Ketika Musim Durian Tiba
Inovasi
January 18, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
Penjual buah durian di Pasar Jambi, diperkirkan tahun 1910. (: Universiteit Leiden)
MUSIM penghujan, identik dengan musim buah-buahan. Sehingga, banyak yang berseloroh, bahwa di sini, kita tidak hanya mengalami dua musim; musim kemarau dan penghujan, saja. Tetapi lebih dari itu.
Sebut saja, musim rambutan dan musim duku. Dan terpopuler adalah musim durian, King of Fruits.
Kawasan Tugu Juang, Sipin, Kota Jambi adalah tempat menjual dan membeli durian. Tidak hanya di sana, tetapi di banyak sudut di Kota Jambi, penjual durian dapat dengan mudah ditemui.
Sama seperti di masa lalu, para penjual akan ngemper di pinggir jalan. Mereka kemudian mencumpuk buah durian dalam beberapa bagian. Setiap cumpuk yang berbentuk segitiga seperti gunung itu berjumlah sekitar 10 buah hingga 15 buah, atau bahkan lebih.
Di sini, di Kota Jambi, durian dijual per buah. Dnegan kisaran harga yang bervariasi; mulai dari IDR 10.000 per buah hingga IDR 50.000 per buah. Tergantung besaran buah durian itu.
Pembeli dan penjual sama-sama cerdik. Si pembeli menawar serendah-rendahnya. Yakni dengan pola dan memilih sendiri buah durian, dan kemudian terkesan ingin memborong. Padahal, intinya, tetap saja ingin membeli dengan harga murah.
Penjual durian pun tak kalah lincah, matanya awas melihat pilihan pembeli. Tidak hanya besaran bentuknya saja, tetapi juga jumlah ruasnya pun mereka hitung.
Pada masa lalu, para penjual durian adalah juga orang yang memiliki kebun durian. Mereka membawa buah durian dari sentra-sentra durian ternama di sekitar Kota Jambi. Sebut saja daerah Selat dan Kumpe, dan menjualnya sendiri ke Kota Jambi.
Mereka membawanya dengan menggunakan sepeda motor. Setiap sepeda motor hanya ditumpangi oleh driver saja. Sementara di jok bagian belakang, driver akan membonceng buah durian yang berada di dalam karung goni yang dibelah dua.
Itu hanya cerita di masa lalu. Kini, para pedagang pengepul atau tengkulak akan datang menyatroni kebun-kebun penduduk yang berada di sentra-sentra durian. Dengan sistem borong, mereka membeli durian penduduk dengan hitungan IDR 10.000 per buah.
Durian, di sini, adalah pohon-pohon yang diwariskan. Para pendahulu telah menanam sekitar 50-an tahun lalu. Dengan harapan, anak-cucu mereka dapat menikmati buah dari pohon yang mereka tanam.
Sebut saja ini adalah upaya konservasi berkelanjutan ala kearifan lokal.
Tidak ada pembibitan durian, di sini. Para pendahulu pun mendapatkan bibit dari pendahulu mereka juga. Caranya, setiap buah durian yang mereka makan, jika itu terasa legit dan enak, akan mereka tanam di tempat yang telah dinyatakan sebagai kebun.
Setelah para pendahulu meninggal dunia, maka kebun durian pun diwariskan ke anak-anaknya. Cara yang umum dilakukan, adalah panen giliran.
Maksudnya, ketika panen tiba, maka setiap anak akan memiliki hari dimana ia diperbolehkan untuk nunggu duren (panen). Dan, begitu juga anak-anak yang lainnya. Sehingga, setiap anak mencicipi buah durian yang ditanam oleh pendahulunya.
Saat yang tepat untuk nunggu duren, adalah ketika angin kencang berhembus. Dengan bantuan angin, buah durian yang telah matang di pohon akan runtuh dengan sendirinya.
Tetapi, tentunya, mutik duren harus menunggu angin reda bertiup. Jika tidak, duh, buah yang berduri ini dapat menimpa tubuh. Sebab, arah jatuh dan kecepatannya kerap tidak terduga.
Di kawasan-kawasan yang berhutan, seperti taman nasional atau areal berhutan lainnya, terdapat sebuah tradisi yang masih berlaku hingga hari ini di Provinsi Jambi. Yakni, buah pertama yang jatuh pada setiap musim durian adalah milik Datuk Belang Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrea). Sebagai sejenis penghormatan bagi Sang Datuk yang menguasai rimba raya, untuk mencicipi hasil panenan.
Sebagai King of Fruits, dengan kandungan yang kaya, warga Jambi punya cara tersendiri untuk memakannya. Ini untuk menghindari mabuk duren. Buah durian akan dimakan dengan disertai beras ketan yang diungkep dan sedikit ditaburi kelapa parut.
Atau, bagi peminum kopi, tentu telah mencukupinya dengan membuat kopi duren saja.
Jika sedang banjir duren atau panen raya, maka dibuatlah lempok (dodol duren). Lempok dapat digunakan untuk campuran ketika membuat bubur kacang hijau atau kolak. Makanan pun akan berperisa durian.
Buah durian yang telah jatuh dari pohonnnya, akan cepat sekali berubah rasanya. Semakin lama, akan terasa semakin asam. Sehingga, dibuatlah tempoyak. Yakni daging buah durian yang telah mengalami peragian secara alami.
Bagi penyuka masakan olahan ikan, akan terasa nikmatnya jika diolah menjadi sejenis tumisan dengan cabai merah yang digiling dan beberapa bumbu lainnya. Seperti tempoyak ikan patin, misalnya.
Terlebih dari itu, pohon durian adalah sejenis kayu yang menyerupai pohon-pohon di hutan raya. Yang akan merindangi dan memberikan udara bersih bagi sekitarnya. Udara yang dibutuhkan oleh setiap mahluk hidup.
Tetapi, sejak musim karhutla (kebakaran hutan dan lahan) melanda provinsi ini dimulai dari tahun ’90-an lalu, panenan durian setiap pohonnya cenderung menurun. Banyak warga menyatakan penurunan panenan ini terpengaruh oleh kabut asap.
Tentu butuh penelitian lebih lanjut. Sehingga tidak terkesan menuduh, ehm, bahwa perluasan perkebunan sawit yang selalu dianggap menimbulkan karhutla dan kabut asap setiap tahun adalah destroyer bagi tanaman lainnya.*