Dibalik Bayang-Bayang Homeless Media

Inovasi

December 19, 2025

Jon Afrizal

Ilustrasi media tradisonal. (credist: Pexels)

“Manusia memerlukan ruang publik yang rasional.” Jurgen Habermas

KEHADIRAN homeless media adalah aspek lain dari pergeseran berkelanjutan dalam lanskap media di Indonesia. Sejujurnya, merupakan bentukan dari preferensi Gen Z dan kebiasaan bermedia.  

Tidak seperti generasi-generasi sebelumnya, Gen Z sangat selektif terhadap konten yang mereka inginkan. Generasi ini menghargai keaslian dan relatabilitas, dan lebih memilih konten yang organik ketimbang promosi yang terang-terangan.

Banyak brand pada saat ini, mengutip laman Vero, belajar bahwa kampanye dan promosi yang mencoba untuk memproduksi viralitas sering “tidak dianggap”. Sebab Gen Z dapat dengan cepat mengenali ketika sebuah brand berusaha terlalu keras berpromosi.

Homeless media yang diramu dengan keaslian, jangkauan, dan stylenya yang unik, dapat memainkan peran kunci dalam membantu brand untuk beresonansi dengan demografis kritis ini.  

Sebab, tidak semua platform media yang ada pada saat ini mampu untuk melayani audiens yang sama. Sementara beberapa berfokus pada topik niche seperti teknologi, K-Pop, fashion, atau politik, yang lain mengkhususkan diri dalam gaya hidup yang lebih luas dan konten hiburan.

Sehingga adalah baik untuk melihat lebih ke dalam, dan melakukan praktik spesifikasi akun untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari setiap kerjasama bermitra.

Dan juga, memperbaiki admin akun, seperti layaknya mikro-influencer. Yakni: mengetahui nada mereka, memahami jenis cerita apa yang mungkin mereka posting, dan mendekati mereka dengan konten yang disesuaikan.

Homeless media mungkin bukan pers tradisional. Tapi mereka dapat mempengaruhi persepsi nyata.

Dan, bagi brand, homeless media adalah jalur terkini: cepat dan hiper-lokal.  

Sehingga, homeless media adalah cara kampanye dan promosi terbaru, sebagaimana pers tradisional melakukannya, dulu.

Homeless media adalah media digital yang hidup sepenuhnya di platform media social. Seperti; Instagram, TikTok, X/Twitter, dan Facebook, tanpa memiliki situs web atau aplikasi resmi sebagai “rumah” utamanya. Dengan mengandalkan kecepatan dan konten ringan untuk menjangkau audiens Gen Z. Namun rentan terhadap misinformasi karena tidak terikat kode etik pers formal.

Homeless media menawarkan berita cepat dan lokal dengan biaya operasional rendah. Tetapi menghadapi tantangan besar terkait legalitas, akuntabilitas, dan risiko penghapusan akun oleh platform, serta potensi penyebaran hoaks karena kurangnya verifikasi ketat.

Ilustrasi media sosial. (credist: Pexels)

Homeless media tercipta saat media sosial merajalela. Ketika semua orang tiba-tiba menjadi “sadar kamera”.

Ketika tim sukses partai dan pejabat memilih membuat konten sendiri di media sosial. Selanjutnya, muncul anak-anak muda yang sebelumnya tidak pernah bekerja di pers mainstream, tapi mereka membuat homeless media di media sosial.

Homeless media banyak dikerjakan oleh Gen Z. Tapi di luar mereka, mengambil berita dari mana mereka analisa, dapat menyajikan emosi, kedalaman, juga dapat menyampaikan hoaks, dapat memverifikasi hoaks, dan ini belum selesai, ada yang namanya influencer. Bukan bagian dari media, tapi mereka punya kanal dan tahu cara mencari uang,” kata Akademisi Ekonom Prof Rhenald Kasali, mengutip laman Dewan Pers.

Sehingga, homeless media adalah, melulu, tentang bagaimana menghasilkan uang, dan bukanlah jurnalisme yang sesungguhnya.

Sebab, adanya dunia digital saat ini memunculkan “putra mahkota digital” untuk jadi “kaisar-kaisar digital”. Mereka inilah yang dapat mengendalikan teknologi ini.

“Makanya mereka menjadi influencer papan atas. Yang diuntungkan adalah mereka yang menggunakan dunia ini. Entah itu influencer atau mereka yang melakukan selling di dunia digital,” katanya.

Tetapi, karakteristik utama homeless media yang justru menjadi kekuatannya, lahir dari komunitas, berbasis hobi, atau inisiatif individu. CEO Good News From Indonesia (GNFI), Wahyu Aji, mengutip laman Hukum Online mengatakan bahwa media kini tidak selalu muncul sebagai perusahaan, bahkan setelah tumbuh besar tetap dijalankan oleh satu atau dua orang saja.

Namun, ada tantangan besar yang dihadapi oleh homeless media. Seperti yang dijalankannya, terutama dalam hal keberlanjutan dan ketergantungan terhadap platform.

Sehingga homeless media perlu untuk mulai membangun brand, reputasi, dan hubungan jangka panjang dengan audiens.

“Agar, ketika akun Instagram hilang, misalnya, mereka tetap dapat jalan. Dikarenakan orang percaya dengan apa yang mereka lakukan,” katanya.

Tetapi, persoalan etika dan akuntabilitas dalam ekosistem media digital yang terdesentralisasi pun wajib untuk dicermati. Banyak homeless media yang tidak berbadan hukum dan hanya dikelola oleh individu.

Dalam kondisi seperti ini, kualitas informasi sangat bergantung pada integritas pengelolanya.*

avatar

Redaksi