Pulang

Budaya & Seni

April 26, 2023

Jon Afrizal

AKU tiba di kampung ini tepat ketika adzan magrib berkumandang. Kali pertama setelah lima belas tahun berlalu. Terlihat banyak orang dengan beragam usia memasuki pintu depan masjid itu. Pintu yang dulu sering ku lalui.

Seorang kenalan menepuk pundakku, sambil mengajakku ke sana. Ku ikuti langkahnya dengan rasa terpaksa. Biarlah, kataku, anggap saja bersosialisasi.

Masjid ini sekarang sangat terang benderang dengan lampu gantungnya. Dengan beberapa unit kipas angin di keempat dindingnya, hilang lah hawa panas seperti yang aku dan kanak-kanak lain rasakan, puluhan tahun lalu.

Tetap sama, muadzin kecil mengumandangkan adzan. Aku masih duduk. Enggan beranjak dari shaf ketiga di masjid itu.

Lalu qamat bergema. Aku beringsut ke shaf terdepan. Dia, imam itu, adalah guru mengaji bagi aku dan adik-adikku serta teman-teman lainnya di masjid ini. Biasanya kami mengaji setelah selesai shalat magrib hingga sebelum shalat isya.

Tiga rakaat yang sangat panjang bagiku. Aku tak pernah lagi ke masjid manapun ketika berada di perantauan. Kota yang sangat sibuk dengan keabsurditasannya. Bahkan shalat pun tak sempat?

Sementara terdengar anak-anak melantunkan ayat-ayat suci. Tepat sekali, mereka dipandu oleh imam itu yang semakin terlihat tua saja.

Tetap duduk di dalam masjid adalah pilihan terbaik. Bertegur sapa dengan kawan-kawan lama. Hanya beberapa saja dari sekian banyak teman-teman masa kecilku yang ada di masjid ini.

Aku hanya sesekali menimpali percakapan. Mataku tertuju pada dua buah hiasan dinding berbentuk oval yang terbuat dari kayu. Ada lafaz bertulisan Arab yang terdiri dari kata “Allah” dan “Muhammad” pada masing-masingnya.

Aku yang membuat hiasan dinding itu. Ku ingat lagi, mungkin waktu itu usiaku 12 tahun.

Ajaib sekali. Hiasan dinding itu hingga kini masih tergantung di sisi kiri dan kanan mihrab.

Tak satu pun pembicaraan yang mengarah kepada sepasang hiasan dinding itu. Tidak juga aku untuk memulainya.

Lalu adzan isya berkumandang. Shalat jamaah kami lakukan bersama. Ditutup dengan amiin.

Kami pun meninggalkan masjid untuk pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, ibuku rupanya telah menyiapkan makan malam. Aku dan ayah kemudian duduk di meja makan. Hanya bertiga.

Makan dengan diam. Selanjutnya berkumpul di ruang keluarga. Duduk bertiga saja membuatku sangat canggung. Pembicaraan pun hanya berkutat pada pekerjaanku, lalu pertanyaan dari ibu tentang apakah aku sudah memiliki calon pendamping hidup. Aku mengiyakan sambil lalu saja.

Tapi entahlah. Pikiranku masih dipaksa untuk mengingat hiasan dinding di masjid tadi. Tentang betapa cintaku ku serahkan sepenuhnya untuk memahat kedua kata-kata itu. Dulu.

Sewaktu itu di dekat rumah kami terdapat bangsal kayu. Di sana lah aku membelinya. Kayunya ku pilih yang sangat bagus sekali. Tukang kayu di sana, yang kebetulan aku kenal, telah memotong kayu itu sesuai yang ku inginkan, berbentuk oval. Lalu sepasang kayu itu dihaluskan agar terlihat menarik.

Berapa harganya pun aku lupa. Tapi yang ku ingat, tukang kayu itu memberikan kepadaku secangkir kopi hitam yang masih panas sebagai bonus untukku. Sedapnya.

Butuh waktu sekitar tiga atau empat hari untuk membuatnya. Aku belajar cara memahat dari seorang guru di sekolahku. Aku mengerjakannya sangat hati-hati sekali. Dimulai dengan menulis aksara Arab di permukaannya.

Masih ku ingat, aku mengerjakannya sehabis pulang sekolah. Dalam proses pembuatannya pun cukup istimewa. Ayahku berkata, bahwa yang hendak dipahat itu adalah nama sang pencipta dan penyampai wahyunya, kedua nama yang disucikan menurut agama kami.

Sehingga aku diwajibkan berwudhu sebelum memulai pekerjaan. Aku pun mengikutinya tanpa membantah. Maka, aku mengerjakannya dalam keadaan yang suci. Jika wudhu ku batal, kata ayah, aku pun harus berwudhu lagi.

Kenangan-kenangan itu kini seakan nyata tergambar layaknya film layar lebar di langit-langit kamar ini. Nyata sekali. Aku tak bisa tidur dibuatnya.

Hiasan itu memang indah, menurutku. Lafaznya yang timbul berwarna hitam, diikuti warna asli kayu di sekelilingnya.

Oh ya, harus ku katakan bahwa pembuatan sepasang hiasan dinding itu adalah murni ide-ku. Setelah selesai, ku berikan hiasan itu kepada guru mengajiku.

