung Bertuah, bergelar Timbun Ijuak sebelum tahun 1945.
Dengan membayar iuran wajib sebesar 30 ribu rupiah setiap bulan ke bumdes, warga Batu Sanggan bisa menikmati listrik berdaya 2 ampere yang bisa digunakan untuk menghidupkan beberapa lampu, televisi, radio, dan penanak nasi.
“Dari total 115 kepala keluarga, setiap bulan ada 66 kepala keluarga yang membayar iuran wajib ke Bumdes, hal itu karena tidak semua rumah di sini dihuni pemiliknya, ada yang merantau ke kota untuk sekolah,” kata Yuli.
Warga desa yang akan sekolah jenjang SMA, harus keluar lokasi dari desa mereka. Mayoritas mereka melanjutkan SMA ke Gema, desa terdekat yang memiliki sekolah tingkat SMA, atau ke Kecamatan Lipat Kain, hingga ke ibu kota kabupaten, yaitu Kota Bangkinang.
Dana yang dibayarkan oleh masyarakat digunakan untuk perawatan turbin dan jaringan, juga untuk membayar honor pengelola turbin. Turbin tersebut dijaga untuk terus beroperasi oleh dua orang warga desa, dengan honor sebesar 650 ribu rupiah per bulan.
“Kami mengusulkan kepada pemerintah kabupaten sejak tahun 2007. Setelah sempat menggunakan pembangkit listrik tenaga surya selama dua tahun, akhirnya 2015 bisa menggunakan PLTMH,” kata Indusri, Kepala Desa Batu Sanggan kesepuluh.
Pembangunan pembangkit listrik yang didukung oleh pemerintah kabupaten tersebut benar-benar memanfaatkan air Sungai Subayang untuk menggerakkan turbin.
Listrik akan hidup sepanjang hari. Hanya sekali dalam satu minggu turbin akan dimatikan untuk memeriksa kondisi turbin dan membersihkan bagian yang diperlukan.
“Hal terpenting untuk menghidupkan listrik di desa kami adalah air sungai, sungai harus mengalir dengan lancar, bebas dari sampah dan ancaman lainnya,” katanya lagi.*
Artikel ini pertama kali diterbitkan di amirariau.com