Dari Kemiskinan Menuju Stunting Di Jambi
Daulat, Hak Asasi Manusia
March 28, 2023
Junus Nuh, Jambi
KEMISKINAN yang terjadi di Provinsi Jambi telah menyebabkan tingginya angka anak-anak penderita stunting. Pada tahun 2023 ini, Provinsi Jambi masih memiliki “kantong-kantong” kemiskinan. Seperti Kabupaten Tanjungjabung Timur, Tanjungjabung Barat dan Batanghari. Ketiganya adalah kabupaten dengan tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional (9,54 persen). Demikian menurut data dari Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Meskipun senyatanya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Jambi mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 berada di angka 69,99, dana pada tahun 2022 lalu meningkat menjadi 72,14. IPM tertinggi adalah Kota Jambi dan terendah adalah Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
“Tapi angka ini berada di bawah angka rata-rata nasional, yakni 72.91,” kata Menko PMK, Muhadjir Effendy pada lama kemenkopmk.go.id.
Persentase penduduk miskin di Provinsi Jambi pada Maret 2022, yakni sebesar 7,62 persen, atau 279,37 ribu orang. Angka ini menurun sebanyak 14,49 ribu orang dari Maret 2021.
Kemiskinan, bukanlah sebuah prestasi. Tetapi, menjadi pemicu dari efek lanjutan, yakni : stunting.
Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu panjang sehingga menyebabkan terganggunya pertumbuhan pada anak.
Menurut laman who.int, stunting adalah bagian dari malnutrisi, atau asupan gizi yang tidak tepat bagi balita. Malnutrisi mengacu pada kekurangan atau kelebihan asupan nutrisi, ketidakseimbangan nutrisi esensial atau gangguan pemanfaatan nutrisi.
Beban ganda malnutrisi terdiri dari kekurangan gizi dan kelebihan berat badan dan obesitas, serta penyakit tidak menular terkait diet. Kekurangan gizi bermanifestasi dalam empat bentuk luas: wasting, stunting, kekurangan berat badan, dan defisiensi mikronutrien.
Gejala stunting sendiri akan terlihat saat anak berusia dua tahun. Stunting merupakan parameter pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan.
Menurut data SSGI 2021, prevalensi stunting di Provinsi Jambi saat ini adalah sebesar 22,4 persen atau 67.893 balita. Angka itu berada di bawah prevalensi nasional, yakni : 24,4 persen. Namun menurut WHO, angka itu termasuk kategori tinggi.
Namun, menurut data Kementerian Kesehatan, capaian prevalensi stunting Provinsi Jambi tahun 2022, menurun dari 22,4 persen menjadi 18 persen.
Pada tahun 2023 hingga 2024, 11 kabupaten/kota di Provinsi Jambi masuk dalam “Prioritas Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem” oleh pemerintah pusat. Target nasional 2024 angka kemiskinan ekstrem berada di 0 persen, dan stunting 14 persen. Dan ketiga kabupaten yang disebut diawal tadi, yakni di Tanjung Jabung Timur, Tanjung jabung Barat dan Batanghari perlu mendapat perharian lebih.
Sejauh ini, kemiskinan adalah persoalan nyata di Provinsi Jambi. Dengan jumlah penduduk 3,64 juta jiwa menurut Dirjen Dukcapil, PAD Provinsi Jambi hanya Rp 1,780,66 miliar pada tahun 2022. Tentu saja ini adalah angka yang “kecil”untuk suatu daerah dengan keunggulan sumber daya alam; seperti kehutanan, perkebunanan dan pertambangan.
Sebagai contoh, tercatat jumlah ekspor nilai ekspor luar negeri non migas Provinsi Jambi
pada triwulan II 2022 tercatat US$ 389,16 juta menurut data BPS. Sementara tingkat garis kemiskinan yang merupakan dasar penentuan pengelompokkan penduduk miskin pada Maret 2022 berada pada angka Rp 545.870 per kapita per bulan.
Kemiskinan bukanlah persoalan beberapa hari saja. Tapi telah menjadi persoalan menahun.
Satu dari beberapa penyebabnya, adalah, tindak pidana korupsi. Provinsi Jambi tercatat sebagai provinsi dengan kepala daerah dan wakil rakyat yang “tertangkap basah” oleh KPK pada bulan September 2018 lalu, dengan nilai gratifikasi sebesar Rp 49 miliar. Dan hingga hari ini, sidang lanjutan masih dilakukan.
Sementara tata kelola sumber daya alam, seperti kehutanan, misalnya, pun “baru sembuh dari sakit” setelah puluhan tahun didera illegal logging, dan terselamatkan pada medio 2000-an melalui program anti illegal logging dari pemerintah.
Begitu juga dengan sektor perkebunan, yang merupakan lanjutan dari kerusakan hutan.
Kini, sektor pertambangan, seperti batu bara dan emas, misalnya, telah pula menjadi “penyumbang angka kemiskinan”. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk menjadi tenaga ahli di bidang pertambangan, adalah penyebab dari kemiskinan itu sendiri.
Pun dengan sistem otonomi daerah yang menyebabkan pemerintah provinsi seolah “tak punya wilayah” di kabupaten/kota. Sehingga pengelolaan dan pengawasan tidak berlangsung sebagaimana mestinya.
Termasuk juga ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat, seperti dari segi pembiayaan, misalnya. Sehingga membuat sebuah daerah yang tidak dapat mandiri.
Akumulasi dari sekian banyak carut marut itu, maka yang terjadi adalah kemiskinan yang belum terentaskan.
Meskipun, harus diakui, Kabupaten Tanjungjabung Timur adalah kabupaten pemekaran dari Tanjung Jabung, tetapi, ibukota tempat asal kabupaten itu, yang sekarang menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Barat juga termasuk kabupaten berpenduduk miskin. Sementara Kabupaten Batanghari, yang telah lama ada,dan kemudian dimekarkan pun terdata sebagai kabupaten dengan penduduk miskin.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi, Sudirman menegaskan bahwa percepatan penurunan stunting di Provinsi Jambi harus mencapai angka 12 persen.
“Telah dibentuk tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) tingkat Provinsi Jambi, kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan/desa, dan tim pendamping keluarga serta tim Audit Kasus Stunting di setiap kabupaten/kota yang terdiri dari para pakar dan ahli,” demikian ia mengungkan terkait strategi yang dilakukan.
Tetapi, mari kembali ke persoalan awal, yakni kemiskinan, yang telah menyebabkan kurangnya asupan gizi pada masa-masa awal pertumbuhan anak.
Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono pada laman sehatnegeriku.kemkes.go.id menyatakan seorang anak yang kurang gizi akan mengalami hambatan perkembangan kognitif dan kegagalan pendidikan sehingga berakibat pada rendahnya tingkat produktivitas di masa dewasa.
“Kurang gizi yang dialami saat awal kehidupan juga akan berdampak pada peningkatan risiko gangguan metabolik yang berujung pada kejadian penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, penyakit jantung, dan penyakit lainnya saat memasuki usia dewasa,” katanya.
Jika penduduk suatu bangsa memperoleh gizi yang cukup sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, maka, menurutnya, “Akan terlahir penduduk yang memiliki kualitas yang baik, dan sumber daya manusia yang berkualitas ini merupakan unsur utama dalam pembangunan suatu bangsa.”
Kondisi ini yang harus diperbaiki, untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia Provinsi Jambi di masyarakat global saat ini. Jika tidak, maka ketertinggalan telah menunggu di depan mata. *