Ku ingat, ia tersenyum waktu itu. Ia mengusap kepalaku sembari membaca do’a-do’a berbahasa Arab. Agar aku selamat dunia dan akhirat.

Kami berdua, sore itu, lalu menggantungkannya di sisi kiri dan kanan mihrab di masjid itu. Tepat pada posisi saat ini dimana hiasan itu tergantung.

Aku memang diistimewakan oleh guru mengajiku. Baik sebelum ataupun sesudah pembuatan hiasan itu. Tentu saja, aku jagoan dalam melantunkan ayat-ayat suci. Tidak itu saja, aku sangat tertarik untuk mempelajari sejarah agama yang aku anut ini.

Jika ada perayaan hari besar agama, maka aku akan dengan sangat anggun membaca al-Qur’an di hadapan para undangan yang berada di masjid kampung kami.

Lalu para tamu akan bergumam, dia adalah anak si bapak itu, suatu saat dia akan menjadi pemuka agama, dan sebagainya.

Ternyata nasib berkata beda. Aku merantau ke kota lain setelah tamat sekolah. Atmosfir lain melingkupi diriku. Aku mulai mengenal kehidupan yang sebelumnya tak ku alami.

Pertama, minuman keras. Selanjutnya, tak perlu lah ku jabarkan di sini. Dalam kondisi mabuk secara rutin, aku mulai ketinggalan untuk melaksanakan shalat. Ini terjadi terus menerus, sehingga hilang takutku untuk tidak shalat.

Ditambah lagi pekerjaanku yang tidak menentu, dengan penghasilan tidak menentu pula. Tapi selalu ada uang untuk mabuk. Lalu aku pun tak pernah lagi ke masjid.

Bahkan, ini sungguh gila, aku pernah tertidur pulas di kamar kos ku di saat shalat hari raya diadakan. Oh, aku terlalu mabuk malam itu.

Berbagai kenangan meloncat silih berganti di pikiranku. Jantungku pun berdegub kencang. Keringat bercucuran di kepalaku kendati kipas angin berputar kencang ke arah ku.

Pukul tiga dini hari. Ku dengar lamat-lamat suara ayah yang sedang membaca kitab suci di ruang shalat. Ya, aku ingat ayat-ayat itu, kisah tentang burung ababil.

Sungguh betapa jauh waktu terbentang, dan malam ini aku diingatkan lagi akan kisah itu. Tidak, bahkan aku tidak bisa lagi membaca tulisan berhuruf Arab.

Seperti ada dorongan untuk terus mengikuti suara ayahku. Rasa bersalah mulai menjalari seluruh pori-poriku. Apa ini semua? Aku ingin minum alkohol, bahkan untuk satu teguk saja. Agar hilang rasa tertekan ini.

Pertarungan antara pikiran dan nurani pun terjadi. Jam di dinding semakin keras detaknya. Malam semakin panas. Ku buka bajuku. Gerah sekali.

Ku tutup kedua belah kupingku dengan bantal. Mataku ku pejamkan. Tapi suara itu, hiasan dinding itu, guru mengajiku, masjid, dan gumaman tamu-tamu di perayaan hari besar agama, silih berganti, datang dan pergi untuk selanjutnya datang lagi di pikiranku.

Akalku membela diri. Bukankah tadi aku sudah shalat magrib dan isya berjamaah di masjid? Itu tidak cukup. Tidak cukup. Nuraniku berkata.

Ku atur nafasku. Masih terngiang kata-kata, tidak cukup, tidak cukup, tidak cukup.

“Aaaaaaaaaa!!!!!!” Tanpa ku sadari aku berteriak. Keras sekali. Cukup untuk membuat ayah membuka pintu kamarku yang tidak terkunci ini.

Aku mengatakan terbangun karena mimpi buruk. Lalu, seperti waktu kecil dulu, ayah menyarankan aku untuk shalat malam.

Ku lihat ayah sangat tua sekali. Berkeriput dan bungkuk. Tidakkah nanti aku akan demikian juga. Atau, mungkin aku tidak akan melewati masa itu karena keburu masuk liang lahat.

Aku semakin dicekam rasa takut. Mati. Tanpa sempat bertobat. Neraka. Tanpa pintu menuju surga. Abadi di sana.

Lalu, ku kumpulkan seluruh rasa takut itu untuk berjalan ke kamar mandi. Mandi taubat. Tuhan, aku lupa niatnya. Maka ku gunakan saja bahasa ibuku. Lalu, berwudhu.

Menetes air mataku saat shalat malam ku lakukan. Tertunduk malu saat berdoa. Tapi ada rasa lega setelah itu semua. Rasa yang tak pernah ada sejak belasan tahun lalu.

Sayup-sayup terdengar adzan subuh dari masjid tempat seluruh peristiwa ini berasal. Ku tuntun ayahku menuju masjid itu untuk shalat bersama.

Di dalam masjid ku lihat jamaah telah berkumpul. Ku mulai shalat sunat. Tidak. Lagi-lagi, aku lupa niatnya.

Setelah shalat sunat, sambil menunggu shalat subuh berjamaah, mataku tak sengaja melihat sepasang hiasan dinding itu. Bersinar terang sekali. Tapi lembut terasa di jiwa. Tuhan, aku pulang. *

Cerita pendek (cerpen) ini pertama kali diterbitkan di puan.co.

avatar

Redaksi