Ratu Adil; Mesianisme Nusantara

Hak Asasi Manusia

November 8, 2024

Jon Afrizal

Pekerja pemetik teh di Jawa Barat. (credits: britannica)

LASJA Soerya adalah seorang ibu rumah tangga. Tetapi, keluarganya terganggu oleh kehadiran mafia “9 Naga”.

Ia, adalah sosok feminist, layaknya perempuan di era modern. Ia harus mengangkat senjata untuk menyelamatkan keluarganya.

Dian Sastrowardoyo berperan sebagai Lasja dalam serial drama “Ratu Adil”.

Ratu Adil (: raja yang berlaku adil), dalam persepektif masyarakat Jawa, adalah seseorang yang dianggap sebagai pembawa perubahan besar dalam masyarakat. Kedatangannya dipercaya akan menegakkan keadilan, dan membawa masyarakat menuju kemakmuran dan kesejahteraan.

Pemahamam tentang Ratu Adil diperkirakan lahir pada era Hindu di Jawa. Yang berangkat dari siklus zaman (yuga).

Dimana; zaman emas (Krtayuga), berubah menjadi zaman biasa dan kurang bahagia (Tretayuga dan Dyaparayuga), kemudian ke Zaman Edan (Kaliyuga), lalu kembali lagi ke zaman emas (Krtayuga).

Ketika Islam masuk ke Jawa, konsep ini semakin berkembang. Seiring dengan pengetahuan tentang seseorang yang dianggap sebagai juru selamat, yang acapkali dikaitkan dengan sosok Imam Mahdi.

Agama Abrahamik, memahami tentang Mesianisme. Yakni kepercayaan pada kedatangan seorang mesias yang bertindak sebagai penyelamat atau pembebas orang-orang dari ketertindasan dan keterpurukan.

Agama dan kepercayaan lain, masing-masing juga memiliki konsep mesias. Seperti Zoroastrianisme yang memahami Saoshyant, Judaisme dengan pemahaman Mashiach, Buddhisme dengan Maitreya, Hinduisme memiliki Kalki, dan Taoisme dengan Li Hong.

Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Ratu Adil menyebutkan bahwa Ratu Adil berkaitan dengan mesianisme (juru selamat), pemenuhan atas profetisme (ramalan kenabian), bersifat nativisme, dan menghidupkan kembali spirit yang hilang.

Saat kemunculan seseorang yang dianggap sebagai Ratu Adil, adalah, ketika masyarakat sedang dalam keadaan yang kacau atau berada pada Zaman Edan dalam siklus zaman (yuga).

Dian Sastrowardoyo berperan sebagai Lasja Soeryo di serial drama “Ratu Adil”. (credits: Dian Sastro)

Kondisi masyarakat yang sedang mengalami kemerosotan. Seperti paceklik, susah pangan dan kelaparan, munculnya wabah penyakit, meningkatnya korupsi, kriminalitas, dan berbagai masalah ketimpangan sosial dan ekonomi lainnya.

Selain itu, dalam bidang politik, juga terjadi penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa (kolonialisme). Sehingga, Ratu Adil dipercaya sebagai respon dan jalan keluar serta penyelesaian masalah-masalah itu, dan membawa masyarakat kembali ke zaman emas.

Raja Kediri pada abad ke 11 Masehi, Jayabaya (Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya) telah meramalkan tentang datangnya seorang Ratu Adil di Nusantara. Dan, ramalan ini menjadi literasi tertua dalam konsep acuan tentang Ratu Adil di Nusantara.

Sosok juru selamat itu dijuluki Herucokro. Yakni orang yang tidak mengutamakan kekayaan dan materi.

Senjata Ratu Adil adalah Trisula. Yakni senjata bergagang tongkat panjang bermata tiga, sebagai simbol dari weda (pengetahuan).

Weda yang memiliki tiga karakter. Yakni: sifat kebenaran, kebijaksanaan, dan keadilan.

Ramalan kedatangan mesias ini, ditandai dengan terjadinya berbagai peristiwa alam.

Yang kemudian dideskripsikan bahwa sebelum sosok Ratu Adil muncul, akan terjadi bencana alam. Seperti gempa bumi, gunung meletus, hujan abu, kilatan petir, guntur, hujan lebat, angin kencang, gerhana matahari dan bulan.

Pangeran Diponegoro kerap dikaitkan dengan ramalan Jayabaya. Ia adalah sosok Ratu Adil yang paling popular di sepanjang sejarah Nusantara dan kebangkitannya.

