Matriarki Dan Budaya “Lalok Di Surau” (2)

Inovasi

April 5, 2025

Jon Afrizal

Istano Basa Pagaruyung. (credits: Wiki Commons)

KATA Surau, adalah penggambaran dari sebuah tempat ibadah Islam di Minangkabau. Fungsi surau, pada awalnya, hampir dekat dengan mushalla, yang kita kenal pada saat ini.

Jika dilihat dari bentuk bangunannya, surau dapat dibagi menjadi; surau gadang (surau besar) dan surau ketek (surau kecil).

Surau ketek umumnya dibangun dan berada di sebuah kampung kecil (dusun). Yang hanya memuat sekitar 20 orang saja.

Surau gadang adalah surau yang menjadi pusat dari beberapa surau ketek di sekitarnya. Memilki daya tampung yang lebih luas, antara 40 hingga 100 orang, atau mungkin lebih.

Surau gadang menyelenggarakan pengajian secara berkala. Pengajian dipimpin oleh seorang syekh yang murid-muridnya adalah para guru yang berasal dari beberapa surau ketek.

Dan, begitulah selanjutnya, para guru yang telah belajar di surau gadang, berkewajiban untuk mentransfer ilmunya kepada murid-muridnya di surau ketek.

Adapun nama penyebutan untuk surau gadang, umumnya, disesuaikan dengan nama syekh yang mengempuni pengajian di surau itu. Meskipun, kadang, nama surau juga seringkali disamakan dengan nama daerah tempat surau berdiri.

Meskipun, untuk selanjutnya, surau gadang bertransformasi menjadi musajik (masjid) di banyak tempat, maka, secara perlahan, kata surau mulai melenyap.

Pada akhirnya, banyak surau gadang bertransformasi menjadi masjid atau madrasah/pesantren. Ini, harus diakui, adalah cikal bakal pesantren-pesantren yang banyak tersebar di wilayah Minangkbau, hingga saat ini.

Amran Dt Jorajo dalam bukunya “Orang Rao, Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer” menyebutkan bahwa seorang mubaligh Islam bernama Syech Yaman, datang ke wilayah Rao sekitar abad ke 13 Masehi. Ia diterima menjadi anggota keluarga oleh pemimpin kampung Juar.

Syech Yaman kemudian diberi gelar Imam Malin Kayo. Ia berdakwah di Magugah, Koto Tongah, Tanjung Sialang, Kampung Tinggi (Koto Rajo) dan seterusnya.

Lalu, Syech Yaman mendirikan sebuah bangunan sederhana yang berguna sebagai lembaga. Bangunan itu bernama “Mounesah”. Dalam kasanah Luak nan Tigo, Mounesah juga di sebut “Surau”.

Surau Gadang Syekh Burhanuddin, Ulakan.(credits: Wiki Commons)

Mounesah ini berfungsi sebagai tempat mengaji atau belajar agama Islam. Dan juga berfungsi sebagai tempat sholat berjamaah.

Meskipun, sesuai perkembangannya, Mounesah kemudian berubah statusnya menjadi masjid. Namun, hingga hari ini pun, orang Rao tetap menyebutnya dengan nama: Mounesah.

Surau, umumnya dibangun di tepi sungai, tempat dimana air selalu mengalir. Dengan tujuan untuk mempermudah untuk mendapatkan air bersih, untuk berwudhu dan kebutuhan lainnya.

Pun, surau dibangun di ujung kampung. Ini dengan tujuan agar terjauhi dari hiruk pikuk kehidupan, dan untuk menjaga kekhusyukan bagi sesiapa yang beribadah. Sehingga, jangan kaget, jika dengan pola ini, masih didapati tempat-tempat ibadah yang berada jauh dari jalan raya, dan bukan di pinggir jalan raya utama.

Sementara, pola matrilineal yang telah berakar lama, pun memberikan kompromi. Yakni kegunaan surau dalam komunal Minangkabau.

Bahwa, meskipun pemegang waris secara adat komunal adalah perempuan, namun, secara Islam, pemimpin adalah laki-laki. Seperti untuk sholat berjamaah di sebuah suku/klan, misalnya, imam jelas adalah laki-laki.

Seiring dengan kebutuhan terhadap ilmu pengetahuan tentang agama Islam, surau telah menjadi tempat pendidikan. Katakanlah, sebagai akademi bagi calon pemimpin.

Sehingga, kata “sebagai tamu di rumah” ataupun “tidak memilki hak di Rumah Gadang” telah tergantikan dengan sebuah rumah bagi kelompok laki-laki dan bukan perseorangan, yakni: surau.

Toh, pada kenyataannya, harta komunal yang diberi kuasa kepada perempuan untuk memegangnya secara adat, harus pula dikontrol oleh seorang laki-laki dari garis perempuan. Ini adalah peran bagi seorang laki-laki dewasa.

Adalah Mohammad Hatta, proklamator dan wakil Presiden Republik Indonesia pertama. Dalam bukunya “Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi” Bung Hatta mengakui bahwa ia dibimbing oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek.

Maka, kompromi budaya telah menciptakan kebutuhan akan pemimpin. Kebutuhan yang berbentuk sebagai “Lalok Di Surau” (: tidur di surau).

Yakni periode ketika seorang anak laki-laki menginjak usia antara 6 hingga 7 tahun digembleng, dan berlangsung hingga ia akil baligh.

“Lalok Di Surau” dilakukan hampir setiap hari. Yang dimulai dengan Shalat Maghrib berjama’ah, kemudian dilanjutkan dengan mengaji, dan mendalami ilmu agama Islam yang biasanya diajarkan oleh guru (ustadz) di kampung. Setelah shalat Isya berjama’ah, barulah para remaja mempelajari tafsir Al-Qur’an.

Dan bagi yang lebih dewasa, mereka mendapatkan pengajaran ilmu bela diri pencak silat. Dengan tujuan untuk pertahanan diri, jika suatu saat dibutuhkan dalam kehidupan.

Silek (silat) dilakukan di sebuah tanah lapang yang tidak jauh dari surau. Meskipun sesekali diberi penerangan berupa obor, tapi pembelajaran silat lebih mengutamakan penggunaan sinar bulan sebagai penerangan.

Setelah selesai shalat Subuh berjamaah, maka para anak laki-laki itu pun pulang, kembali ke rumah orangtuanya masing-masing. Mereka akan melanjutkan aktifitas, seperti membantu orangtua di sawah dan ladang, berdagang di labuah dan pakan (pasar), ataupun bersekolah modern dengan duduk di kursi dan melipat tangan di atas meja.

Terlepas, dari kondisi pada saat ini, dimana “Lalok Di Surau” telah mulai ditinggalkan, tetapi, perlu untuk digarisbawahi, bahwa masyarakat Minangkabau telah memilki lembaga pendidikan dan kurikulam pendidikan sejak lama.

Yakni sejak era Surau hadir di Minangkabau.*

avatar

Redaksi