Syair Guru Syukur

Inovasi

November 14, 2025

Jon Afrizal

Sungai Batanghari. (credits: Google Photos)

“Tigo macam orang hidup yang dipuji;

Satu ngajar, keduo ndengar, ketigo ngaji.

Tigo macam orang hidup ditempelak;

Ngaji idak, amal idak, congkak pulak.

Sembahyang idak, puaso idak, malu idak.

Bajudi galak, maling pulak, minum arak.

Kerjo mungkar seumur hidup sekato awak.”

ORANG Jambi, sebagaimana Orang Melayu pada umumnya, memahami bentuk puisi lama. Seperti; syair dan pantun, misalnya.

Adalah Guru Syukur, yang menggunakan metoda syair dalam berdakwah agama Islam. Ia dikenal di bentangan Kabupaten Batanghari, Sarolangun dan Merangin.

Teramat sedikit catatan tertulis tentang Guru Syukur. Meskipun, dengan catatan yang sedikit itu, artikel ini tetap diterbitkan. Sebagai pengingat tentang kiprahnya.

Guru Syukur atau Haji Syukur lahir di Desa Terusan Kecamatan Maro Sebo Ilir, Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi pada tahun 1899 lalu. Ia wafat pada tanggal 30 Juli 1979, dalam usia 80 tahun.

Beberapa cerita lisan, meskipun belum begitu detail, merujuk bahwa Guru Syukur menuntut ilmu agama kepada Syekh Nawawi al-Bantani. Yakni ulama yang lahir di Tanara, Serang pada tahun 1813 Masehi dan wafat di Mekkah, pada tahun 1897 Masehi.

Syekh Nawawi al-Bantani adalah ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis sejumlah buku, yakni sekitar 115 judul buku, yang meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis.

Dan umumnya, penyebaran agama Islam dilakukan dengan berbagai metode, termasuk syair dan pantun. Syair Guru Syukur adalah berkategori Arudh. Arudh adalah satu dari 13 cabang ilmu di dalam Sastra Arab.

Wakid Yusuf menjelaskan bahwa secara etimologi, kata “Arudh” berarti tengah-tengah atau sesuatu yang terdapat di dalam bait-bait syair.

Sedangkan ditinjau dari terminologi, kata “Arudh” adalah satu disiplin ilmu pengetahuan yang membahas tentang tata-cara mengenal benar-tidaknya wazan-wazan syair arab, dan yang berkaitan dengannya.

Pertemuan Sungai Batanghari dan Sungai Batang Tembesi. (credits: Tropen Museum)

Arudh identik dengan ilmu Qawafi, yang lebih menekankan pembahasannya pada hal-ihwal harakat akhir sya’ir, baik berupa sukun, shahih, dan lainnya.

Ilmu Qawafi pertama kali diperkenalkan oleh Syaikh Muhalhil ibn Robi’ah. Kegunaan mempelajarinya adalah untuk menjaga kekeliuran membaca harakat kalimat, terutama bagi orang yang gemar membaca sastra. Sehingga, sebagian ulama mencetuskan hukum sunnah untuk mempelajari ilmu Qawafi, sedangkan sebagian yang lain mengatakan mubah (boleh).

Setelah kembali ke Desa Terusan, Guru Syukur pun meneruskan ilmu yang didapat. Ia mendirikan madrasah “Jauharul Falah” di Desa Terusan.

Tak berapa lama setelah beroperasi, madrasah ini ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang. Yakni sekitar tahun 1942-an, karena situasi politik di Indonesia, yang saat itu dianggap tidak menguntungkan bagi Jepang.

Namun, beberapa pengajian kecil, masih diperbolehkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Mungkin, ini juga yang menjadi alasan, mengapa kemudian Guru Syukur lebih memilih untuk menggunakan metoda syair dalam berdakwah.

Syair utama yang terdiri dari dua bait, dengan satu bait pembuka atau penutup.

Umumnya, syair selalu dilantunkan dengan nada, selayak bersenandung.

Adapun kutipan diatas adalah satu dari Syair Guru Syukur. Syair yang masih diingat oleh banyak orang di Kabupaten Batanghari, pada umumnya.

Cara yang sederhana, tetapi mengena. Dengan syair-syair yang pendek itu, maka pesan dari syair akan didapat.

Seperti pada syair;

“Tigo macam orang hidup yang dipuji;

Satu ngajar, keduo ndengar, ketigo ngaji.”

Yang memiliki arti; “Tiga jenis manusia yang terpuji. Pertama adalah mendidik, Kedua adalah mendengar, dan ketika adalah membaca Al Qur’an.”

Dengan penggunaan syair yang hanya dua baris, maka pesan, yang sebenarnya berat, dapat disampaikan dengan cepat.

Dan, dalam penggunaan bahasa, Guru Syukur memilih menggunakan bahasa lokal, yakni bahasa Melayu Jambi. Meskipun secara dialek memiliki perbedaan anatr daerah, tapi secara bahasa dengan cepat dapat dimengerti.

Penggunaan syair pun sangat dekat dengan Seloko. Yakni ujaran berbentuk petuah, yang dipahami oleh masyarakat Jambi sejak lama.

Dengan menyatukan berbagai varian itu, maka, pesan dari Guru Syukur dapat didendangkan di banyak tempat. Di humo (humo) dan talang (ladang).

Beberapa dari Syair Guru Syukur pun pernah dibukukan dalam bahasa Arab Melayu. Seperti yang ditemukan di Desa Ladang Panjang, Kabupaten Sarolangun, misalnya.

Dan, akan sangat menarik, jika ingatan-ingatan kolektif ini dikumpulkan kembali.*

avatar

Redaksi