Kehadiran Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa tahun 1825 hingga 1830, adalah ketika kondisi sosial masyarakat di Jawa Tengah sedang terpuruk secara ekonomi. Ini terjadi karena kolonialisme Belanda.

Ketika rakyat berteriak dan menjerit kesakitan, dan Pangeran Diponegoro muncul untuk membela mereka. Dengan mengacungkan Keris Kyai Naga Siluman di tangan kanannya, dan berperang melawan Belanda.

Ketika Pangeran Diponegoro memimpin dan mengajak rakyat untuk turut serta memerangi kolonialisme Belanda, maka ini adalah cara bagi sosok mesias untuk membawa masyarakat Jawa menuju ke tatanan kehidupan yang baru dan lebih baik.

Mengutip kemendikbud, setelah era Pangeran Diponegoro, banyak pula muncul tokoh-tokoh yang dianggap dan menganggap dirinya sebagai Ratu Adil yang baru.

Ratu Adil, mengutip Republika, kadang disamakan dengan Satria Piningit. Namun, terjadi perbedaan pendapat, bahwa keduanya adalah tokoh yang berbeda.

Satria Piningit belum tentu bisa menjadi Ratu Adil. Dan, belum jelas diketahui, apakah ini adalah metafora terhadap karakter ataukah terhadap perseorangan.

Serat Jayabaya, juga dalam Serat Ronggowarsito menjelaskan tentang tujuh sifat dari kepemimpinan. Tujuh karakter ini juga disebut-sebut tersirat dalam salah satu bab dari Babad Tanah Jawi beserta cerita-cerita dari tanah Jawa, seperti tentang Aji Saka, Siyung Wanara, dan lainnya.

Ratu dalam bahasa modern digambarkan sebagai pasangan dari raja, atau pendamping raja.

Namun, dalam bahasa era lampau, ratu digambarkan sebagai pemimpin tanpa melihat gendernya. Ia bisa saja perempuan ataupun laki-laki.

Ratu Shima, dari beberapa pendapat, juga kerap dikaitkan dengan sosok Ratu Adil. Ia adalah Permaisuri Raja Kartikeyasingha yang menjadi raja Keling saat berpusat di Keling, Jawa Timur pada 648 Masehi hingga 674 Masehi.

Ketika Raja Kartikeyasingha wafat, Sang Permaisuri naik tahta Kerajaan Keling, dan menjadi raja. Ia bergelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara.

Selanjutnya, ia memindahkan pusat kekuasaan ke Kalingga, Jawa Tengah.

Masa kepemimpinan Ratu Shima menjadi masa keemasan bagi kerajaan Keling. Sehingga membuat raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum sekaligus penasaran.

Ratu Shima menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan. Serta, ia juga mendorong agar rakyatnya selalu berbuat jujur.

Juga dijumpai kisah-kisah lokal yang menceritakan tentang seorang raja asing yang meletakkan kantung berisi emas di tengah-tengah persimpangan jalan dekat alun-alun ibu kota Kalingga. Raja asing ini melakukan hal itu karena ia mendengar kabar tentang kejujuran rakyat kota Kalingga, dan ia berniat menguji kebenaran cerita itu.

Tidak satu rakyat pun berani menyentuh kantung itu. Sebab itu bukan milik mereka.

Pada suatu hari, setelah tiga tahun kemudian, seorang putra dari Ratu Shima, yang adalah putra mahkota, secara tidak sengaja menyentuh kantung itu dengan kakinya.

Ratu Shima pun menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Namun para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran.

Dikarenakan kaki sang pangeran yang menyentuh barang yang bukan miliknya itu, maka Ratu Shima menjatuhkan hukuman “potong kaki” bagi sang pangeran.

Jika merujuk pada ramalan Jayabaya, Ratu Adil bukanlah sebuah gerakan. Melainkan keyakinan yang tumbuh di masyarakat terkait akan datangnya sosok penyelamat bagi kehidupan mereka.

Bung Karno pun tidak pernah menyebut dirinya sebagai Ratu Adil yang ditunggu-tunggu. Sama seperti pemimpin-pemimpin yang menjadi sosok Ratu Adil dalam pemahaman masyarakat, yang muncul sebelumnya.

Dan, Lasja Soeryo, dapat juga disebut sebagai sosok Ratu Adil. Meskipun dalam skala yang lebih kecil, yakni bagi keluarganya.*

avatar

Redaksi