Kidung Sunyi “Nansarunai Usak Jawa”

Inovasi

June 19, 2025

Jon Afrizal

Ilustrasi Sape di relief Candi Brorobudur, Jawa Tengah. (credits: KITLV)

SUARA yang dihasilkan dari alat musik Sapeq (sape) terdengar magis; pedih dan menyentuh hati. Sape adalah instrumen string tradisional Kalimantan. Sape berkembang di wilayah utara, timur, tengah, dan juga di Sarawak.

Ilustrasi Sape pun terdapat di relief Candi Brorobudur, Jawa Tengah.

Jika merunut ke naskah-naskah asli Kalimantan, terutama yang ditemukan di Banjar dan Kutai Kertanegara, seperti dalam naskah “Salasila Kutai”, misalnya, maka alat musik Sape berkemungkinan berasal dari wilayah timur pulau Jawa.

Alat musik Sape diperkenalkan ke wilayah pesisir selatan dan timur Kalimantan bersamaan dengan diperkenalkannya instrumen perkusi gamelan selama era perluasan kekuasaan kerajaan Singhasari, yang selanjutnya menjadi kerajaan Majapahit, di sekitar abad ke 12 hingga 13 Masehi.

Sape, berkemungkinan, merujuk ke kata “Sampemat” dalam bahasa Jawa Kuno. Yang artinya, kira-kira, adalah: perlakuan yang tidak hormat.

PM Munoz dalam buku “Kerajaan-kerajaan awal kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia: perkembangan sejarah dan budaya Asia Tenggara (Jaman pra sejarah – abad xvi)” menyebutkan bahwa pada tahun 1355, Hayam Wuruk dari Majapahit melancarkan invasi ke negeri (: kerajaan atau negara) Nan Sarunai dari komunal Dayak Ma’anyan.

Negeri Nan Sarunai sewaktu itu dipimpin oleh Raden Anyan yang disebut: Datu Tatuyan Wulau Miharaja Pap Amas.

Invasi Majapahit itu dipimpin oleh Empu Jatmika dari Kalingga dan Kediri, dengan timnya termasuk penasihat Aria Megatsari, panglima perang Tumenggung Tatah Jiwa, dan menteri Wiramartas.

Pertempuran pertama, yang berlangsung pada bulan April 1358 di Tambak Wasi, telah mengakibatkan kematian Panglima Jamuhala dari Nan Sarunai. Dan pasukan Majapahit menderita korban berat.

Sepasang muda-mudi Dayak, Kalimantan Tengah. (credits: Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)

Selanjutnya, Pangeran Jarang dan Pangeran Idong menyelamatkan diri ke dekat Sungai Tabalong-Kiwa. Dan tentara Nan Sarunai berkumpul kembali di Pulau Kadap dan terjadilah pertempuran kedua, pada bulan Desember 1362.

Pertempuran kedua berakhir dengan kematian Raden Anyan di tangan Mpu Nala. Raden Anyan ia dimakamkan di Banua Lawas.

Setelah kekalahan Nan Sarunai, Empu Jatmika mendirikan kerajaan Hindu “Negara Dipa”. Ini adalah “anak” dari kerajaan Majapahit, dan akhirnya berkembang menjadi kerajaan Banjar.

Adapun mereka yang selamat dari pertempuran itu, termasuk tentara dan pengrajin dari berbagai daerah. Seperti; Jawa, Dayak, Madura, dan Bugis, menetap di wilayah-wilayah seperti Amuntai, Alabio, dan Nagara.

Peristiwa sejarah ini, kemudian, dilantunkan dalam puisi Dayak Ma’anyan yang dikenal sebagai “Nansarunai Usak Jawa”. Puisi itu, selanjutnya, diiringi dengan dentingan dawai Sape.

Syamsuddin Rudiannoor dalam bukunya “Nan Sarunai Usak Jawa (1280-1700), Interupsi Kecil dari Kalimantan” menyebutkan bahwa meneliti dan menelusuri sejarah Dayak memang memiliki kesulitan tersendiri. Ini karena orang Dayak tidak mengenal tulisan.

Adapun “tulisan” yang ada era lampau hanyalah berupa “tanda-tanda” atau “sandi” yang biasa disebut dengan Patuk Bakaka atau Tetek Bakaka.

Terdapat dua traditional history yang dikenal oleh komunal Dayak yang hidup di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Yakni; Tetek Tatum oleh Dayak Ngaju dan Ot Danum, dan, Taliwakas olehDayak Ma’anyan, dan sebagian kecil Dayak Dusun.

Orang Dayak Ma’anyan berdiam di sisi timur Kalimantan Tengah, terutama di Kabupaten Barito Timur dan sebagian Kabupaten Barito Selatan yang dikelompokkan sebagai Ma’anyan I.

Orang Dayak Ma’anyan pun berdiam di bagian utara Kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Tabalong, yang mengacu pada orang Dayak Warukin. Orang Dayak Balangan atau orang Dusun Balangan di Kabupaten Balangan dan Orang Dayak Samihim di Kabupaten Kotabaru dikelompokkan bersama dengan kelompok orang Dayak Ma’anyan. Orang Dayak Ma’anyan di Kalimantan Selatan dikelompokkan sebagai Ma’anyan II.

Sedangkan Dayak Lawangan yang sekarang berada di Kalimantan Tengah, adalah “anak” dari Kerajaan Kutai yang mengembara ke selatan. Mereka dipimpin oleh Panglima Brohong.

Selanjutnya, pada Taliwakas dan Tetek Tatum disebutkan bahwa kota tertua milik orang Dayak, dan juga pemerintahan orang Dayak adalah Kayutangi. Kota Kayutangi kemudian ditaklukkan oleh Majapahit.

Kemudian, kerajaan orang Dayak yang terakhir, seperti yang dijelaskan pada Taliwakas adalah negeri Nan Sarunai. Negeri Nan Sarunai dihancurkan oleh invasi Majapahit.

Maka, yang tercipta kemudian, adalah puisi tradisional “Nansarunai Usak Jawa”.

Kadang, orang akan dengan cepat menyimpulkan bahwa ini adah romantisme masa lalu.

Tetapi, sejarah selalu berkata jujur dan bijaksana. Tentang hal-hal baik dan buruk yang telah terjadi.

Dan, “Nansarunai Usak Jawa” adalah ratapan, dan tangisan yang tidak berkesudahan. Yang bermula sejak kehancuran Negeri Nansarunai pada abad ke-13 Masehi, hingga hari ini.

Yang juga mengejawantah pada syair lagu Wadian Pangunraun. Yang biasa disebut dengan ”Nyarunai”.

Yakni pada saat Nansarunai hadir dan menjelma dalam alam datu tunjung gahamari (: alam surgawi) Dayak Ma’anyan, dan tempat dimana setiap jiwa-jiwa orang Ma’anyan akan bersatu kembali di Nansarunai.

Sebuah tangis kepedihan, yang terlantun dalam keagungan magis dawai-dawai Sape.*

avatar

Redaksi