Sialang Terpanggang Api; Kemana Lebah Terbang?
Lingkungan & Krisis Iklim
October 5, 2023
Jon Afrizal/Muaro Bulan, Tebo
Sebatang pohon Sialang, tempat lebah madu bersarang, yang ikut terbakar karena aksi perambahan di konsesi PT ABT. (kredit foto: Jon Afrizal/amira.co.id )
KOBARAN api telah membakar sebatang pohon Sialang. Pohon yang menjadi tempat ratu lebah dan prajurit lebah berkembang biak. Hanya sebatang pohon Sialang, tapi cukup untuk menggambarkan rusaknya siklus alami.
Koloni lebah mengumpulkan nektar dari bunga-bunga di pohon-pohon di areal restorasi ekosistem ke-14 yang dibakar perambah pada September 2023 lalu. Madu yang dihasilkan oleh koloni lebah, kemudian digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan.
Tetapi, manusia sendirilah yang menghancurkan kehidupan koloni lebah itu.
Sebagai agen penyerbukan alami, lebah berpindah dari satu pohon berbunga ke pohon berbunga yang lainnya. Pada saat mengumpulkan nektar, tubuh lebah dipenuhi serbuk sari.
Ketika lebah berpindah ke bunga di pohon yang lain, serbuk sari akan jatuh ke putik bunga, dan terjadi penyerbukan. Lalu, bunga akan mengalami pembentukan biji dan seterusnya menjadi buah.
Buah akan menjadi bibit kehidupan baru. Bibit pohon yang secara alami mendukung upaya restorasi hutan.
Kerusakan di areal restorasi ekosistem yang dibakar perambah di Dusun Muaro Bulan Desa Pemayungan Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo, pada September 2023. (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Lamanya proses produksi dari nektar menjadi madu itu, dan proses lanjutannya hingga menjadi bibit pohon baru, telah dirusak oleh manusia. Dengan kegiatan perambahan dan membakar tidak hanya sebatang pohon Sialang itu saja, tapi juga pohon-pohon berbunga di sekitarnya, karena kehendak untuk bertanam sawit.
Tindakan yang membunuh kehidupan koloni lebah yang berusaha agar ekosistem alami hutan tetap ada. Demi madu yang kemudian juga digunakan oleh manusia.
Juga demi udara bersih yang tidak hanya bermanfaat bagi paru-paru masyarakat di kawasan restorasi ekosistem itu saja. Melainkan banyak masyarakat di luar kawasan restorasi ekosistem.
Tindakan yang membunuh kehidupan manusia itu sendiri.
Sungguh, kejamnya manusia : perambah.
Karhutla yang terjadi sejak awal hingga pertengahan September 2023, merupakan perambahan demi perambahan di kawasan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai areal restorasi ekosistem sekaligus buffer zone Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).
Pada akhir September 2023, tim terpadu telah disibukkan untuk memadamkan api yang membakar puluhan hektare areal hutan di blok 2 Alam Bukit Tigapuluh.
Tepat pada tanggal 3 Oktober 2023, diadakan penanaman kembali. Pohon Sialang yang terbakar menjadi saksi, bahwa masih ada manusia lain yang mau berkorban waktu, tenaga dan material. Dengan harapan, akan muncul pohon Sialang yang baru, kehidupan yang baru.
Komandan PPH PT ABT, Hendriansyah Marpaung mengatakan penanaman di areal yang dibakar oleh perambah ini adalah seluas 26 hektare. Pada tahap 1 ini akan ditanami tanaman jenis durian, jengkol, pete, dan juga tanaman hutan seperti Meranti. Dengan total bibit sebanyak 3.000 bibit.
“Pada bulan November nanti akan dilakukan penanaman tahap kedua,” katanya, Selasa (3/10).
Dari total 38.665 hektare konsesi restorasi ekosistem PT ABT, sekitar 7 persen telah diringsek oleh perambahan. Baik itu oleh perseorangan maupun dengan dukungan pemodal.
Terik sinar matahari siang itu, setelah penanaman telah dilakukan dan didukung oleh pemerintah dan aparat di tingkat Kabupaten Tebo, semuanya pulang. Meninggalkan kawasan yang baru ditanami bibit. Meninggalkan pondok perambah yang sengaja disisakan sebagai bukti bahwa alam memiliki hukum dan wajib dilaksanakan di alam.
Pondok itu, juga ikut merasakan panasnya api. Lantai pondok ikut terbakar. Alam telah memberikan peringatan hukuman kepada mereka.
Tetapi, atas nama rupiah dari penjualan TBS, mereka; perambah menghadang kami di perjalanan pulang.
Bicara banyak hal, yang seperti mengatakan bahwa mereka tidak tahu yang mereka rambah itu adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan negara. Meskipun di sekitar lokasi, banyak plakat dan spanduk yang menjelaskan tentang kawasan restorasi ekosistem ini.
Dari cara mereka berbicara, tidak terdengar logat Melayu Jambi, terlebih logat Pemayungan.
Dari mana para pendatang itu berasal? Darimana mereka tahu lokasi ini? Siapa yang membawa mereka kemari? Siapa yang menjual lahan, jika itu benar terjadi, kepada mereka?
Ibarat pohon, mereka dan tindakan perambahan hutan adalah “ranting dan kanopi”. Sebagai pohon, tentu harus ada “batang dan akar”.
Sudahkah ini dibuka seluruhnya? Supaya terlihat jelas oleh publik.
Agar lebah kembali bersarang di pohon Sialang. Agar burung-burung hinggap mencari buah, dan menjadi agen restorasi alami ekosistem di kawasan ini.*