Melihat “Fashion” Gerakan Lingkungan (2)
Hak Asasi Manusia
May 29, 2025
Jon Afrizal

Protes terhadap kebijakan iklim oleh anak-anak. (credits: National Geography)
“You Stolen My Dream.” Greta Thundberg
SEJAK Paris Agreement 2015, Uni Eropa sepertinya memimpin kebijakan iklim global. Dengan target ambisius untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050, dan memberlakukan regulasi ketat bagi industri.
Dalam perjanjian ini, hampir seluruh negara di dunia menyetujui dan berjanji untuk membatasi pemanasan global menjadi jauh di bawah angka 2 derajat Celsius, dan idealnya tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius, jika dibandingkan dengan tingkat pra-industri.
Meskipun, ada banyak perjanjian lainnya yang juga sangat penting, seperti; Kyoto Protocol, dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Dan, harus dikatakan bahwa Paris Agreement pula lah yang kemudian “menggeser” gaung gerakan pro lingkungan, ke Eropa. Hingga, bahkan, pada hari ini, berwujud gerakan yang: menjadikan anak-anak dan remaja-remaja sebagai tokoh utamanya.
Kultur gerakan yang melibatkan anak-anak dan remaja-remaja dapat dirujuk dari Bands of Mercy, yakni sebuah organisasi formal di Eropa di abad ke-19. Organisasi ini mempertemukan orang per orang, terutama anak-anak dan remaja, untuk belajar tentang keberpihakan terhadap satwa.
Bands of Mercy mengajarkan dan menularkan cara memperlakukan satwa, dengan lebih baik dan lebih manusiawi. Dan juga mencegah kekejaman terhadap satwa di sekitar mereka.
Berangkat dari pemahaman ini, muncullah Animal Liberation Front (ALF). Yang adalah, kini, telah menjadi gerakan internasional. ALF terbentuk di Inggris Raya.
Organisasi ini kerap dihubungkan atau cikal bakal dari Earth Liberation Front (ELF), di Brighton, Inggris, pada tahun 1992. Tercatat organisasi ini bergerak di 17 negara.
Cukup rumit, organisaisi ini menggunakan pola “tak terstruktur” dalam setiap aksi langung. Aksi yang telah menyebabkan kerusakan secara ekonomi pada sektor bisnis, dengan cara merusak properti.

Protes di White House. (credits: Extinction Rebellion)
Para simpatisan organisais ini berdalih bahwa aksi mereka adalah pola pertahanan ekologi yang didedikasikan untuk menghilangkan motif keuntungan bisnis dan ekonomi dari kerusakan lingkungan.
Pada bulan Agustus 2018, lahirlah Fridays for Future (FFF) di Swedia, dan dengan cepat menyebar ke 125 negara dan 1.600 kota. Sejak didirikan, FFF telah mendapat dukungan dari komunitas ilmiah, para peneliti, dan kampus-kampus.
Pada tahun 2019, lebih dari 23.000 ilmuwan telah menandatangani surat yang mendukung gerakan ini. Mereka mengakui betapa seriusnya perubahan iklim, dan betapa pentingnya mengambil tindakan: dengan anak-anak dan remaja sebagai tokoh utama gerakan lingkungan.
Melalui jejaring sosial, dengan memobilisasi lebih dari 1,4 juta anak muda di lebih dari 2.000 kota di seluruh dunia, terjadilah aksi pemogokan Skolstrejk for klimatet secara global pada tanggal 15 Maret 2019. Bahwa perubahan iklim yang terjadi saat ini harus diantisipasi, meskipun anak-anak dan remaja harus mogok sekolah.
Dan, seperti sebuah “fashion”, gerakan lingkungan bersaing untuk terus menerus melibatkan anak-anak dan remaja, dengan mengungkapkan rasa marah secara militan.
Letzte Generation adalah aliansi anak-anak dan remaja di beberapa negar di Eropa, seperti; Jerman, Italia, Polandia, dan Kanada, yang dibentuk pada tahun 2021. Melalui aliansi ini, mereka mengangap bahwa mereka, anak-anak dan remaja, adalah “generasi terakhir” dari populasi manusia di bumi, sebelum sistem iklim bumi mencapai titik kritis.
Bahkan, pada November 2022 lalu, sebanyak 12 anggota Letzte Generation, satu di antaranya adalah siswa sekolah menengah, harus menjalani penahanan pra-persidangan selama 30 hari oleh pihak berwajib Jerman. Penahanan ini karena mereka melakukan aksi memblokir jalan di Munchen, Jerman.
Namun, politik, adalah segalanya. Melalui politik, bergulirlah sisi ekonomi dan bisnis. Dan hubungan mesra ini sepertinya tidak ingin digangggu oleh siapapun, termasuk oleh anak-anak dan remaja.
Dan ternyata, pesan yang disampaikan para aktivis lingkungan, melalui anak-anak dan remaja, tidak memiliki energi yang cukup untuk menggaet pemilih dalam memenangkan pertarungan politik.
Pada pemilu raya di Uni Eropa tahun 2024 lalu, partai-partai hijau kalah telak, dan harus kehilangan sembilan dari 25 kursi yang telah mereka duduki sejak Pemilu 2019, di badan legislatif Uni Eropa.
Para pemilih muda, dari usia 16 hingga 24 tahun, di Jerman, misalnya, ternyata lebih memilih partai Alternatif fur Deutschland (AfD) ketimbang partai-partai hijau.
“Partai-partai hijau dibesarkan oleh kelompok pasifis. Saat ini mereka adalah pendukung paling keras terhadap bantuan militer untuk Ukraina,” Matthias Jung dari Elens Research Group, sebuah lembaga penelitian pemilu di Jerman, mengutip Deutsche Welle.
Isu keamanan dan migrasi, katanya, telah menggeser isu perlindungan iklim dan lingkungan sebagai agenda prioritas. Dan, dapat dikatakan, pada saat ini, perlindungan iklim telah kehilangan arti penting di kalangan masyarakat secara keseluruhan.
Sehingga, katanya, isu-isu tentang iklim dan lingkungan tidak memainkan peran yang besar dalam situasi politik saat ini, terutama di Eropa.
Lantas, dimana posisi kita, orang per orang saat ini, yang hidup di bumi. Ini adalah sebuah pertanyaan yang selalu membutuhkan jawaban, setiap waktu.*

