Pencari Gunung Ophir

Ekonomi & Bisnis

March 10, 2025

Jon Afrizal

“Goenoeng Ophir” Sumatera, tahun 1865. (credits: Universiteit Leiden)

“Dan Kami tundukkan untuk Sulaiman sebagai anugerah dan fasilitas berupa angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya dengan hembusan yang keras dan kencang atau pun lunak dan lambat ke negeri yang Kami beri berkah padanya sebagai moda transportasi Sulaiman dari kota yang satu ke kota lainnya. Dan Kami Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak maupun tersembunyi. Dan Kami tundukkan pula kepada Sulaiman segolongan setan-setan yang menyelam ke dasar laut untuk mengambil sesuatu yang diperlukan-nya. Dan mereka, setan-setan yang menjadi pelayan Nabi Sulaiman itu mengerjakan pekerjaan selain itu, seperti mendirikan bangunan dan membuat kolam raksasa; dan Kami yang memelihara mereka agar setan-setan itu tidak merusak dan tidak bermain-main dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.” (Tafsir An Anbiya’ : 81)

OPHIR pada awalnya adalah nama sebuah jorong. Kini, Ophir adalah sebuah nagari di Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat.

Nama “Ophir” atau “Ofir” telah lama ada dalam sejarah dunia. Ophir, mengutip Britannica, adalah wilayah yang tak diketahui letak pastinya, yang telah dikenal sejak zaman Perjanjian Lama, karena kandungan emas murni.

“Daftar Kejadian Geografis 10” menempatkan Ophir di Arabia. Tetapi pada zaman Sulaiman (sekitar 920 SM), Ophir dianggap berada di seberang lautan.

Emas, kayu almug (: algum) yakni: kayu cendana, gading, kera, dan burung merak berasal dari wilayah Ophir.

“Mereka sampai ke Ofir dan dari sana mereka mengambil empat ratus dua puluh talenta emas, yang mereka bawa ke raja Salomo. Lagipula kapal-kapal Hiram, yang mengangkut emas dari Ofir, membawa dari Ofir sangat banyak kayu cendana dan batu permata yang mahal-mahal.” (Raja-Raja; 9:28 dan 10:11)

Banyak wilayah di Jazirah Arab yang diduga sebagai lokasi Ophir. Mekipun, termasuk Afrika Timur dan India.

Kemudian, berbagai teori telah dikemukakan mengenai tempat Ofir, sebagai sumber emas. Mengutip Alkitab Sabda, setidakya terdapat lima tempat yang mengacu pada Ofir.

Pertama, di barat daya Arabia, yakni wilayah Parvaim di Yaman. Kedua, yakni wilayah Arab Tenggara, atau, wilayah yang tidak jauh dari Ezion-Geber, Oman.

Ketiga, wilayah pantai Afrika timur laut, yakni Somali, yaitu negeri Punt (: Pwenet atau Pwene). Keempat, yakni wilayah Supara, 75 km di Utara Bombay, India.

Kelima, wilyah yang mencakup Apir, Baluchistan (Meluhha kuno), dan Zimbabwe, Rhodesia Selatan.

Di Kabupaten Pasaman Barat, terdapat Gunung Talamau (2.920 mdpl). Gunung api tidak aktif ini memiliki tiga puncak. Yakni; Puncak Trimarta (Puncak utama dan tertinggi), Puncak Rajawali dan Puncak Rajo Dewa.

Gunung Talamau memiliki air terjun “Puti Lenggo Geni” dengan ketinggian lebih dari 100 meter. Terdapat 13 telaga di Gunung Talamau. Tapi, hanya sembilan saja yang berhasil ditemukan.

Berbatasan dengan Gunung Talamau, terdapat Gunung Pasaman (2.174 mdpl). Gunung api yang tidak aktif ini juga disebut dengan “Puncak Rajo Imbang Langik”, yang diambil dari nama raja yang pernah berkuasa di wilayah itu di era masa lalu.

Hingga saat ini, cerita mistik tentang kedua gunung ini masih terdengar. Bahkan, banyak pendaki yang menyebutkan bahwa “Puncak Rajo Imbang Langik” tidak dapat dipuncaki.

Di era kolonial Belanda, Gunung Talamau dikenal dengan sebutan “Goenoeng Ophir”.

Masjid Rao, Nagari Rao, tahun 1900. (credits: Universiteit Leiden)

Surat kabar “De Indische Courant” edisi 20 Desember 1834 menyebutkan, bahwa, selain memiliki emas, di daerah Ophir juga ditemukan binatang kera dan gajah.

Lalu, seorang pelaut yang juga ahli geologi bernama Van der Sleen, menyatakan bahwa “Ophir” yang dijelaskan dalam kitab “Perjanjian Lama” berada di Pulau Sumatra, Hindia Belanda.

Pun, surat kabar yang terbit di Kota Padang Sumatera Barat, “Sumatra-Courant: Nieuws en advertentieblad” edisi 14 April 1869 menyatakan bahwa emas yang dimiliki oleh Raja Sulaiman berasal dari Sumatra, tepatnya di wilayah Pasaman Barat, atau di “Goenoeng Ophir” (Gunung Talamau).

Sumatera, di era lampau dikenal dengan nama: Swarnadwipa, yang berarti pulau emas. Yang, kemudian, orang Eropa menyebutnya: Taprobana.

