28 Petani Yang Memperjuangkan Haknya Harus Dibebaskan

Daulat

September 27, 2023

Junus Nuh/Kota Jambi

Para petani dari kabupaten-kabupaten di Provinsi Jambi tengah memperingati Hari Tani Nasional ke-63, di Telanaipura, Selasa (26/9). (photo credits : Junus Nuh/amira.co.id)

Sampai kapankah derita ini?
Yang kaya darah dan air mata
Yang senantiasa mewarnai
Bumi Pertiwi”
(Marjinal)

SEKITAR 500 orang petani memenuhi jalanan di areal perkantoran Telanaipura, Kota Jambi, Selasa (26/9). Mereka yang berasal dari Kabupaten Muarojambi, Tanjungjabung Barat dan Tebo ini menyampaikan apa yang membebani mereka selama ini; sumber agraria yang sedang berkonflik dengan perusahaan-perusahaan.

Melalui Peringatan Hari Tani Nasional ke-63 ini, mereka berharap agar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dilaksanakan dengan sebaiknya.

“Hari ini, keberpihakan negara lebih kepada para pemilik modal dibandingkan kepada rakyatnya sendiri. Sehingga tidak heran ketika terjadi konflik agraria rakyat dikorbankan demi investasi,” kata Bronto dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) wilayah Jambi.

Mereka yang hadir pun adalah juga para petani, yang terpaksa harus membawa anak-anaknya yang masih balita. Sebab tidak mungkin anaknya ditinggalkan seorang diri di rumah tanpa pengawasan.

Banyak carita sedih yang keluar dari ucapan mereka. Seperti intimidasi dan kriminalisasi yang kerap mereka rasakan selama berkonflik.

“Lahan yang kami pertahankan adalah lahan yang telah digarap turun-temurun. Lantas kini, kami tidak boleh lagi menggarap lahan itu karena dinyatakan telah dimiliki perusahaan,” kata Nyai Supik dari Kabupaten Tebo.

Massa aksi yang tengah membentangkan spanduk berisi peristiwa-peristiwa dan nama-nama korban konflik agraria di Provinsi Jambi. (photo credits : Junus Nuh/amira.co.id)

Pada tahun 2021 hingga 2023, konflik agraria di sektor perkebunan terjadi antara masyarakat Desa Sumber Jaya dengan PT FPIL (Fajar Pematang Indah Lestari), masyarakat Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Raya dengan PT FPIL, dan masyarakat Desa Betung dengan eks PT RKK (Ricky Kurniawan Pertapersada).

“Kehadiran perusahaan telah menyebabkan petani kehilangan lahan garapan mereka, anak-anak di desa putus sekolah, pemuda menjadi pengangguran, dan perempuan banyak menjadi buruh harian lepas,” kata Ahmad Azhari dari Indonesia Committee for Human Right and Social Justice (ICHS).

Hadirnya perusahaan, katanya, telah menyebabkan kerusakan lingkungan di Provinsi Jambi. Konflik Agraria yang terjadi pun telah menghancurkan budaya dan kearifan lokal yang diwariskan oleh para pendahulu sejak dulu.

Hingga hari ini, petani masih diintimidasi dengan berbagai macam cara. Bahkan sebanyak 28 warga telah diproses secara hukum pidana karena memperjuangkan hak atas tanah.

Sehingga, kehadiran mereka di sini adalah untuk meminta 28 orang petani yang ditahan segera dibebaskan.

Termasuk juga menuntut pemerintah untuk menjalankan reforma agraria sebagai cara penyelesaian konflik lahan. Serta mencabut Undang-Undang Cipta Kerja, yang memberi ruang yang sangat luas terhadap hadirnya investasi.

Ketika berada di Gedung DPRD Provinsi Jambi, massa juga meminta dihadirkan Kapolda, Kepala ATR/BPN, Kadis Kehutanan dan Kadis Perkebunan. Tujuannya, agar dapat berembuk dan memecahkan masalah.  

Pada saat yang bersamaan, sekitar 100 orang warga dari Desa Betung Kecamatan Kumpe Kabupaten Muarojambi juga sedang melakukan aksi menginap di pendopo yang berada di sekitar Kantor Gubernur Jambi.

Setelah menunggu lama, pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, warga Desa Betung pun memindahkan peralatan masak mereka ke pelataran Gedung DPRD Provinsi Jambi.  Seketika gedung dewan berubah menjadi Dapur Umum.

Mereka memasak di sana, dan makan di sana.  

Ini adalah bentuk kekecewaan mereka. Sebab mereka telah lima hari menginap di pendopo. Tetapi persoalan yang mereka hadapi belum dengan serius ditanggapi pemerintah.

Hingga berita ini ditulis, massa aksi masih menginap di pelataran Gedung DPRD Provinsi Jambi. Dengan harapan, dapat bertemu pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan konflik agraria yang mereka hadapi.   

“Kami adalah petani. Mandiri, dan bukan orang yang meminta upah kepada bos. Jika investasi diizinkan, sebagai anak negeri, kami pun berhak mendapatkan kemakmuran seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia,” kata Makruf dari Kumpe Ulu.*  

avatar

Redaksi