Ekonomi Biru; Mengapa Nelayan Tetap Miskin?

Ekonomi & Bisnis

May 15, 2024

Jon Afrizal

Kesibukan ekspors perikanan laut di Kuala Betara, Tanjungjabung Barat. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

SEKITAR 14 tahun lalu, Gunter Pauli menulis buku The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs. Buku ini menjadi model teori yang tengah diterapkan banyak negara pada saat ini dan, mungkin, selanjutnya.

Blue Economy (ekonomi biru) adalah model bisnis yang akan mengubah masyarakat dari kelangkaan menjadi kelimpahan dengan apa yang tersedia secara lokal. Tentunya dengan mengatasi persoalan yang menjadi penyebab keerusakan lingkungan dan masalah yang terkait, dengan cara baru.

Blue Economy lebih menyoroti manfaat potensial dalam menghubungkan dan menggabungkan permasalahan lingkungan. Solusi yang diberikan Blue Economy  tampak jauh berbeda dengan solusi ilmiah sumber terbuka lainnya.

Model ini dinyatakan berdasarkan proses fisik yang umum terjadi di alam. Dengan tujuan untuk menciptakan solusi yang bermanfaat bagi lingkungan dan memiliki manfaat finansial dan sosial yang lebih luas.

Sehingga cara yang selama ini digunakn dalam menjalankan proses industri dan mengatasi masalah lingkungan yang diakibatkannya harus diubah. Tentunya dengan memfokuskan kembali penggunaan sumber daya yang langka dan berbiaya energi tinggi untuk mencari solusi berdasarkan teknologi yang lebih sederhana dan lebih bersih.

Yakni dengan berfokus pada penciptaan nilai lebih. Ini lebih baik ketimbang memotong biaya secara membabi buta.

Model ini pun memberikan inspirasi bagi banyak wirausaha untuk mengadopsi wawasannya. Dengan menunjukkan bagaimana hal ini dapat menciptakan manfaat ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja, pengurangan penggunaan energi, dan lebih banyak aliran pendapatan dari setiap langkah proses, sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat yang terlibat.

Gunter Pauli adalah pengusaha, ekonom dan penulis buku. Ia juga pendiri Zero Emissions Research Initiative (ZERI), pada tahun 1994. Lembaga yang bertujuan untuk merancang model bisnis baru yang dapat beroperasi tanpa menghasilkan emisi atau limbah.

Ekonomi Biru berusaha untuk menerapkan logika ekosistem. Yakni ekosistem yang menuju tingkat efisiensi yang lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah. Dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua kontributor dalam suatu sistem.

Sehingga inovasi dan kreativitas yang meliputi keragaman produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya harus dilakukan.

Limbah keluaran dari kegiatan perikanan harus berada dalam kondisi yang tidak mencemari lingkungan tanah maupun perairan umum. Baik dari limbah kimia maupun limbah organik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada habitat dan kehidupan ekosistem.

Sehingga, tentu saja, diperlukan ilmu dan teknologi dalam persoalan limbah.

Di Indonesia, Ekonomi Biru harus terintegrasi dengan program industrialisasi perikanan. Agar dapat memajukan sektor perikanan yang ada. Sebab, ini adalah program menangkap  ikan yang terorganisir.

Sejak diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut melalui Undang-Undang nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan konvensi PBB, maka kebijakan pembangunan ekonomi kelautan harus dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional.

Ekonomi Biru selalu dikaitkan dengan pengembangan wilayah pesisir. Dimana konsep ini berfokus kepada negara berkembang yang memiliki wilayah laut, atau Small Island Development States (SIDS).

Tetapi, Ekonomi Biru juga harus menyasar pada penanggulangan masalah kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan biota laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di wilayah pesisir, serta mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim.

Badan Pusat Statistik (BPS) dan ITC Trademap mencatat nilai ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun 2021 mencapai USD 4,06 miliar atau tumbuh positif 6,92 persen dibandingkan pada 2020.

Mengutip indonesia.go.id,  Kementerian Perdagangan mencatat, udang beku masih menjadi komoditas unggulan dengan nilai ekspor mencapai USD 1,53 miliar atau sebesar 37,72 persen pada 2021. Selanjtnya, adalah kelompok cumi, sotong, dan gurita dengan nilai USD 492,64 juta atau sebesar 12,14 persen. Seterusnya, adalah tuna senilai USD 323,08 juta, rumput laut USD 219,11 juta, dan ikan beku USD 194,13 juta.

