Kita Dan Perubahan Iklim Yang Berkeadilan
Lingkungan & Krisis Iklim
August 6, 2023
Junus Nuh
PENGUBAHAN bentang alam dengan sengaja oleh manusia adalah faktor signifikan yang membuat perubahan iklim (climate change). Ini adalah pernyataan yang sederhana.
Tetapi, secara realita, negara-negara yang paling banyak menciptakan emisi, adalah yang paling minim terdampak oleh perubahan iklim. Sehingga, adalah mereka yang paling bertanggungjawab untuk berperang melawan perubahan iklim itu sendiri, selain kita sendiri, tentunya.
Sejak konferensi PBB tentang iklim tahun 2007, munculah sebuah kesadaran bersama tentang keadilan iklim. Kesadaran yang bermula dari masyarakat di negara-negara Annex, yakni negara yang memiliki tingkat konsumsi tinggi dalam kriteria menghasilkan emisi karbon. Kesadaran ini tidak terbendung, dan menular hingga ke pelosok dunia.
Indonesia bukanlah termasuk negara penghasil emisi karbon. Sebab, senyatanya, James Watt menemukan kapal uap berbahan bakar batu bara pada tahun 1781, menurut britannica.com. Sementara Nusantara kita pada waktu itu, adalah negeri penghasil rempah, yang menjadi incaran pada pedagang dari negara-negara penjelajah.
Tetapi, efek dari ekonomi internasional selanjutnya, membuat kita yang berada di negeri tropis dengan kesuburan alamnya ini, harus beradaptasi dengan kemauan perekonomian internasional.
Maka, rimbunnya hutan yang tergambar pada Midden Sumatera Expedition pada dua abad lalu, harus digantikan dengan perkebunan satu jenis, dan pertambangan energi fosil dan emas.
Akibat dari itu semua, patut bagi kita semua untuk menerapkan keadilan iklim (climate justite).
Persoalan yang tidak sederhana; seperti kesegaran yang kita rasakan ketika kita menggunakan sabun mandi, yang merupakan turunan dari sawit, misalnya.
Seperti yang dinyatakan Friday For Future, sebuah gerakan lingkungan di Eropa, bahwa “There’s No Planet B”. Sehingga, perubahan iklim yang terjadi saat ini, harus juga disikapi dengan berkeadilan.
Bahwa greenwashing yang selama ini terjadi, menurut walhi.or.id, harus juga disikapi dengan memperbaiki keadaan di negara-negara lain.
Jika sawit yang adalah palma dan bukan kelapa, memiliki berbagai macam produk turunan, seperti minyak goreng dan sabun mandi, maka faktor sebab-akibat dari penghasil produk itu pun harus juga dipikirkan untuk diperbaiki.
Persoalan pemanasan global harus juga dilihat dari sudut pandang etika. Konsep-konsep keadilan lingkungan dan sosial harus menjadi perhatian saat kita semua bicara tentang perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi saat ini.
Adalah naif bagi kita – semua, jika kita melupakan persoalan-persolan hak asasi manusia, hak komunitas, kesetaraan dan juga tanggungjawab sejarah tentang terjadinya perubahan iklim itu sendiri.
Banyak hak-hak komunitas dikesampingkan sejak munculnya perkebunan satu jenis dan perluasannya. Yang telah mengubah hutan dan semak belukar, atau hutan primer dan hutan sekunder, atas nama nilai ekonomi.
Satu sisi dari hak komunitas yang tertindih, dapat dilihat dari konflik lahan yang terjadi. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdata sebanyak 212 konflik agraria di sepanjang tahun 2022 lalu. Yang terjadi di lahan seluas 1.035.613 hektare, dan berdampak pada 346.402 KK (kepala keluarga).
Sebanyak 99 kasus berada di sektor perkebunan, dengan total 377.197 hektare, dan berdampak pada 141.001 KK. Dimana, 80 dari 99 kasus ini adalah perkebunan sawit.
Tentu saja tidak gampang menyelesaikan persoalan yang telah menjadi – maaf – produk turunan ini. Tetapi, menurut Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) tahun 2022, lembaga ini telah menerima lebih dari 300 pengaduan masyarakat terkait konflik agraria.
Maka patut untuk menyandingkan antara data, fakta dan realita. Dari pemahaman tentang keadilan iklim dan perubahan iklim, harusnya ada cara untuk mengatasi masalah secara berkeadilan terhadap berbagai konflik agraria yang terjadi.
Sebab, sesuai dengan pemahaman keberlanjutan, penghidupan dan perekonomian komunitas yang berkelanjutan semestinya menjadi prioritas juga.
Menurut Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations ‘Protect, Respect and Remedy’ Framework tahun 2011, negara harus berperan untuk memastikan bahwa bisnis perusahaan tidak terlibat dalam pelanggaran HAM. Sejak dari tahapan identifikasi, pencegahan, dan pengurangan risiko terkait pelanggaran HAM.
Sudah seharusnya tahapan-tahapan iklim yang terjadi pun harus mengikuti perubahannya. Dan, adalah saatnya untuk bicara tentang bagaimana keadilan yang menjadi prioritas dalam penanganan perubahan iklim.
Toh, senyatanya, kita pun sedang menjajaki tahapan carbon trade. Yang juga merupakan bagian dari sebab-akibat berubahnya hutan menjadi peruntukan lain.*