Kalahnya Koorporasi Lalai Karhutla
Hak Asasi Manusia
October 6, 2023
Zachary Jonah/Kota Jambi
Karhutla, Kabut Asap dan fenomena Red Skies yang terjadi di Desa Mekar Sari Kecamatan Kumpe Ilir Kabupaten Muarojambi pada September 2019. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
KARHUTLA dan kabut asap selalu bikin pusing banyak pihak di setiap musim kemarau. Saking pusingnya, selalu terjadi di setiap tahun.
Di Provinsi Jambi sendiri, karhutla dan kabut asap telah dirasakan warga sejak 33 tahun lalu. Tetapi, yang bikin pusing, kok ya masih tetap terjadi hingga hari ini.
Ada yang salah, dan kita harus memperbaikinya.
Menurut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman, mengutip cnn.com, total luasan karhutla di Provinsi Jambi pada tahun 2023 mencapai 540 hektare. Yang terdiri dari lahan perusahaan dan perseorangan.
Manajer Kajian dan Pembelaan Hukum Walhi Jambi, Dwi Nanto mengatakan koorporasi telah menguasai setidaknya 70 persen dari total luasan gambut di Provinsi Jambi, yakni seluas 716.839 hektare. Karhutla terjadi berulang kali di Provinsi Jambi, katanya, tidak terlepas dari buruknya pengelolaan wilayah gambut, khususnya wilayah gambut berizin, yang dikelola oleh koorporasi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
“Kanalisasi menjadi faktor utama keringnya lahan gambut, dan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar,” katanya.
AILInst mencatat total luas karhutla di Provinsi Jambi pada 2019 adalah 157.137 hektare. Sebanyak 101.418 hektare berada di areal gambut.
Tercatat beberapa perusahaan yang di-meja hijau-kan selama beberapa tahun terakhir akibat kejadian karhutla di Provinsi Jambi.
Pada tahun 2021, PN Sengeti menjatuhkan denda senilai Rp 545 miliar kepada PT Mega Anugerah Sawit (MAS). Perkebunan ini terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kelalaian yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Denda yang diberikan pengadilan, adalah termasuk untuk pemulihan lahan yang rusak akibat kebakaran lahan seluas 1.425 hektare.
Perusahaan dituntut dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yakni pasal 99 ayat (1 ) juncto pasal 116 ayat (1).
Adapun aturan perundang-undangan yang biasanya digunakan untuk menjerat koorporasi yang arealnya terbakar adalah Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH, dan Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan.
Pada tahun 2022, WALHI menggugat PT Pesona Belantara Persada (PBP) dan PT Putra Duta Indahwood (PDI), yang arealnya terbakar. Setelah melalui proses banding ke PTUN, kedua perusahaan divonis oleh pengadilan untuk menghentikan sementara seluruh kegiatan usahanya di areal izinnya yang mengalami karhutla.
Sehingga klausal “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sesuai mandat pada pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH adalah peluang bagi masyarakat untuk memastikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Lalu, pada tahun 2023 ini, apakah akan kembali ada koorporasi yang di-meja hijau-kan atas kelalaiannya? Mari kita tunggu bersama.*