“Merun” : Tradisi Lokal Yang Kerap Disalahkan
Budaya & Seni
October 4, 2023
Jon Afrizal
Karhutla yang disebabkan oleh pembalakan hutan pada September 2023. (photo credits : ABT)
MASYARAKAT Melayu Jambi adalah masyarakat agraris. Sehingga masyarakat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lahan dan tanamannya.
Terdapat dua jenis kebun atau ladang, secara umum, pada masyarakat Melayu Jambi. Yakni “humo” dan “talang”. “Humo” adalah kebun inti, tempat masyarakat bertanam padi ladang dan sejenisnya. Sedangkan “talang” adalah kebun sekunder, yang umumnya ditanami dengan sayur-sayuran holtikultura.
“Humo” adalah kebun yang selalu diawasi dan didatangi setiap hari. Sedangkan “talang” adalah sebaliknya, hanya sesekali didatangi, atau lebih terlihat terlantar ketimbang “humo”.
Atas dasar kedua perbedaan ini, maka “talang” lebih cenderung bersemak belukar ketimbang “humo”.
Tentunya, yang dibicarakan di sini adalah tradisi. Dimana lahan perladangan masing-masing warga ditandai dengan batas-batas alam, dan belum tentu memiliki surat perizinan sesuai ketentuan yang berlaku seperti saat ini.
Ladang atau kebun adalah diusahakan secara per keluarga. Tetapi diketahui, dan diakui oleh komunal, dengan penanda batas-batas alam seperti yang disebutkan sebelumnya.
Sehingga, jika ingin digunakan sebagai lahan pengganti “humo”, atas dasar sesuatu dan lain hal, maka “talang” harus dibersihkan ekstra keras.
Mengacu pada pola ini, masyarakat lokal pun mengenal tradisi “Merun”. Yakni tradisi membersihkan kembali atau membersihkan areal calon kebun yang baru.
Keterbatasan masyarakat lokal terhadap peralatan pertanian dan perkebunan modern, membuat masyarakat hanya menggunakan peralatan seadanya saja. Mereka menggunakan parang, cangkul, sabit dan juga api.
Sehingga pohon-pohon kecil, atau yang kini disebut hutan sekunder, dibersihkan dengan cara dibakar.
Tentunya, selain bersih, sisa bakaran tadi dapat menjadi pupuk organik bagi ladang, setelah diguyur hujan di musim penghujan.
Tradisi ini umumnya di temukan di huluan Jambi, dan juga di beberapa wilayah di bagian tengah.
Terdapat tata cara “Merun” yang masih direkam di ingatan kolektif, dan masih diterapkan oleh komunal Melayu Jambi. Masing-masing pemilik “talang” akan membersihkan lahannya dengan cara “Merun” pada awal musim tanam.
Awal musim tanam, umumnya jatuh pada penandaan awal musim penghujan. Dimana turunnya hujan masih sedikit volume-nya, ketimbang di puncak musim penghujan.
Lalu, kayu-kayu sisa tebangan ditumpuk berjajar ke atas dalam beberapa tumpukan yang saling berjauhan. Tumpukan-tumpukan kayu pun dibakar satu per satu, dan pemilik lahan menunggunya hingga seluruh tumpukan habis terbakar. Mungkin sehari, atau lebih, tergantung luasan “talang” miliknya.
Tradisi lokal ini tentu saja tidak menimbulkan karhuhtla dan polusi kabut asap. Sebab, sudah jelas, dilakukan di awal musim penghujan. Selain juga, si pemilik lahan menunggu bakaran agar tidak meluas ke lahan tetangga.
Tetapi, dengan massif-nya kejadian karhutla dan kabut asap pada setiap tahun, membuat tradisi lokal, yakni “Merun” kerap menjadi poin kesalahan. Tentu dengan alasan bahwa masyarakat juga melakukan pembakaran lahan. Padahal, yang dibakar adalah tumpukan-tumpukan kayu, dan bukan lahan.
Atas dasar itu, maka tradisi “Merun” mulai ditinggalkan masyarakat lokal. Padahal, tradisi adalah cerminan pola pikir dan perbuatan suatu kelompok masyarakat dalam satu ruang dan waktu.
Hilangnya tradisi, adalah sama dengan hilangnya sebuah komunal. *