Peran Abjad “Arab Melayu” Dalam Perang Melawan Kolonial

Inovasi

August 30, 2023

Junus Nuh

Masjid di Kampong Baroe, Djambi tahun 1920. (: Leiden Digital Collection)

SANGAT sedikit dari kita yang masih dapat menggunakan alphabet Arab Melayu, saat ini. Hanya mereka-mereka yang berusia uzur saja yang masih fasih menggunakannya.

Abjad Arab gundul, demikian istilahnya, yang menggunakan lafadz Melayu. Sehingga, meskipun hurufnya adalah huruf Arab, tetapi bahasa yang digunakan tetaplah bahasa Melayu.

Pada tahun ’80-an, masih banyak ditemui mereka yang menggunakan huruf Arab Melayu. Pun kitab-kitab pengajian banyak juga yang menggunakan huruf Arab Melayu.

Pada penggunaan sehari-hari, banyak digunakan pada surat menyurat yang bersifat pribadi. Pribadi, dengan artian “cukup diketahui” antara orang yang menyurati dan orang yang disurati saja.

Pada era kolonial, di Jambi, masjid adalah “markaz” atau tempat berkumpul. Tidak hanya untuk kepentingan bersifat agama Islam, tapi juga untuk bersosialisasi.

Banyak masjid-masjid tua di Provinsi Jambi yang masih dipertahankan hingga saat ini, berfungsi sama. Sementara untuk pendidikan, digunakan madrasah-madrasah, yang letaknya tidak terlalu jauh dari masjid.

Sesuai dengan namanya, abjad Arab Melayu, biasa digunakan di pulau-pulau yang berpenduduk Melayu. Sumatera, Kalimantan dan Malaysia. Juga beberapa daerah di Pulau Jawa.

Abjad Arab Melayu, juga disebut huruf Jawi. Penamaan yang berasal dari era Ibnu Batutah dalam bukunya Al Rihlah untuk menyebut Pulau Sumatera.

Linguist Abdul Hadi WM, menyebutkan huruf Jawi pertama kali disusun oleh Syekh Jawini di abad ke-13. Syekh Jawini adalah guru bahasa yang hidup di Samudra Pasai, Aceh.

Bukti tertua terkait abjad Arab Melayu, adalah “Batu Bertulis Trengganu” Semenanjung Malaka yakni pada tahun 1326.

Sejak beberapa tahun lalu, abjad Arab Melayu kembali digunakan oleh pemerintah provinsi, seperti Riau dan Jambi. Kegunaannya adalah “melengkapi” penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara.

Satu bahasa, tentunya, tidak dapat ditranslate secara pas ke bahasa lain, dalam penggunaannya. Sebab, dalam bahasa juga termaktub sejarah, budaya dan sosial.

Sehingga penggunaan konsonan “o” dalam kasanah bahasa Melayu Jambi harus diganti dengan konsonan “a” dalam huruf Arab. Begitu juga dengan pengaruh-pengaruh budaya Sansekerta pada bahasa Melayu. Kata “bumi” masih menggunakan dialek asli, yakni “bhumi”.

Jika bicara penggunaannya, pengaruh Pan Islamisme pada perang dunia kedua, yakni pada tahun 1936 pun turut memberikan kesadaran tentang bersatunya bangsa-bangsa yang berkeyakinan sama. Akhirnya, di sini, Pan Islamisme berubah menjadi sebuah ideologi pembebasan dari kolonialisme.

Maka, masjid adalah markaz, tempat para pejuang merencanakan banyak hal. Seperti, kapan waktu yang tepat untuk berperang dan strategi apa yang harus digunakan.

Pemerintah kolonial Belanda paham akan kondisi ini. Tetapi, setelah berlangsungnya Politik Etis (: politik balas budi), maka pendidikan juga boleh dirasakan oleh kaum pribumi. Dan, mengaji Al Qur’an adalah juga pendidikan, sehingga tidak ada larangan untuk itu.

Menulis, adalah intelektualitas. Mereka yang sewaktu itu dianggap memiliki kemampuan di atas rata-rata kaum pribumi lainnya, dalam upaya membebaskan diri dari pembodohan kolonialisme.

Pun pada masa Kesultanan Djambi, abjad Arab Melayu adalah alphabet resmi yang digunakan kerajaan. Resmi, dalam artian bahwa surat dan dokumen kerajaan pun menggunakan abjad Arab Melayu.

Meskipun, kenyataannya, pemerintah kolonial Belanda membubarkan paksa Kesultanan Djambi pada tahun 1906, dan mengubahnya menjadi Keresidenan Djambi. Dan, karena selalu memberontak dan dianggap tidak patuh terhadap pemerintah kolonial, maka Keresidenan Djambi pun “terkadang” harus menginduk ke Keresidenan Palembang.

Masjid Baitul Ihsan, yang berada di kawasan Sipin Ujung Kota Jambi pun masih menyimpan kisah tentang perjuangan melawan kolonial Belanda. Masjid ini terletak tak jauh dari Tugu Juang.

Pada sebuah wawancara dengan orang-orang yang memahami sejarah masjid ini, terungkap bahwa pada Agresi Militer ke-2, yakni tahun 1946, masjid ini menjadi tempat perundingan strategi perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Masjid ini hingga kini, masih mempertahankan budaya pundan berundak pada atapnya. Budaya yang telah ada sejak lama, bahkan sebelum era Islam.

Dikisahkan, mereka yang terluka dalam arena pertempuran di Tugu Juang saat ini, juga dirawat di masjid ini. Diobati dengan obat-obatan seadanya.

Masjid-masjid tua di Provinsi Jambi, umumnya menggunakan atap pundan berundak. Atap yang semakin ke atas semakin kecil dan meruncing, sebagai perlambang hubungan manusia di bumi dengan Allah Sang Pencipta.

Pada beberapa catatan lama tentang abjad Arab Melayu, Tuhan tidak hanya disebut sebagai “Allah” saja. Tapi juga disebut sebagai “Dewata Mulia Raya”. Penyebutan yang tidak lepas dari pengaruh Sansekerta, seperti pada “Batu Bertulis Trengganu”, misalnya.

Dari berbagai wawancara, kegunaan markaz pada masa kolonial adalah untuk perundingan. Abjad Arab Melayu digunakan di batu tulis, papan tulis atau kertas.

Sepintas lalu, terlihat seperti pelajaran bahasa Arab. Tapi, jika dilihat secara seksama, tentu lain cerita.

Tehnik ini, digunakan oleh pejuang dan kaum pribumi untuk menjaga kerahasiaan setiap rencana dari pemerintah kolonial. Sebab, mata-mata Belanda tentu tidak datang jauh-jauh dari Belanda untuk memata-matai pejuang dan kaum pribumi. Melainkan menggunakan orang-orang lokal, yang berpikiran singkat dan kebendaan.

Sehingga kerahasiaan terkait perjuangan rakyat tetap terjaga, hingga hari H pelaksanaannya.*

avatar

Redaksi