Izin Baru; Hutan Ditebang Untuk HTE

Lingkungan & Krisis Iklim

May 17, 2024

Jon Afrizal/Kota Jambi

Pompa Jungkit di Kenali Asam, Kota Jambi. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

INDONESIA, seperti sama-sama dimahfumi, memiliki target Nationally Determined Contribution (NDC) penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen pada tahun 2030, atau setara dengan 834 juta ton CO2e. Dan, hingga angka 41 persen dengan dukungan internasional.

Mengutip siaran pers menlhk  tertanggal 28 Januari 2021, khusus untuk sektor energi, targetnya adalah pengurangan karbon sebesar 314 juta ton CO2e. Angka ini dibagi menjadi; energi efisiensi sebesar 41,76 juta ton CO2e, energi baru terbarukan (EBT) 183,66 juta ton CO2e, energi bersih 74,00 juta ton CO2e, fuel switching 9,59 juta ton CO2e, dan agriculture, forestry and other land use (AFOLU) 5,00 juta ton CO2e.

Terkait upaya mendorong Hutan Tanaman Industri untuk bioenergy (HTE), pemanfaatan jasa lingkungan air untuk teknologi mikrohidro, pemanfaatan sampah menjadi energi listrik, dan pemanfaatan panas bumi atau geothermal, maka kawasan hutan seluas 6,91 juta hektare rencanya akan dilepaskan.

Yakni melaui kebijakan dan regulasi usaha pengembangan hutan tanaman energi. Yaitu Peraturan Menteri LHK nomor 62 tahun 2019 dan nomor 11 tahun 2020.

Sehingga Kementerian LHK telah menyusun nota kesepahaman dengan Kementerian ESDM tentang pengembangan EBT di kawasan hutan. Dengan penerapan sistem agroforestry pada hutan tanaman, yang bertujuan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan dan energi.

“Realisasi HTE hingga 2020 pada 13 perkebunan adalah seluas 8.848 hektare,” kata Kepala Pusat Kebijakan Strategis KLHK Herry Subagiadi, mengutip forestdigest.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Dwisuryo Indroyono Soesilo mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) dan Kadin Indonesia telah melakukan kajian dan perhitungan teknis terkait kondisi ini.

“Area hutan produksi yang sudah dialokasikan sebagai HTE di Indonesia mencapai 1,3 juta hektare. Sebanyak 32 unit bisnis telah siap untuk mengusahakannya,” katanya, mengutip indonesia.go.id.

Business as usual, Wakil Ketua Kadin Pusat bidang Industri Bobby Gafur Umar, menambahkan, areal HTE masih sangat mungkin diperluas untuk menampung investasi, yang mencapai USD 52,1 miliar, dalam waktu dekat.

Menurutnya, dengan skema HTE, maka Indonesia mampu menghasilkan listrik sebesar 32,6 GW (gigawatt), dan mampu menyerap 12 juta orang tenaga kerja.

Dengan pengembangan lebih lanjut, HTE ini mampu menghasilkan produk 60 juta ton wood chip dan pellet, atau material lainnya untuk pembangkit listrik biomassa, yang dapat diekspor ke berbagai negara.

“Dengan nilai per tahun dapat mencapai IDR 90 triliun per tahun,” kata Bobby.

Sehingga, jika ini terwujud, maka Indonesia berpotensi menjadi pusat energi biomassa dunia.

Penggunaan biomassa di Indonesia telah dilakuakn oleh PT PLN (Persero), dalam skala terbatas. Yakni dengan cara co-firing. Co-firing adalah mencampurkan biomassa (pellet atau wood chip) ke dalam tungku pembakaran batu bara.

Terhitung hingga tahun 2021, sebanyak 17 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PLN telah dilibatkan dalam co-firing. Sekitar 570 ribu ton biomassa digunakan dan menghasilkan tenaga listrik dengan energi hijau yang setara dengan pembangkit listrik berukuran 189 Megawatt (MW).

Program co-firing itu akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan oleh PLN, untuk meraih target bauran energi 23 persen di 2025. Saat ini bauran energi PLN baru mencapai 11,5 persen, artinya baru 11,5 persen dari energi terbarukan.

Selebihnya masih mengandalkan energi fosil batu bara serta minyak bumi.

Regulasi dan kebijakan terus berjalan seiring, ehm, perubahan jaman. Kementrian LHK mengeluarkan Peraturan Menteri LHK nomor 8 tahun 2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi.

“Pembangunan HTE akan menyasar pada ketersediaan kawasan hutan. Sehingga mengancam eksistensi hutan alam,” kata Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI).

Berdasarkan sebaran perusahaan HTI yang implementasi dan berkomitmen untuk melakukan pembangunan HTE, terdapat 14 provinsi di luar Pulau Jawa.

Tiga provinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dibawah kelola Perum Perhutani. Berdasarkan tahun penerbitan izin pada perusahaan HTI ini, terbagi dalam rentang tahun 1997 sampai tahun 2020.

Pasca pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja, melalui perangkat kebijakan yang ada seperti Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2020 dan Peraturan Menteri LHK nomor 8 tahun 2021, maka keseluruhan perusahaan dapat melakukan pengajuan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi (BPPH) berupa Hasil Hutan Kayu dari Hutan Tanaman.

“Multiusaha, kemudahan perizinan, dan kebijakan transisi energi menjadi momen bagi perusahaan HTI untuk melakukan transformasi perizinan,” katanya.

Data FWI menyebutkan, dari status perizinan ke-31 perusahaan HTI yang melakukan PBPH, terdapat delapan izin dalam status dicabut, dan tiga dalam proses dievaluasi.

Sementara, berdasarkan perhitungan deforestasi selama periode 2017 sampai 2021, terdapat tiga perusahaan yang getol melakukan deforestasi hutan alam. Yakni PT Selaras Inti Semesta (SIS) di Provinsi Papua, PT Korintiga Hutani di Provinsi Kalimantan Tengah, dan PT Hijau Arta Nusa di Provinsi Jambi. 

PT Selaras Inti Semesta melakukan deforestasi terbesar, Yakni seluas 17.995 hekatre.

Ternyata, program transisi energi melalui HTE tak luput dari pelepasan emisi yang berasal dari deforestasi.

Analisa FWI terhadap 13 perusahaan HTI yang implementasi melakukan usaha tanaman energi, menunjukan deforestasi hutan alam sebesar 55.000 hektare di dalam konsesi mereka selama kurun waktu 2017 hingga 2021.

“HTE belum jadi cara yang tepat untuk mengurangi emisi,” katanya.

Sebab, nilai emisi jika dikonversi sesuai faktor emisi di setiap provinsi akan menghasilkan angka pelepasan emisi sebesar 24 juta giga ton. Selain itu, deforestasi yang ditimbulkan akibat pembangunan HTE tidak sebanding dengan hilangya fungsi hutan alam yang dikonversi.

Kerugian ini pun, belum termasuk kerugian dari hilangnya fungsi hutan sebagai iklim mikro, konservasi air dan tanah, habitat satwa dan flora, dan nilai pengetahuan yang hilang.*

avatar

Redaksi