Bedol Desa Untuk Kedungombo
Ekonomi & Bisnis
September 27, 2024
Jon Afrizal
Sampul buku “Bedol Desa” karya Punk Pribadi. (credits: Tokopedia)
TANGGAL 1 Agustus 1989. Adalah hari pilu dan sedih bagi warga di wilayah Sragen, Boyolali, dan Grobogan, Jawa Tengah. Lima orang meninggal dunia, pada hari itu, yang biasa disebut dengan “Tragedi Kedungombo”.
Peristiwa ini terjadi, karena ketidakcocokan ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada warga, atas lahan warga yang akan digunakan sebagai proyek raksasa: Waduk Kedungombo, satu dari tiga waduk terbesar di Indonesia.
Untuk keperluan pembangunan Waduk Kedungombo, sebanyak 5.391 keluarga yang tinggal di 37 desa di Sragen, Boyolali, dan Grobogan dinyatakan harus dipindah.
Radhi Sinaro dalam Menyimak Bendungan Di Indonesia, menyebutkan Untuk keperluan pembangunan Waduk Kedungombo, sebanyak 5.391 keluarga yang tinggal di 37 desa di Sragen, Boyolali, dan Grobogan dinyatakan harus dipindah.
Sebagaimana kebijakan pemerintah Indonesia saat itu, warga diberi opsi untuk bertransmigrasi ke luar Jawa atau pindah ke lokasi lain yang tidak terancam tergenang oleh waduk.
Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Roestam menyatakan bahwa ganti rugi yang diberikan adalah sebesar IDR 3.000 per meter persegi. Padahal warga dipaksa hanya menerima IDR 250 per meter persegi.
Penurunan besaran ganti rugi itu, satu diantaranya diduga karena adanya pemotongan tidak resmi dari aparat desa, dengan alasan sebagai sumbangan untuk penduduk yang kelaparan.
Padahal, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Pemendagri) nomor 15 tahun 1975 tentang “Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah” menyebutkan bahwa, “Di dalam mengadakan penaksiran/penerapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum setempat.”
Sehingga, sampai waduk mulai diisi pada bulan Januari 1989, masih terdapat 190 keluarga yang belum bersedia untuk pindah karena tidak setuju dengan ganti rugi yang diberikan.
Waduk Kedungombo, tahun 1995. (credits: Departemen Pekerjaan Umum)
Romo Mangun, Romo Sandyawan, dan K.H. Hamam Jafar mendampingi warga yang masih bertahan, dengan membangun sekolah darurat dan membuat rakit untuk mempermudah mobilitas warga.
Tetapi, “tekanan” yang terjadi pada tanggal 1 Agustus 1989, warga akhirnya harus menyelamatkan diri dengan menggunakan peralatan seadanya. Akibatnya, lima orang warga meninggal dalam peristiwa itu.
Pada masa Orde Baru, dikenal istilah “Transmigrasi Bedol Desa”.
Transmigrasi Bedol Desa, menurut dosensosiologi, dapat disebut sebagai salah satu bentuk perpindahan penduduk yang dilakukan secara masal, bukan hanya masyarakat satu desa yang melakukan mobilitas akan tetapi semua aparatur pemerintah di dalamnya juga berpindah.
Penyebab terjadinya transmigrasi bodol desa ini, salah satunya ialah adanya proyek yang dilakukan pemerintah pada wilayah tertentu.
Proyek pembangunan Waduk Kedungombo terletak di perbatasan antara tiga kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Grobogan, Sragen dan Boyolali, tepatnya di Geyer, Grobogan. Bendungan utama Waduk Kedungombo berada di perbatasan antara Desa Rambat dan Desa Juworo di Geyer, Grobogan.
Masyarakat di 37 desa itu, pada akhirnya, dipaksa untuk mengikuti program transmigrasi. Mereka harus meninggalkan harta benda, dan kenangan tempat dimana mereka dilahirkan.
Beberapa dari transmigran Bedol Desa Kedungombo pun terbawa hingga ke Provinsi Jambi. Keturunan-keteurunan dari para transmigran, hingga hari ini masih dapat ditemui di Kecamatan Pamenang Kabupatenan Merangin.
Rencana awalnya, waduk ini akan dibangun pada tahun 1981. Namun baru dapat dialksanakan pada tahun 1984.
Pembangunan waduk ini adalah pinjaman dari World Bank sebesar USD 156 juta dengan bunga sebesar 9,25 persen per tahun. Juga, dengan alokasi APBN sebesar USD 105,8 juta dan kredit ekspor dari Bank Exim – ODA sebesar USD 21,3 juta.
Waduk ini difungsikan untuk menampung air dari Sungai Serang dan Sungai Uter, serta air dari Sungai Sentulan, Sungai Jenglong, dan Sungai Karangboyo.
Pembangunan pertama, dimulai dengan pembangunan terowongan pengelak, yang dilakukan pada bulan Januari 1984. Yang bertujuan untuk mengalihkan aliran Sungai Serang selama proses pembangunan waduk ini.
Waduk ini memiliki tinggi 66 meter, panjang 1.600 meter, lebar pucak 12 meter, volume bendungan 6.200.000 meter kubik, dan ketinggian air di puncak 96 mdpl.
Dengan luas tangkapan 614 kilometer persegi, luas genangan 4.800 hektare, dan kapasitas pelimpah 5.450 meter kubik per detik, terciptalah PLTA Kedungombo yang dikelola PLN Indonesia Power. Dengan kapasitas terpasang22,5 MW dan mampu memproduksi tahunan80.000 MWh.
Yusep Muslih Purwana pada Pre-evaluation of Kedung Ombo Dam safety based on probabilistic seismic hazard analysis, menyimpulkan bahwa; berdasarkan data gempa terkini, percepatan tanah puncak Bendungan Kedung Ombo untuk periode ulang 500; 2500; dan 10.000 tahun berturut-turut adalah 0,23 g; 0,36 g; dan 0,50 g.
Lalu, berdasarkan proses deagregasi, kontribusi gempa yang paling berpengaruh adalah gempa dengan magnitudo 5,78 – 6,7 (Mw) yang berada pada jarak 22 hingga 44 km dari bendungan.
Pembangunanisme, diakui atau tidak, sangat berimbas pada diubahnya pola kehidupan manusia. Seperti Transmigasi Bedol Desa, yang telah memaksa ribuan orang dihilangkan lahannya.
Mereka pun harus mencari hdup yang baru, di tempat yang baru.*