Menjaga Aliran Sungai Di Perbatasan (2)

Ekonomi & Bisnis

May 6, 2025

Jon Afrizal/Batanghari, Provinsi Jambi

Sempadan Sungai Kandang yang ditanami sawit. (credits: Jon Afrizal/amira.co,id)

SUNGAI dan anak-anak sungai, adalah bagian yang tidak terpisahkan bagi penduduk Sumatera. “Kebudayaan Sungai”, demikian, kira-kira, seperti yang tertulis pada dua buku klasik tentang Sumatera karya Frederic Martin Schnigger; The Archaeology of Hindoo Sumatra dan The Forgotten Kingdoms in Sumatra.

Pada buku itu, dijelaskan bahwa bagi penduduk kala itu, sungai berfungsi untuk kebutuhan terhadap air minum dan rumah tangga, transportasi, perdagangan, dan juga, transformasi budaya. Dengan ketergantungan penduduk terhadap fungsi sungai, maka terciptalah kebudayaan sungai.

Namun, fungsi sungai yang tertulis di buku itu, kini, telah jauh berbeda.

Sungai Lalan, misalnya, di wilayah hulu relatif masih terjaga dengan katupan hutannya. Sehingga kualitas air dan biodiversity di Sungai Lalan masih baik.

Orang Batin Sembilan, biasa menggunakan sungai untuk mmenuhi kebutuhan air bersih. Seperti untuk minum, mandi dan kebutuhan dapur.

Selain itu, mereka juga biasa mencari ikan di sungai. Seperti ikan lais, baung dan sebagainya.

“Kerusakan terhadap sungai akan menganggu kehidupan kami,” kata Yu Nani, anggota kelompok Batin Sembilan, dari Kelompok Tani Hutan (KTH) Maju Besamo. 

Nama “Sungai Lalan” tertulis dalam Undang-Undang Piagam Dan Kisah Negeri Jambi yang disalin oleh Oemar Ngebi Sutho Dilago Periai Sari.

Yakni ketika terjadi pernikahan antara Pangeran Prabu Suto Wijoyo dari Kesultanan Djambi dengan Ratu Ibu Kasuma Ningrat dari Kesultanan Palembang. Maka Susuhunan Palembang pun menyatakan bahwa “Tanah Bahar Sekanan Lalan Mudik” dimanfaatkan untuk Kesultanan Djambi, dan, “Tanah Bahar Sekiri Lalan Mudik” dikelola untuk Kesultanan Palembang.

Perkebunan karet milik warga yang bergantung dengan Sungai Kandang. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Tentu saja, juga dengan tujuan untuk dimanfaatkan oleh Orang Batin Sembilan yang ada di sana. Orang Batin Sembilan, bukan secara kebetulan, adalah pengawal Pangeran Prabu Suto Wijoyo.

Kondisi berbeda ketika melihat Sungai Kandang, yang kini, mengalir di tengah-tengah kebun sawit masyarakat. Bahkan, sempadan Sungai Kandang pun telah berubah bentuk menjadi jajaran pohon-pohon asal Afrika.

Wilayah ini, adalah “areal terbuka”. Dalam artian telah dimasuki para pendatang. Dan mereka membuka kebun di sekitar sempadan Sungai Kandang.

Slamet Tulus dari KTH Bungin Mandiri menyatakan bahwa ia memiliki 300 batang pohon karet (Hevea brasiliensis) yang ditanam di lahan seluas 0,5 hektare. Batang-batang karet itu ia tanam pada tahun 2016 lalu.

Karena posisinya tidak seberapa jauh dari Sungai Kandang, tanamannya berhasil tumbuh dan berproduksi. Ia mendapatkan sebanyak 50 kilogram karet basah per pekan.

“Mudah-mudahan air sungai tetap terjaga. Jika tidak, produksi pasti akan menurun,” kata Tulus.

Tetapi, Sungai Kandang kini tidak bagus lagi. Karena penggunaan pupuk kimia untuk sawit, hampir tidak ada lagi warga yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan air besih.

Persoalan lainnya, adalah penggunaan “Putas” untuk meracun ikan. Putas (potassium cyanide), adalah satu bentuk dari sianida.

Mengutip halodoc, potasium sianida melepaskan gas hidrogen sianida yang beracun. Ikan yang terkena putas akan semaput, karena terganggunya jalur perjalana oksigen yang akan masuk ke tubuhnya.

Jika terpapar pada manusia, atau ikan yang diracun kemudian dikonsumsi manusia, maka manusia akan menderita pusing, napas cepat, mual, muntah, leher terasa terjepit dan lemas, kebingungan, gelisah, dan kecemasan.

Atau, jika terlalu parah, maka efeknya adalah; pingsan, koma, kejang otot, badan kejang, pupil mata melebar, kulit terasa dingin, lembap, dan mengeluarkan keringat, hingga kematian.

Pihak pengelola “Hutan Harapan”, PT Restorasi Ekosistem (REKI) secara berkala mengunjungi kelompok-kelompok yang telah bermitra, yakni sekitar 14 KTH. Selanjutnya memberikan pengetahuan tentang konservasi sungai kepada para anggota kelompok.

Sungai, bukanlah hal sepele. Perubahan cara manusia memaknainya pada saat ini, tentu akan merugikan manusia sendiri.*

avatar

Redaksi