Melazimkan “Kredit Nikah”?
Lifestyle
September 21, 2025
Zulfa Amira Zaed

Ilustrasi pasangan yang menikah. (credits: Pexels)
PERNIKAHAN yang jadi impian banyak orang, tak selamanya memberikan hal yang membahagiakan. Namun, fenomena yang saat ini banyak terjadi, adalah, kedua atau satu dari calon pengantin rela berhutang dalam jumlah besar untuk mewujudkan pesta pernikahan yang mereka, atau orangtua idamkan.
Besar pasak dari pada tiang, agaknya bukan lagi hal yang ditakuti. Tapi menjadi hal yang lumrah dilakukan banyak pihak. Ini mengingat banyak kemudahan untuk mewujudkan pesta pernikahan impian.
Kemudahan itu, seperti; kredit perbankan, bayar layanan pasca pelaksanaan, hingga hutang pinjaman online (pinjol).
Saat ini banyak vendor penyedia jasa pesta pernikahan yang mengeluh di media social. Sebab, pasca pesta pernikahan, keluarga mempelai sulit ditagih biaya pelunasan, bahkan, sulit untuk dihubungi.
Cecil (25), bukan nama sebenarnya, mengungkapkan pengalamannya menggelar pesta pernikahan di Kota Jambi.
“Waktu itu, kami hutang ke bank untuk mewujudkan pesta pernikahan kami. Kami ingin mendapatkan pesta pernikahan yang berkesan, dan orang tua kami mengundang cukup banyak orang, lebih dari 1.000 undangan,” katanya.

Ilustrasi perlengkapan pernikahan. (credist: Pexels)
Cecil dan suaminya adalah karyawan tetap sebuah perusahaan swasta. Tentunya, bukan hal yang sulit untuk mencicil IDR 2 juta per bulan.
Namun, ia luput memproyeksikan tentang kemungkinan bertambahnya kredit cicilan lain setelah pernikahan. Seperti; KPR, elektronik, dan kebutuhan hidup lainnya.
Fenomena menikah dengan menggelar pesta pernikahan mewah bukanlah semata keinginan calon mempelai saja.
Indonesia, adalah negara dengan adat istiadat yang kental dan beragam. Untuk melaksanakan seluruh rangkaian adat istiadat dalam pernikahan, membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Amelia (30), juga bukan nama sebenarnya, terjebak hutang untuk memenuhi keinginan orang tuanya.
“Saya dan calon suami saya menikah karena kami serius. Ketika orangtua saya memberikan syarat uang hantaran untuk resepsi dengan jumlah di atas batas kemampuan calon suami saya, kami terpaksa berhutang untuk memenuhi tuntutan itu,” katanya, sambil mengingat meriahnya pesta pernikahannya, pada tiga tahun silam.
Menurutnya, orang tuanya malu jika ia tidak menggelar resepsi. Sebab, sebelumnya, kakaknya juga menggelar resepsi serupa.
Sehingga, ia harus berhutang di tempat ia bekerja untuk mewujudkan pesta pernikahan yang dikehendaki orang tuanya.
“Jika boleh memilih, kami sebenarnya memilih untuk menikah dengan sederhana. Agar setelah menikah kami dapat menata ekonomi untuk masa depan kami. Tapi, saat itu kami tidak punya pilihan,” katanya.
Bahkan, setelah menikah selama lebih dari lima bulan, Amelia dan suaminya masih berusaha melunasi hutang mereka.
Fenomena semacam ini, sudah banyak terjadi, baik di perkotaan maupun pedesaan. Masyarakat seolah menutup mata, dan seperti tersusun dengan rapi meski tidak ada aturan tertulis. Semua atas nama: lambang Gengsi.
Mengutip capitalfinancia, pernikahan di Indonesia memiliki rentang biaya yang sangat bervariasi. Berdasarkan survei Bridestory tahun 2017, terdapat empat kategori pernikahan berdasarkan anggaran.
Yaitu; kategori affordable (terjangkau) dengan biaya antara IDR 20 juta hingga IDR 400 juta, dan, kategori moderate (sedang) berkisar antara IDR 40 juta hingga IDR 800 juta.
Lalu, kategori premium berkisar antara IDR 100 juta hingga IDR 2 miliar, dan, kategori mewah yang membutuhkan biaya hingga IDR 7 miliar.
Saat ini banyak bank yang menyediakan Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk membiayai pernikahan. Plafon pinjaman berkisar antara IDR 20 juta hingga IDR 300 juta, tergantung skor kredit calon kreditur.
Kredit ini, kemudian, menjadi pilihan banyak orang. Sebab, syaratnya yang tidak terlalu rumit, tidak membutuhkan agunan, dan dapat diproses secara daring.
Namun, solusi “kreditd” akan menimbulkan konsekuensi ke depan. Yakni; hutang yang harus dibayar.
Sebelum memilih untuk berhutang demi mewujudkan pesta pernikahan, seharusnya, setiap calon pengantin memiliki pilihan untuk bermusyawarah untuk mencari jalan tengah dari keinginan setiap orang yang terlibat.
Berkomunikasi, meskipun sulit, bukan berarti tidak bisa.*

