Hipergami Versus Hipogami Hari Ini
Lifestyle
November 19, 2025
Cakra Asmaradana

Ilustrasi “What About Love?”. (credits: triciagoyer)
MEMANG, banyak terjadi pria menikahi wanita dengan status sosial yang lebih tinggi, yang disebut dengan istilah: hipogami. Kamus sosiologi mendefinisikannya sebagai “perkawinan antara laki-laki dengan status rendah dengan perempuan berstatus lebih tinggi.”
Bahkan, terdapat pula istilah untuk pernikahan antara orang-orang dengan karakteristik dan status yang sama. Yakni: homogami.
Istilah ini berangkat dari kondisi di Punjab, sebuah koloni Inggris di perbatasan Pakistan dan India, di abad ke-19. Namun, apakah kondisinya sama pada hari ini?
Di banyak negara, mengutip How Stuff Works, praktik hipergami telah bergeser, dari penelitian-penelitian sebelumnya, dan sebagian alasannya berkaitan dengan perubahan peran perempuan dalam pendidikan dan tempat kerja.
“Kami melihat bahwa di seluruh dunia, ini tidak selalu benar dalam setiap kasus, tetapi pola umumnya adalah bahwa terdapat sedikit hipergami di masa lalu,” kata Christine R. Schwartz pada penelitian berjudul “The End of Hypergamy: Global Trends and Implications”.
Di banyak masyarakat pada saat ini, katanya, lebih umum bagi wanita untuk lebih berpendidikan dibandingkan pria. Itu telah menjadi trend di Amerika Serikat sejak sekitar tahun 1990-an lalu. Tetapi tidak benar-benar diakui sampai awal tahun 2000-an.
Dan, realitanya, rata-rata perempuan di Amerika Serikat saat ini memang memiliki capaian pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan pria.
Itu berarti wanita terkadang tidak punya banyak pilihan selain menikahi pria dengan pendidikan yang sedikit lebih rendah dari dirinya.
Margarita Chudnovskaya dalam penelitian berjudul “Is the End of Educational Hypergamy the End of Status Hypergamy? Evidence from Sweden”, menyatakan bahwa kondisi ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga di sebagian besar negara Eropa. Menurutnya, prevalensi hipogami dimana wanita berpendidikan mencari mitra yang lebih rendah, sekarang melebihi hipergami dimana pria berpendidikan mencari mitra yang lebih rendah.

Ilustrasi sepatu Cinderella. (credits: Tuulalehtinen)
Tetapi, apakah semua itu fair?
Data U.S. Bureau of Labor Statistics tahun 2020 menyebuutkan bahwa perempuan mengisi lebih dari setengah tenaga kerja non-pertanian di AS. Dan, tampaknya hipergami sedang mencari jalan keluarnya, setidaknya di Amerika.
Namun, juga terdapat faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti faktor ekonomi, misalnya. Dimana kesenjangan gaji antar gender menjadi lebih spesifik.
“Wanita di Amerika Serikat saat ini lebih berpendidikan ketimbang suaminya. Meskipun, masih tidak lazim bagi wanita untuk mengungguli pasangan pria mereka,” kata Schwartz.
Untuk pasangan yang menikah antara tahun 2005 hingga 2009, hanya 30 persen istri yang menghasilkan lebih banyak uang daripada suami mereka. Sehingga, katanya, pasti ada perbedaan setidaknya antara pendidikan dan pendapatan di AS.
Sementara penelitian Chudnovskaya di Swedia menunjukan bahwa dalam berbagai jenis pasangan, bahkan ketika wanita itu memiliki pendidikan tinggi, prestise kerja dan kelas sosial, tetapi pria masih berpenghasilan lebih tinggi dari wanita.
“Satu dugaan yang masuk akal adalah bahwa keuntungan pendapatan pria bukan karena kegigihan hipergami melainkan dengan kesenjangan upah gender, yang berada di sekitar 14 persen di Swedia,” kata Kay Hymowitz dalam tulisan berjudul “Whither Hypergamy?”.
Saat ini, katanya, meskipun hipogami pendidikan lebih umum, tetapi hipergami masih membentur aturan pada ranah keuangan.
Hipergami dapat diartikan sebagai tindakan seorang wanita yang mencari status sosial yang lebih tinggi ketika menikah.

Ilustrasi pernikahan pasangan dari India. (credits:Instagram)
Oxford Dictionary mendefinisikan hipergami dalam istilah yang lebih netral, yakni; tindakan menikahi atau membentuk hubungan seksual dengan seseorang dari latar belakang sosiologis atau pendidikan yang superior.
Tetapi, para ilmuwan sosial menjelaskannya dengan cara yang lebih gender.
“Hipergami adalah kondisi ketika pria menikahi wanita dengan status lebih rendah dari dirinya sendiri,” kata Christine Schwartz, yang adalah profesor di departemen sosiologi di University of Wisconsin-Madison. Atau, dengan kata lain, kondisi ketika wanita menikahi pria dengan status lebih tinggi, apakah itu terkait dengan pendidikan, pendapatan atau pekerjaan.
Para ilmuan sosial pun telah melihat menikah dengan cara lain, seperti secara geografis, misalnya.
Nicole Constable dalam penelitiannya berjudul “Cross-Border Marriages: Gender and Mobility in Transnational Asia” menjelaskan bahwa hipergami secara global adalah “gerakan pengantin dari lokasi yang lebih terpencil dan kurang berkembang menjadi yang semakin maju dan kurang terisolasi.”
Namun, sejauh mana hubungan hipergami mampu bertahan? Maka kita semua mungkin tidak tahu seberapa jauh kita akan kembali ke tradisi pria bermitra dengan wanita dengan status yang lebih rendah dari dirinya sendiri.
Sebab, hipergami dapat dilihat sebagai respons alami terhadap ketidakmampuan wanita dalam sejarah awal untuk mencari nafkah dan, menurut Kay Hymowitz, “pernikahan adalah satu-satunya cara bagi seorang wanita menentukan status sosial dalam kehidupannya”.
Namun, apa yang kita semua tahu adalah, bahwa istilah hipergami kemungkinan memiliki asal-usul dalam tradisi Hindu wanita yang ingin menikahi pria dari kasta yang lebih tinggi. Kondisi ini pertama kali ditemjukan pada tahun 1881 di buku berjudul “Panjab Castes” yang ditulis oleh Sir Denzil Ibbetson.
Buku yang berdasarkan pada laporan sensus provinsi Punjab, koloni Inggris di India. Buku ini, bahkan, menggambarkan situasi dimana seorang ayah berusaha untuk menikahi putrinya dengan “anggota suku” yang lebih unggul. Seperti yang dinayatakan antropolog T. Mohanadoss dalam laporan berjudul “Hypergamy and Its Inherent Contradictions”.
“Hipergami dikaitkan dengan asumsi bahwa pria lebih unggul dari wanita,” demikian ditulis Mohanadoss. Sangat menarik, dimana sementara jenis pernikahan ini meningkatkan status “pengantin – pemberi – ayah – juga mengakui inferioritasnya terhadap mertuanya”.
Tetapi, jika semua wanita berusaha untuk menikah, maka hipergami pada akhirnya harus mengarah pada situasi dimana para wanita yang berada di puncak tangga sosial tidak akan mendapatkan pria manapun untuk dinikahi. Dan, juga sebaliknya, para pria dengan status sosial rendah juga tidak akan mendapatkan wanita untuk dinikahi. Kondisi ini yang ditemukan oleh para peneliti di tahun 1970-an.
Dan, diantara celah itu, hipogami tegar berdiri.*