Negara tujuan ekspor komoditas perikanan di antaranya Amerika Serikat (AS) yang membukukan transaksi sebesar USD 1,49 miliar atau 36,61 persen dari total nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke dunia. Lalu RRT sebesar USD 878,87 juta (21,67 persen), dan Jepang USD 440,14 juta (10,85 persen). Serta negara-negara ASEAN, seperti Vietnam USD 149,98 juta (3,70 persen), Malaysia USD 123,19 juta (3,04 persen), dan Singapura USD 87,476 juta (2,16 persen).

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mentargetkan nilai ekspor hasil perikanan meningkat mencapai USD 7,13 miliar pada 2022, seiring dimasifkannya pelaksanaan program terobosan. KKP juga akan menggelontorkan sejumlah bantuan guna mendorong produktivitas pelaku utama sektor kelautan dan perikanan.

Pada 2022, terjadi perubahan tata kelola khususnya di bidang perikanan tangkap dengan dijalankannya kebijakan penangkapan terukur di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Dimana aktivitas penangkapan ikan akan diatur dalam sistem kuota dan zonasi penangkapan.

Perbaikan tata kelola ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam perikanan dan kegiatan di ruang laut. Hingga 31 Desember 2021, PNBP KKP tercatat sekitar IDR 1,1 triliun.

Mengutip worldbank, dalam Oceans for Prosperity Reforms for a Blue Economy in Indonesia, dengan sektor perikanan senilai USD 27 miliar, Indonesia telah menghidupi 7 juta tenaga kerja, dan mememenuhi lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani di Indonesia.

Tetapi, sekitar 38 persen dari ikan ditangkap melebihi kemampuan ekosistem untuk mengembalikan jumahnya (overfishing), sekitar sepertiga dari terumbu karang yang berharga bagi Indonesia berada dalam kondisi kurang baik, ekosistem pesisir yang penting, seperti mangrove, mengalami pengurangan yang besar.  

Sementara itu, sampah laut menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia senilai lebih dari USD 450 juta setiap tahunnya.

Faktanya, kemiskinan tetap melilit para nelayan penangkap ikan di Indonesia.

Masyhuri Imron, peneliti pada Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, dalam penelitiannya berjudul Kemiskinan Dalam Masyarakat Nelayan menyebutkan, kemiskinan yang dialami nelayan sangat multidimensional. Sebab pendapatan mereka telah berada di atas batas garis kemiskinan, yang oleh sementara ahli diukur menurut standard kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi.

Tetapi, nelayan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan dengan membandingkannya dengan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya.

Pada umumnya para nelayan masih mengalami keterbatasan teknologi penangkapan. Dengan alat tangkap yang sederhana, wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan pantai saja.

Selain itu juga ketergantungan terhadap musim sangat tinggi. Sehingga tidak setiap saat nelayan dapat turun melaut, terutama pada musim ombak, yang kadang berlangsung sampai lebih dari satu bulan.

Akibatnya, selain hasil tangkapan menjadi terbatas, dengan kesederhanaan alat tangkap yang dimiliki, pada musim tertentu tidak ada hasil tangkapan yang mereka peroleh. Kondisi ini merugikan nelayan, karena secara riil rata-rata pendapatan per bulan menjadi lebih kecil, dan pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi pada saat paceklik.

Ketergantungan pada tengkulak merupakan permasalahan lain yang dihadapi oleh nelayan. Sehingga bargaining position (posisi tawar) mereka pun sangat rendah. Akibatnya, hasil tangkapan yang dijual oleh nelayan juga dihargai lebih rendah daripada harga pasar. Dengan demikian pendapatan yang diterima oleh nelayan juga rendah.

Walaupun di beberapa tempat sudah ada Tempat Penjualan Ikan (TPI) untuk mengkatrol harga ikan, namun dalam prakteknya keberadaan TPI justru banyak yang menjadi beban nelayan. Karena pungutan retribusi yang dilakukannya, padahal lelang tidak berjalan.*

avatar

Redaksi