Buaya; Saudara Di Sungai
Lingkungan & Krisis Iklim
April 29, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
Sungai Batanghari. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
“Puang ri Sompé punya seorang anak bernama Tomaruli. Tomaruli memiliki sebelas anak. Salah satunya bernama ratu ri Parung, yang masuk ke dalam air dan menjadi buaya.” (Lontaraq Sawitto)
ORANG Bugis-Makassar umumnya bermukim di wilayah pesisir timur Provinsi Jambi, yakni Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur. Sama seperti perantau lainnya, masyarakat Bugis-Makassar juga membawa budayanya ke sini.
Termasuk juga kedekatan mereka dengan sungai, yang kadang, cenderung mistik. Seperti hubungan manusia dengan buaya yang hidup di sungai, misalnya, yang adalah bagian dari tradisi lampau, yang harus dihormati.
Di wilayah pesisir Jambi, banyak terdengar kisah tentang orang-orangtua yang memberi makan buaya dengan nasi. Caranya, adalah dengan memberikan sejenis ketukan pada papan di teras rumah mereka yang langsung berhadapan dengan sungai, dengan tujuan memanggil buaya untuk makan.
Juga cara mereka mendayung perahu (sampan) ketika sedang berada di sungai. Dayung, sesekali akan menyentuh badan perahu. Seperti ketukan yang berirama dan konstan, sebagai penanda bagi buaya bahwa manusia sedang melintasi sungai.
Bahkan, juga terdengar kisah seorang ibu melahirkan seekor buaya. Dan setelah lahir, ia memperlakukan buaya itu layaknya anaknya sendiri.
Cerita dan kisah ini, sebenarnya, dapat dirujuk melalui epos sastra Sureq I La Galigo, yang telah ada bahkan sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan. Dalam naskah sastra kuno ini, banyak ditemui bahasan soal hubungan manusia dan buaya.
Berdasarkan epos sastra ini dapat dicermati bahwa kosmogoni orang Bugis adalah bahwa alam raya terdiri dari tiga lapis. Yakni Botting Langi (langit), Buri Liung (bawah laut) dan Ale Lino (dunia tengah).
Botting Langi (langit) dan Buri Liung dihuni oleh para dewa dan dewi. Selanjutnya, dewi dari Botting Langi dan dewa dari Buri Liung pun bertemu. Pertemuan itu, kemudian, melahirkan manusia. Manusia bermukim di Ale Lino (dunia tengah).
“Karena itu, tugas manusia adalah menjaga keseimbangan tiga lapis alam,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Nurhayati Rahman, mengutip detik.
Dewa dan dewi dari Botting Langi dan Buri Liung, tertulis dalam Sureq I La Galigo, selalu duduk di punggung buaya ketika muncul ke bumi.
Masyarakat Bugis-Makassar, katanya, juga meyakini bahwa ia adalah bagian dari apa yang berasal dari langit dan bawah laut. Juga termasuk buaya, yang diyakini sebagai keturunan dan kembarannya.
“Setiap manusia yang lahir di dunia ini memiliki kembarannya. Pada umumnya mereka menganggap kembarannya adalah buaya,” katanya.
Masyarakat Bugis-Makassar sangat menghormati buaya yang disebut sebagai sang pemilik air. Dalam bahasa Bugis disebut Punnae Wae, dan dalam bahasa Makassar disebut Patanna Jene.
Bahkan, jika buaya memiliki lima jari, maka diyakini buaya itu adalah buaya keturunan manusia.
Masyarakat Bugis-Makasssar meyakini bahwa manusia tidak terlahir sendirian ke dunia, melainkan kembar. Dan ketika proses persalinan seorang ibu dimana terjadi pecah air ketuban, maka diyakini air itu keluar bersama dengan kembaran buaya dari si anak yang akan dilahirkannya.
Sureq I La Galigo cenderung dipandang sebagai naskah epos mitos terciptanya peradaban Bugis. Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Taufik Ahmad, melihat relasi buaya-manusia sebagai konstruksi sosial orang Bugis dalam memandang relasi manusia dengan alam.
“Satu contoh, adalah nama panggilan To ri Saloq untuk buaya. Artinya adalah “orang yang tinggal di sungai,” katanya mengutip idntimes.
Malahan, katanya, orang Bugis meyakini kembaran buayanya akan selalu melindungi diri mereka. Jika orang Bugis pergi merantau, maka buaya kembarannnya akan ikut serta, dan berada di sekitarnya.*