Boikot, Praktek Perbaikan Anti Kekerasan

Ekonomi & Bisnis

November 13, 2023

Astro Dirjo

(: revealnews)

BOIKOT adalah seruan yang kerap mengisi keseharian kita, sejak beberapa tahun terakhir ini. Terutama jika itu menyangkut perang Palestina – Israel.

Berawal dari kisah Kapten Charles C. Boycott seorang agen tanah di County Mayo, Irlandia pada tahun 1880, yang menolak menyesuaikan harga sewa dari para petani penyewa pada masa Perang Tanah. Dari nama itu, Boycott, yang dalam bahasa Inggris adalah kata benda (noun) dan kata kerja (verb), seruan itu berasal.

Boikot adalah seruan bersama, dan tidak dapat dilakukan seorang diri. Menurut law-cornell-edu, boikot adalah penolakan untuk bertransaksi atau berdagang. Boikot sendiri adalah istilah yang paling sering dirujuk dalam konteks undang-undang anti-monopoli.

Menurut newworldencyclopedia, boikot berarti tidak menggunakan, membeli, atau berurusan dengan seseorang atau organisasi sebagai ekspresi protes atau sebagai alat pemaksaan ekonomi untuk mencapai keadilan.

Sehingga boikot berfungsi sebagai taktik anti kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu, dan dapat mempunyai makna simbolis untuk membawa perbaikan. Boikot berhasil digunakan di banyak tempat pada abad ke-20, sehingga memajukan perjuangan hak asasi manusia di seluruh dunia.

Sama seperti kisah tindakan tuan tanah Boycott itu, maka Liga Tanah Irlandia berpendapat; ketimbang melakukan kekerasan, adalah lebih baik agar semua orang di wilayah tersebut tidak berurusan dengan tuan tanah Boycott. Sehingga, masyarakat pun mengucilkan tuan tanah Boycott.

Para pekerjanya berhenti bekerja di ladang, di kandang, dan di rumahnya. Pengusaha lokal berhenti berdagang dengannya, dan tukang pos setempat menolak mengantarakan surat untuknya.

Akibat dari pengucilan yang terorganisir itu, Boycott tidak lagi menjadi tuan tanah, dan pulang ke Inggris pada 1 Desember 1880.

Kata boikot (: boycott) pertama kali digunakan oleh surat kabar The Times di London pada tanggal 20 November 1880 sebagai istilah isolasi terorganisir.

Sejatinya, praktek boikot adalah perjuangan hak-hak sipil. Memilih untuk tidak membeli produk- produk yang produsennya mendukung penindasan terhadap hak-hak sipil. Tindakan ini dikenal juga dengan istilah “Boikot Konsumen”.

Secara praktek Boikot, terbagi menjadi dua. “Boikot Primer” adalah tindakan yang melibatkan karyawan untuk menolak membeli barang atau jasa dari produsen. Sedangkan “Boikot Sekunder” adalah upaya untuk meyakinkan orang lain atau pihak ketiga agar menolak membeli dari produsen itu.

Praktek non kekerasan yang terorganisir ini pernah menimpa produsen susu bubuk Nestlé yang berbasis di Swiss. Nestlé menghadapi boikot dari warga Amerika dimulai sejak tanggal 4 Juli 1977. Tanggal 4 Juli yang dipilih, adalah Hari Kemerdekaan Amerika, sebagai hari pembebasan Amerika dari Perang Saudara (civil war) akibat praktek perbudakan.

Berawal dari New Internationalist pada tahun 1973, dan dalam sebuah buklet berjudul The Baby Killer  yang diterbitkan oleh War On Want pada tahun 1974 yang membuka strategi dagang Nestlé. Perusahaan ini melakukan metode yang tidak etis untuk mempromosikan susu formula bayi ketimbang ASI kepada ibu-ibu miskin di negara-negara Dunia Ketiga.

Bekerjasama dengan pihak rumah sakit, sampel susu formula bubuk diberikan secara gratis kepada ibu-ibu yang melahirkan. Setelah keluar dari rumah sakit, para ibu itu tidak bisa lagi memproduksi ASI karena adanya penggantian susu formula dengan ASI.

Ini memaksa penggunaan susu formula secara terus-menerus, yang jika digunakan secara tidak tepat, seperti pengenceran yang berlebihan atau penggunaan air yang tidak murni, dapat menyebabkan malnutrisi dan penyakit. Selain itu, karena susu formula tidak lagi gratis setelah keluar dari rumah sakit, maka biaya tambahan dapat memberikan tekanan yang signifikan pada anggaran keluarga.

Aksi boikot Nestlé ini berlangsung hingga tahun 1984. Dengan melalui banyak tahapan persidangan, dan kekalahan Nestlé terhadap tuntutan masyarakat sipil. Serta melibatkan banyak orang di Amerika dan Eropa. Juga termasuk sekolah dan perguruan tinggi.

Dan memunculkan kebijakan “Pedoman Pemasaran” terhadap produk pengganti ASI di Amerika, dan selanjutnya dikembangkan oleh UNICEF.

Efek terbaik yang diharapkan adalah  membuat ibu generasi baru sadar terhadap keunggulan ASI ketimbang susu formula. Sehingga tidak termakan begitu saja dengan bujuk rayu iklan produk.

Seruan itu juga yang kini kita dengar setiap hari, selama hampir satu dekade ini. Seruan untuk memboikot produk-produk yang mendukung Israel dan kebijakannya: sejak dari pendudukan hingga pengusiran warga Palestina.

Berharap agar Nakba (: malapetaka) kemanusian ini berhenti secepatnya.*

avatar

Redaksi