SAD Pelepat Berupaya Untuk Setara

Hak Asasi Manusia

March 17, 2023

Jon Afrizal, Jambi

Anak-anak SAD Pelepat sedang belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari. (credit tittle: Jon Afrizal/amira.co.id)

SENJA datang di Desa Kelukup Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Sebanyak 60 Kepala Keluarga (KK) yang berada di perkampungan Suku Anak Dalam (SAD) ini seolah tak gerak.

Mereka membiarkan perkampungan gelap, hanya disiram sinar bulan saja. Ada juga beberapa dari mereka yang akhirnya menghidupkan generator set. Tapi itu lebih ditujukan untuk delapan anak SAD yang mengaji al-Qur’an di sebuah rumah di pemukiman seluas 6 hektare ini.

Sejak “dirumahkan” oleh Dinas Sosial setempat pada empat tahun lalu, hingga kini rumah-rumah mereka tetap tak dialiri listrik. Mereka pun tetap tak terbiasa untuk tinggal di rumah berukuran 6 x 7 meter persegi itu.

Bagian belakang rumah mereka tetap dibuat “Sudung”, rumah ala SAD, yang hanya beratap terpal saja tanpa dinding yang menutupinya.

Mak Nur, tetua SAD Pelepat, yang mengajarkan nilai-nilai kearifan tradisi kepada anak-anak SAD. (credit title: Jon Afrizal/amira.co.id)

Adalah Subuh, atau nama Islam-nya Nurbaiti. Perempuan berumur sekitar 60-an tahun ini adalah istri Ampung, kira-kira berumur yang sama, satu dari dua pemimpin rombongan SAD yang hidup di pemukiman ini.

Ia telah empat tahun menganut Islam, yang mengganti kepercayaan asli mereka yakni menyembah banyak dewa. Ini pembeda sebanyak 40 KK rombongan ini dengan 20 KK rombongan lainnya yang diketuai Hari. Kelompok Hari hingga hari ini masih tetap menganut kepercayaan asli mereka.

Konsekwensi yang harus mereka pegang, sebagai penganut Islam, adalah tidak memakan daging babi. Kendati hewan ini adalah buruan pokok mereka sebelum menjadi Islam.

“Berburu sekarang sulit sekali. Biasanya tiga atau empat hari berburu telah dapat hewan seperti kijang, tetapi sekarang hingga dua minggu. Itu pun lebih banyak tanpa hasil,” kata Subuh, Senin (23/7).

Biasanya, kata Samsu, seorang warga pemukiman lainnya, mereka berburu ke arah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pemukiman mereka termasuk daerah penyangga TNKS. Jarak ke TNKS memakan waktu setengah hingga satu hari perjalanan, dengan berjalan kaki.

Kesulitan ekonomi yang menghimpit mereka, sebagai konsekwensi dari menjadi Islam dan dirumahkan, berlanjut terus hingga hari ini. Mereka telah beberapa kali mencoba untuk bertanam padi tadah hujan. Tapi tidak membuahkan hasil. Padi mati karena hama.

“Kami tidak ingin menjadi peminta-minta. Tetapi setidaknya ada solusi dari pemerintah terhadap sumber penghidupan kami,” kata Subuh.

Memang, selama dua hari berada di sana, tidak ditemukan ada petugas pemerintah yang datang. Tapi, di setiap rumah mereka telah tertempel sticker “terdata sebagai pemilih” untuk Pemilu 2019 nanti.

“Kami tidak tahu apa artinya. Tapi kami telah didata oleh petugas,” katanya.

Endah Setiawati, seorang warga Desa Pelepat, yang jaraknya hanya 1 kilometer dari pemukiman SAD, mengatakan ia telah beberapa kali menjadi pengumpul kartu KK dan KTP milik warga SAD. Sebab warga SAD terkesan lalai terhadap dokumen kependudukan itu.

“Jika mereka yang menyimpannya, biasanya akan hilang dengan cepat,” katanya.

Dua gadis SAD Pelepat hendak berangkat sekolah. (credit title: Jon Afrizal/amira.co.id)

Direktur NGO Pundi Sumatera, Dewi Yuniarti mengatakan kelengkapan dokumen kependudukan menjadi salah satu tujuan mereka saat ini. Pihaknya, yang telah mendampingi SAD sejak 2012 lalu, mendampingi warga SAD untuk mengurus dokumen kependudukan ini.

“Ini agar mereka terdata sebagai warga negara, lengkap dengan hak dan kewajibannya,” katanya.

Menurutnya, tujuan pihaknya adalah tercakupnya layanan dasar bagi warga SAD, seperti pendidikan, kesehatan dan kelengkapan dokumen kependudukan.

Terkait masalah ekononi, katanya, pihaknya telah memberikan bibit ikan lele untuk dipelihara. Dipilihnya bibit ikan ini, untuk mengganti pola berburu bagi warga SAD. Sehingga mereka tidak tergantung dengan hewan buruan lagi.

Untuk jangka panjang, pihaknya kini tengah menggalakan penanaman 500 bibit jernang (daemonorops) bagi warga SAD. Awalnya bibit jernang didapat dari hutan oleh warga SAD. Kemudian ditanam dan dipelihara oleh warga SAD pula.

“Satu tahun mendatang jernang telah dapat dipanen. Sehingga waga SAD memiliki sumber ekonomi alternatif,” katanya. *

avatar

Redaksi