Masih di Kabupaten Pasaman Barat, terdapat sebuah bandar lama, yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Yakni: Aia Bangih atau Nagari Air Bangis atau yang berada di Kecamatan Sungai Beremas.

Di era awal kedatangan kolonial Belanda ke Sumatra, yakni pada abad ke-16, bandar Air Bangis terhubung dengan bandar-bandar lainnya. Seperti; Padang, Pariaman, dan Tiku.

Satu komoditas yang diperdagangkan kala itu, dan keluar dari bandar Air Bangis, adalah: emas.

Maka, sejarah tidak dapat berdiri sendiri. Suatu uraian sejarah adalah saling terhubung satu dengan lainnya.

Adalah Rao, sebuah kecamatan di Kabupaten Pasaman. Dalam konsep budaya Minangkabau, yang melekat pada Tambo, Rao adalah wilayah Rantau Pasisie (: wilayah rantau di pesisir barat Sumatera).

Wilayah ini adalah bagian dari Kerajaan Pagaruyung sejak abad ke-16. Dengan seorang raja yang ditempatkan di sana: Yang Dipertuan Padang Nunang.

Wilayah Rao menjadi daya tarik setelah ditemukannya tambang emas di Mapat Tunggul, Rao.

Christine Dobbin dalam bukunya “Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy; Central Sumatra, 1784-1847” menyebutkan bahwa para penambang emas memiliki kekuatan supranatural. Sehingga, mereka dapat terhubung dengan roh penjaga tambang emas.

Pembukaan lahan perkebunan N.V. Cultural Company Ophir di Pasamana Barat Sumatera, tahun 1929. Cikal bakal PTPN VI. (credits: Universiteit Leiden)

Dalam mencari emas, dengan menggunakan kekuatan supranatural, pencari emas akan membaca tanda-tanda tempat keberadaan roh-roh itu. Selanjutnya, dilakukan ritual dan jampi-jampi untuk memulai penambangan.

Perdagangan emas dari tambang di Mapat Tunggul mencapai Selat Malaka, melalui Patapahan, Siak.

H. Kroeskamp dalam “De Westkust en Minangkabau, 1665-1668”menyatakan bahwa kolonial Belanda telah berminat pada emas Sumatera sejak tahun 1601. Yakni, ketika rombongan penjelajah yang dipimpin oleh Jacob Heemskerek mengeksplorasi kemungkinan berdagang emas dengan Kerajaan Minangkabau.

Selanjutnya, pada awal tahun 1600-an, VOC pun dapat mengumpulkan sedikit emas Minangkabau, yang berasal dari pantai barat dan timur Sumatra.

Tetapi, obsesi untuk mendapatkan emas di pesisir barat terbendung dengan monopoli Kesultanan Aceh. Emas Minangkabau sebagian besar didapatkan dari pedalaman negeri Agam, dan jauh ke utara di daerah Riau.

Dari sana, emas tersebut dibawa ke bandar di Tiku dan Pariaman.

Sementara itu, Belanda telah menguasasi tambang emas di Salida, Painan pada tahun 1680-an. Emas Salida berada lebih dekat ke pesisir, yang didapatkan dari Sungei Kapajang di pedalaman Bajang dan Trusan, serta di Sungei Pagu dan Sungei Abu di belakang Sapuloh Buah Bandar.

Emas Salida telah diekspor melalui bandar di Padang dan Salida. Emas Salida memiliki kualitas 8-10 karat dengan kandungan perak tinggi. Itu, jika dibandingkan dengan emas 19-23/24 karat dari daerah lainnya.

Persoalan yang dihadapi Belanda dengan Kesultanan Aceh menyebabkan Belanda lebih memilih emas Salida. Dengan tujuan untuk diekspor ke Koromandel sebagai bahan pembuatan pagoda Palikat. Pun, emas yang ada di daerah Inderapura diperoleh dari pasir emas Kerinci.

Tetapi, terlalu sedikit emas yang didapat dari Salida. Hingga N.V. Mijnbouw Maatschappij Salida (MMS) bentukan belanda dibubarkan pada tahun 1933.

Emas di Mapat Tunggul tidak lagi dibicarakan pada tahun 1800-an. Sekitar tahun 1830, penduduk di Rao diketahui mulai bersawah dan berkebun. Dan wilayah ini mulai dikenal dengan komoditas kopi.

Belanda, tidak ingin kehilangan kesempatan lagi. Sekitar tahun 1840, pemerintah kolonial membangun sekolah pada tahun 1845, dan membangun jalan darat dari Air Bangis ke Rao paada tahun 1850.

Sejak saat itu, banyak masyarakat Rao yang bermigrasi ke Tapanuli Selatan untuk menjadi guru agama dan menjadi pedagang.

Mereka juga melintasi Sungai Rokan dan Kampar di Riau dan terus menuju ke Malaysia. Di Malaysia, sebagian besar mereka bermukim di Negeri Sembilan, Pahang, dan Perak.

Hari ini, dengan kembali munculnya para penambang emas di Mapat Tunggul, lahir pula pertanyaan baru.

Apakah, emas Mapat Tunggul pada tahun 1600-an itu telah benar-benar habis ditambang? Atau, bagaimana mungkin, emas-emas itu memang telah benar-benar habis, dan kemudian beranak pinak, dan kini hadir lagi?*

avatar

Redaksi